Proses termal
Proses termal merupakan proses pengawetan makanan dengan memanfaatkan energi panas. Pemakaian panas bertujuan untuk mematikan mikroorganisme di dalam bahan makanan. Keberadaan mikroorganisme hidup di dalam bahan makanan bersifat merugikan karena menyebabkan penyakit serta menimbulkan pembusukan pada sebuah produk. Proses termal umumnya digunakan pada produk yang akan dikemas ke dalam kemasan yang hermetik. Bentuk kemasan ini umumnya adalah kaleng, kantung retort, atau gelas selai. Produk yang telah melalui proses termal memiliki umur simpan yang lebih lama.[1] Ini merupakan akibat dari kemampuan panas dalam mematikan mikroorganisme, serangga dan parasit. Proses termal juga memiliki kemampuan dalam merusak enzim.[2]
Proses termal menggunakan suhu tinggi dengan tingkat suhu dan periode waktu tertentu. Proses tersebut dapat dilakukan dalam sistem sterilisasi dalam wadah atau sistem kontinyu dengan proses aseptik. Selain memperpanjang masa simpan, proses termal juga meningkatkan keamanan produk selama disimpan dalam jangka waktu yang ditentukan.[1] Jenis produk yang umumnya memerlukan proses termal ialah produk daging. Di dalam daging terdapat mikroorganisme toksigenik sehingga perlu dimatikan terlebih dahulu untuk memperpanjang masa awet daging. Kesesuian pengawetan dengan proses termal dipengaruhi oleh banyaknya jumlah panas yang diasumsikan mampu mematikan mikroorganisme. Tiap produk memerlukan tingkat panas yang berbeda-beda. Panas yang berlebihan juga dapat merusak produk, sehingga kebutuhan panas yang spesifik pada produk harus diketahui secara tepat.[1]
Kerusakan produk bahan pangan akibat proses termal dapat berupa perubahan organoleptik. Kandungan produk yang mengalami meliputi protein dan lemak, pelelehan, dan gelatinisasi pati. Kerusakan ini mengakibatkan tekstur dan cita rasa produk berubah. Selain itu, warna produk juga dapat berubah. perubahan pada tekstur dan cita rasa, warna dan flavor yang mempengaruhi terhadap sifat organoleptik produk. Perubahan cita rasa dapat disebabkan oleh adanya reaksi Maillard serta karamelisasi. Ketidaksesuaian proses termal juga dapat menyebabkan kehilangan zat gizi tertentu di dalam produk yang kemudian mengurangi jumlah nutrisi. Umumny, proses termal yang tidak tepat dapat mengurangi gizi pada mineral dan vitamin C hingga 40%. Proses termal pada gula juga berisiko mengurangi gizi hingga sebanyak 35%. Sementara itu, proses termal pada asam amino dan protein dapat mengurangi nilai gizi sebanyak 20%. Pengurangan risiko dilakukan dengan menyesuaikan metode yang digunakan untuk mengadakan proses termal dengan jenis produknya.[3] Metode yang digunakan dalam proses termal meliputi pasteurisasi, pengalengan, evaporasi, pemasakan, blansir dan ekstrusi.[4]
Jenis
[sunting | sunting sumber]Blansir
[sunting | sunting sumber]Blansir merupakan proses pemanasan secara langsung yang memanfaatkan uap yang tidak bertekanan atau air panas. Suhu pemanasan tidak mencapai 100oC. Rentang waktu blansir paling lama 10 menit. Pemanasan dengan blansir dihentikan ketika bahan pangan telah mencapai suhu berkisar antara 82,2oC hingga 87,8oC di setiap bagiannya. Tujuan blansir bukan untuk mengawetkan makanan, melainkan sebagai tahap awal untuk pasteurisasi. Bahan pangan yang umumnya melalui proses blansir adalah makanan kaleng, makanan kering atau makanan beku. Blansir berguna untuk pengalengan maupun proses awal pengeringan atau pembekuan. Pengemasan makanan yang telah diblansir menjadi lebih mudah karena bahan pangan menjadi lebih lunak dan gasnya berkurang. Blansir juga mencegah bahan pangan mengalami perubahan aroma dan warna dengan cara mematikan enzim produk. Sementara itu, makanan kering dan makanan beku yang melalui proses blansir memiliki cita rasa, nilai nutrisi, warna dan tekstur yang tetap sama seperti aslinya.[5]
