Ritual malabuh
Ritual malabuh, dalam konteks kepercayaan masyarakat Kalimantan selatan, adalah Tradisi meletakkan, melepas, atau menaruh sesaji untuk tuhan, leluhur, buaya kuning dan roh-roh penjaga perairan. Waktu pelaksanaan ritual ini bervariasi, mengikuti adat dan tradisi yang diwariskan secara turun-temurun. Beberapa komunitas menentukan waktu berdasarkan penanggalan Hijriah (misalnya, bulan Muharram, Shafar, Rabiul Awal, atau Dzulhijjah), sementara yang lain mengikuti penanggalan Masehi. Selain itu, ritual Malabuh juga dapat dilakukan saat acara-acara penting keluarga, seperti pernikahan, mandi 7 bulanan, kelahiran anak, atau khitanan.
Sesaji yang dipersembahkan dalam ritual Malabuh umumnya terdiri dari lakatan (ketan kuning), telur ayam atau itik, dan pisang. Beberapa keluarga juga menambahkan kue 41 macam (berbagai jenis kue tradisional), kopi manis dan pahit, rokok, air santan, air gula, kembang berenteng (rangkaian bunga), serta upung mayang (hiasan janur).
Keyakinan akan kehadiran buaya gaib seringkali didahului oleh pertanda, seperti mimpi, kesurupan (trance), atau pingitan (rasa sakit yang tidak jelas penyebabnya). Tujuan ritual Malabuh tidak hanya untuk menghindari ancaman atau kesialan dari buaya gaib, tetapi juga sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen padi dan perlindungan yang diyakini diberikan melalui perantaraan buaya gaib. Dalam ritual Malabuh juga di percaya terkandung kearifan lokal, seperti pesan untuk menjaga kebersihan dan kelestarian sungai. Hal ini diwujudkan dengan memberikan sesaji yang mudah terurai secara alami, sehingga tidak mencemari lingkungan sungai. Selain itu, gerakan mencelupkan tangan hingga siku saat menghanyutkan sesaji melambangkan tindakan menyuapkan makanan ke mulut buaya.
Ritual Malabuh biasanya dipimpin oleh tokoh adat (tukang tamba) atau anggota keluarga yang memiliki garis keturunan khusus. Prosesi dimulai dengan selamatan (kenduri) dan pembacaan doa di rumah, diikuti dengan membawa sebagian sesaji ke sungai untuk dilarung. Di tepi sungai, tuturan (mantra atau doa) diucapkan untuk memanggil kehadiran buaya gaib. Sesaji kemudian dilarung dengan gerakan seolah-olah menyodorkan makanan kepada buaya. Praktik ini sejalan dengan pandangan Geertz (1976) tentang slametan di Jawa, di mana makhluk halus diundang untuk ikut menikmati hidangan yang disajikan. Beberapa pelaku ritual Malabuh bahkan meyakini dapat melihat atau merasakan kehadiran buaya gaib saat menyantap persembahan tersebut.[1] [2] [3]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Akhyar, Muhammad Zaki (2025-01-07). "Analisis Hukum Tentang Belabuh (Salah Satu Tradisi Di Kalimantan Selatan Yaitu Menghanyutkan Sesajen Ke Sungai)". Indonesian Journal of Islamic Jurisprudence, Economic and Legal Theory (dalam bahasa Inggris). 3 (1): 210–216. doi:10.62976/ijijel.v3i1.912. ISSN 3031-0458.
- ^ Mursalin, Mursalin (2015-10-09). "KEPERCAYAAN BUAYA GAIB DALAM PERSPEKTIF URANG BANJAR BATANG BANYU DI SUNGAI TABALONG". JURNAL SOCIUS (dalam bahasa Inggris). 4 (2). doi:10.20527/jurnalsocius.v4i2.3317. ISSN 2089-967X.
- ^ Noortyani, Raudatul Munawwarah Rusma (2021-04-28). "TUTURAN RITUAL MALABUH PADA MASYARAKAT BANJAR KALIMANTAN SELATAN (RITUAL SPEECH MALABUH IN BANJAR COMMUNITY OF SOUTH KALIMANTAN)". JURNAL BAHASA, SASTRA, DAN PEMBELAJARANNYA (JBSP) (dalam bahasa Inggris). 11 (1): 99–110. ISSN 2580-5932.