Pulau Palue
Nama lokal: Nusa Luʼa | |
---|---|
Geografi | |
Lokasi | Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, Indonesia |
Koordinat | 8°19′25.2″S 121°42′36.8″E / 8.323667°S 121.710222°E |
Kepulauan | Kepulauan Sunda Kecil |
Luas | 49 km2 |
Kependudukan | |
Penduduk | 10.000 jiwa |
Pulau Palue adalah sebuah pulau vulkanik berukuran kecil yang terletak dalam wilayah Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Wilayah Pulau Palue pernah dihuni oleh suku Naru sebelum akhirnya ditinggalkan.
Di Pulau Palue terdapat sumber air panas yang digunakan untuk kebutuhan harian penduduk setelah dilakukan sublimasi. Jalan raya telah dibangun di Pulau Palue dan dilalui oleh kendaraan bermotor sejak tahun 2006. Pada Agustus 2013, Pulau Palue mulai ditinggalkan oleh penduduk karena meletusnya Gunung Rokatenda yang menutupi sebagian besar lahan dan kebun dengan abu vulkanik.
Pembentukan
[sunting | sunting sumber]Pulau Palue merupakan sebuah pulau vukanik berukuran kecil yang terbentuk di bagian selatan wilayah Indonesia Timur. Pembentukannya dalam zona subduksi antara Lempeng Pasifik, Lempeng Eurasia dan Lempeng Australia.[1] Terbentuknya Pulau Palue sebagai hasil dari aktivitas aktif sebuah gunung berapi bernama Gunung Rokatenda.[2] Lokasi Gunung Rokatenda berada di bagian selatan Pulau Palue.[butuh rujukan]
Keberadaan Gunung Rokatenda membuat Pulau Palue bergunung.[3] Ketinggian Gunung Rokatenda mencapai 875 meter di atas permukaan laut dengan bentuk gunung berapi kerucut.[1] Puncak tertinggi di Pulau Palue dinamakan Rokatenda yang menjadi nama Gunung Rokatenda dan puncak gunungnya.[4]
Wilayah administratif
[sunting | sunting sumber]Pulau Palue termasuk salah satu pulau berukuran kecil dalam wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur.[5] Di Provinsi Nusa Tenggara Timur, posisi Pulau Palue terletak di bagian utara.[6] Pulau Palue merupakan pulau terbesar kedua di Kabupaten Sikka setelah Pulau Besar.[7] Lokasi Pulau Paluae berada di bagian utara Pulau Flores dalam kawasan Laut Flores.[butuh rujukan]
Penduduk
[sunting | sunting sumber]Suku Naru
[sunting | sunting sumber]Leluhur dari suku Naru pernah menghuni Pulau Palue. Mereka pindah dari wilayah asal di Kampung Tuwit dalam wilayah Naru Meje do Bajawa di Kabupaten Ngada, Namun leluhur suku Naru pindah dari Pulau Palue menuju ke bagian utara Kabupaten Manggarai Timur yang dinamakan Tompong.[8]
Sumber daya alam
[sunting | sunting sumber]Sumber air panas
[sunting | sunting sumber]Pulau Palue memiliki sumber daya panas bumi yang terbentuk menjadi air panas yang dinamakan Air Panas Palue. Keberadaannya di Desa Palue, Kecamatan Palue, Kabupaten Sikka. Lokasinya berada pada titik koordinat 8°18'58.8" Lintang Selatan dan 121°43'58.2" Bujur Timur. Air dari Air Panas Palue tidak berbau belerang sehingga dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk keperluan sehari-hari. Sebelum dibawa ke rumah-rumah warga, air dari dalam tanah pada Air Panas Palue disuling secara tradisional menggunakan kayu atau bambu.[9]
Perhubungan
[sunting | sunting sumber]Sejak tahun 2006, di Pulau Palu telah dibangun jalan raya yang dapat dilalui oleh kendaraan bermotor. Lokasi Pulau Palue dapat dicapai dari Pulau Flores melalui Maumere dengan menggunakan perahu motor. Waktu tempuh perjalanan sekitar empat jam.[butuh rujukan]
Bencana
[sunting | sunting sumber]Sejak Oktober tahun 2012, aktivitas vulkanik di Gunung Rokatenda mulai meningkat. Pada Januari 2013, Gunung Rokatenda mulai meletus. Letusan ini menghasilkan abu vulkanik yang menutup sebagian besar lahan dan kebun penduduk terutama desa-desa yang berdekatan dengan kawah. Desa-desa ini ialah Desa Nitunglea, Desa Kesokoja, Desa Lidi dan Desa Rikirole. Tersisa 30% dari luas lahan di Pulau Palue yang dapat ditinggali oleh penduduk.[10]
Gunung Rokatenda di Pulau Palue meletus kembali pada hari Jumat, tanggal 9 Agustus 2013. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi kemudian menyatakan bahwa letusan ini mengakibatkan Pulau Palue menjadi tidak layak huni dan membahayakan penduduk sehingga penduduk harus pindah.[11]
Referensi
[sunting | sunting sumber]Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ a b Mutaqin, B. W., dkk. (2022). Identifikasi dan Pemetaan Pulau-pulau Vulkanik Kecil dengan Data Pengindraan Jauh dan Sistem Informasi Geografis. Sleman: Penerbit PT Kanisius. hlm. 9. ISBN 978-979-21-7450-2.
- ^ Asriningrum 2008, hlm. 27.
- ^ Asriningrum 2008, hlm. 28.
- ^ Asriningrum 2008, hlm. 29.
- ^ Wuryandari 2014, hlm. 254.
- ^ Wuryandari 2014, hlm. 54.
- ^ Kuncoro, Mudrajad (2018). Perencanaan Pembangunan Daerah: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. hlm. 269. ISBN 978-602-03-9842-6.
- ^ Cahyono, E., dkk., ed. (2016). Konflik Agraria Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan. Jakarta Pusat: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. hlm. 798. ISBN 978-602-74201-2-0.
- ^ Dokumen Usulan Warisan Geologi 2023 (PDF). Bappelitbangda Kabupaten Sikka & Binus University. 2023. Lembar ke-19.
- ^ Sukandarrumidi, Maulana, F. W., dan Rakhman, A. N. (2017). Geotoksikologi:. UGM Press. hlm. 28. ISBN 978-602-386-225-2.
- ^ Tjandra, Kartono (September 2017). Empat Bencana Geologi yang Paling Mematikan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hlm. 124–125. ISBN 978-602-386-251-1.
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]- Asriningrum, Wikanti (2008). "Kaitan Aktivitas Gunungapi dengan Pertumbuhan Terumbu Karang". Analisis Geomorfologi Terumbu di Kabupaten Sikka (PDF). Jakarta: Massma Sikumbang. hlm. 26–36. ISBN 978-979-18314-1-3.
- Wuryandari, Ganewati, ed. (2014). Pengembangan Wilayah Nusa Tenggara Timur dari Perspektif Sosial: Permasalahan dan Kebijakan. Jakarta: LIPI Press. ISBN 978-979-799-783-0. Ringkasan.