Pasteurisasi
[sunting | sunting sumber]Pasteurisasi merupakan proses pemanasan bahan pangan dengan suhu lebih rendah dari 100oC. Rentang waktu pemanasan berkisar antara beberapa detik hingga beberapa menit. Lamanya proses pemanasan diatur sesuai dengan suhu pemanasan. Semakin tinggi suhu yang digunakan, maka semakin cepat proses pemanasan berlangsung. Begitu pula sebaliknya. Semakin rendah suhu pemanasan, maka semakin lama proses pemanasan. Pasteurisasi bertujuan untuk mematikan sel pertumbuhan pada bakteri di dalam bahan pangan. Bakteri ini umumnya berperan sebagai patogen, pembusuk atau pembentuk toksin.[6]
Sterilisasi
[sunting | sunting sumber]Sterilisasi merupakan proses pemanasan bahan pangan dengan suhu lebih tinggi dari 100oC. Sterilisasi bertujuan untuk mematikan spora pada bakteri di dalam bahan pangan. Bakteri ini umumnya berperan sebagai patogen dan pembusuk makanan. Jenis bakteri yang dimatikan khususnya Clostridium dengan Gram positif. Sterilisasi tidak menghancurkan jasad renik secara keseluruhan dan hanya digunakan pada bahan pangan yang dikemas dalam kondisi anaerob. Sifat oksidasi pada jenis kemasan ini rendah sehingga dapat membunuh spora bakteri yang tidak tahan panas. Bahan pangan yang memerlukan sterilisasi umumnya menggunakan kemasan vakum berbahan aluminium foil, kaleng, botol plastik, dan kantung plastik vakum.[6]
Pengisian panas
[sunting | sunting sumber]Metode pengisian panas digunakan dalam proses termal pada produk pangan berwujud cairan. Jenis produk ini antara lain saus, selai, dan sambal. Persyaratan yang harus dipenuhi untuk menggunakan metode pengisian panas adalah produk memiliki derajat keasaman yang rendah. Produk yang akan dipasteurisasi dan memiliki derajat keasaman juga dapat menggunakan metode pengisian panas. Proses termal berlangsung ketika produk telah dipasteurisasi dan siap dikemas. Jenis kemasan yang digunakan adalah botol dan gelas selai yang ditutup rapat untuk kemudian didinginkan. Metode pengisian panas ini umumnya digabungkan dengan proses pengawetan. Metode pengawetan produk yang dipadukan antara lain pengasinan, pemanisan, atau pendinginan.[7]
Referensi
[sunting | sunting sumber]Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c Sobari dan Agritekuin13 2019, hlm. 4.
- ^ Fathuroya, V., dkk. 2017, hlm. 59.
- ^ Sobari dan Agritekuin13 2019, hlm. 4-5.
- ^ Sobari dan Agritekuin13 2019, hlm. 5.
- ^ Saputro 2013, hlm. 13-14.
- ^ a b Saputro 2013, hlm. 14.
- ^ Sobari dan Agritekuin13 2019, hlm. 8-9.
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]- Fathuroya, V., dkk. (2017). Fisika Dasar untuk Ilmu Pangan. Malang: UB Press. ISBN 978-602-432-361-5.
- Saputro, Eko (2013). Dasar-Dasar Pengolahan Daging (PDF). Batu: Balai Besar Pelatihan Peternakan Batu. ISBN 978-602-17415-1-1.
- Sobari, E. dan Agrotekuin13, T. (2019). Dasar-Dasar Proses Pengolahan Bahan Pangan (PDF). Subang: Polsub Press. ISBN 978-602-527-654-5.