Pulau Laut, Donggala
Koordinat | 0°1′9.242″S 119°47′43.919″E / 0.01923389°S 119.79553306°E |
---|---|
Negara | Indonesia |
Gugus kepulauan | Sulawesi |
Provinsi | Sulawesi Tengah |
Kabupaten | Donggala |
Luas | 21,7 ha |
Populasi | - |
Pulau Laut adalah pulau yang terletak dalam wilayah administrasi Desa Pomolulu, Kecamatan Balaseang Tanjung, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah. Pulau Laut merupakan pulau berbatu namun ditumbuhi oleh vegetasi yang didominasi oleh kelapa. Pulau ini menjadi tempat istirahat nelayan dan memiliki pantai dengan pasir putih. Selain itu, pulau ini merupakan habitat alami dari kelelawar atau burung paneki.[1]
Gugusan pulau
[sunting | sunting sumber]Pulau Laut dikelilingi oleh pulau-pulau lain seperti Pulau Cacara, Pulau Orang, Pulau Pippeng, Pulau Ulubasai, Pulau Kollo, Pulau Jono, Pulau Paneki, Pulau Labolong, Pulau Pabunua besar, Pulau Katupa besar dan Pulau Pulo.
Pulau Cacara
[sunting | sunting sumber]Pulau Cacara merupakan pulau batuan yang berasal dari bahasa Bajo yang artinya 'burung Camar'. Hal ini dikarenakan pada musim timur (juni-juli) sampai musim barat (oktober-desember) terdapat ribuan burung Camar yang akan bertelur di pulau ini.
Pulau Orang
[sunting | sunting sumber]Pulau Orang adalah pulau batu polos dengan hanyu satu vegetasi di pulaunya. Dalam bahasa Bajo, arti nama pulau ini berarti nama penyu sisik, yang mana dikarenakan sebelum 1968 ditemukan banyak penyu di pinggiran pulau ini yang bertelur. Namun setelah gempa melanda, daratan pantai berpasir ini tenggelam dan membuat penyu semakin berkurang hingga jarang mampir ke pulau ini. Pulau ini berukuran besar, menjulang seperti gunung dan tidak memiliki pantai.
Pulau Pippeng
[sunting | sunting sumber]Pulau Pippeng adalah pulau yang berdekatan dengan pulau Orang dan merupakan pulau batu karang yang terdiri dari bongkahan batu. Penamaan pulau ini 'Pippeng' berarti 'burung hitam' dalam bahasa Kaili. Hal ini dikarenakan banyak burung hitam yang beterbangan di sekitar pulau ini.
Pulau Ulubasai
[sunting | sunting sumber]Pulau Ulubasai merupakan pulau batu karang dan tidak berpenduduk. Pulau Ulubasai berasai dari bahasa Kaili yang berarti 'kepala dayung'. Pulau ini merupakan tempat ratusan burung Lullutbusai bertelur di misim barat sampai musim timur. Burung ini merupakan burung besar pemangsa ikan, warna bulu hitam dengan leher berwarna putih.
Pulau Kollo
[sunting | sunting sumber]Pulau Kollo adalah pulau batu karang yang tidak berpenghuni. Penamaan pulau ini berasal dari bahasa Kaili yang berarti 'burung bangau hitam'. Hal ini dikarenakan banyak burung Bangau yang bersarang dan tinggal di pulau ini.
Pulau Jono
[sunting | sunting sumber]Pulau Jono termasuk dalam kategori pulau tidak berpenduduk yang berbukit dan diselimuti alang-alang. Pulau Jono berarti pulau 'alang-alang' dalam bahasa Kaili. Pinggiran pulau ini dipenuhi oleh vegetasi, bebatuan dan sebagian berpasir.
Pulau Babangkau
[sunting | sunting sumber]Pulau Babangkau berdekatan dengan pulau Jono dan merupakan pulau tidak berpenghuni. Sama seperti gugusan pulau lainnya, pulau ini juga merupakan pulau batu karang dan tempat persinggahan nelayan. Dalam bahasa Kaili, arti nama pulau ini adalah 'kayu bakau'.
Pulau Paneki
[sunting | sunting sumber]Pulau Paneki dalam bahasa Kaili berarti pulau Kelelawar dan sering juga disebut sebagai pulau Paba yang berarti 'satu pulau'. Bentuk pulau ini memanjang dengan dua bukit besar dengan luas 18,3 ha. Pulau ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu panta kaba atau bui kaba, gingtiana dan manuppuang. Panta kaba adalah bagian pulau dengan tebing batu curam. Sedangkan gingitiana dan manuppuang adalah bagian pulau yang berupa pasir putih dan ditemui ikan belanak di perairannya.
Pulau ini ditanami kelapa dan pisang oleh masyarakat sekitar, selain itu juga ditemui burung bakurra, burung puteang dan burung punai di hutan pulau ini. Terdapat dua pondok kecil tempat singgah bagi nelayan untuk melaut.
Pulau Labolong
[sunting | sunting sumber]Pulau Labolong merupakan pulau tidak berpenghuni seluas 20,2 ha yang berdekatan letaknya dengan pulau Paneki. Nama pulau ini berasal dari bahasa Bajo 'Lokbolo' yang berarti 'teluk bambu'. Hal ini dikarenakan banyak ditemui pohon bambu besar dan kecil di pulau bebatuan ini. Selain itu juga ditemukan pohon kelapa dan mangga serta pondok kecil di pulau ini sebagai tempat singgah nelayan. Bentuk pulau memanjang dan berbukit dengan pasir putih.
Pulau Pabunua
[sunting | sunting sumber]Pulau Pabunua berarti pulau pembunuhan dalam bahasa Kaili, penamaan ini dikarenakan pulau ini merupakan tempat pembunuhan pada zaman Portugis di Indonesia. Pulau ini terdiri dari pulau Pabunua besar dan pulau Pabunua kecil dan letaknya berdekatan dengan pulau Labolong. Pulau Pabunua kecil merupakan pulau batuan yang tidak berpenduduk.
Pulau Katupa
[sunting | sunting sumber]Pulau Katupa terdiri dari pulau Katupa besar dan pulau Katupa kecil. Arti nama pulau ini adalah 'ketupat' dalam bahasa Bajo. Terdapat kepercayaan di masyarakat bahwa di pulau ini terdapat bambu berdarah, yang apabila dipotong akan mengeluarkan air merah yang mengandung racun dan digunakan sebagai alat melawan penjajah. DI tengah pulau ini terdapat mata air tawar yang berada di celah batuan di gunung. Mata air ini dipercayai akan berhenti mengalir jika ada kotoran atau sabun ataupun peremouan yang sedang datang bulan mendekati pulau ini.
Pulau Katupa besar memiliki luas 12,3 ha, sedangkan pulau Katupa kecil memiliki luas 9 ha. Penamaan pulau yang berasal dari kata Ketupat merujuk pada bekal para nelayan ketika pergi melaut.
Pulau Pulo
[sunting | sunting sumber]Pulau Pulo dikenal juga dengan nama Pupulo adalah pulau kecil yang terdiri dari batuan dan satu vegetasi di atasnya. Batuan pulau ini merupakan kumpulan bongkahan batu-batu yang tersusun.
Pulau Batu mesara
[sunting | sunting sumber]Pulau ini juga disebut dengan nama pulau Vatumesara yang dalam bahasa Kaili berarti 'Batu penasaran'. Ukuran pulau ini cukup besar namun tidak berpenduduk dan termasuk dalam wilayah administratif kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Batubara, Rido; Yusuf, Muhammad; Sidqi, Muhandis; Sinaga, Simon; YB, Anang (2014). Laut Sulawesi dan Selat Makassar, Sulawesi Tengah. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. hlm. 23–41. ISBN 978-979-709-588-8.