Rumah Singgah Gerilya Soedirman
Rumah Singgah Gerilya Jenderal Soedirman (Pundong) adalah rumah yang disinggahi oleh jendral Soedirman ketika melakukan Gerilya melawan pasukan Belanda pada tahun 1948. Rumah ini dibangun pada tahun 1930. Rumah tersebut berada di dusun Grogol IX, Parangtritis, kretek, Bantul. Bangunan ini menghadap ke arah selatan, hal itu dikarenakan adanya kepercayaan tertentu. Rumah ini memiliki model arsitektur tradisional Jawa, hal tersebut dapat terlihat dari model joglo yang dimiliki oleh bangunan tersebut. Bangunan ini juga terdiri dari pendopo, longkangan, dalem, dan pewikanan. Sebagian besar rumah ini juga menggunakan kayu jati dan konstruksi bangunan ini menggunakan teknik bongkar pasang (knock-down).
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Dahulunya, rumah ini dimiliki oleh mantan lurah parangtritis, kapten Hadi Darsono. Rumah ini dulunya digunakan sebagai tempat tinggal sekaligus kantor kelurahan parangtritis. Rumah ini pernah disinggahi oleh jendral Soedirman dalam Perang Gerilya. Rumah ini dibangun oleh orang tua dari Kapten Hadi Darsono, yang bernama Jiwareja III. Jiwera III menjabat sebagai ulu-ulu. sedangkan Kapten Hadi Darsono adalah seorang bekas tentara PETA yang berpangkat kapten yang setelah masa nya selesai, beliau menjabat sebagai lurah di parangtritis yamg pertama. Saat ini di depan rumah induk didirikan prasasti untuk mengenang perjalanan gerilya jendral Soedirman. Prasasti tersebut berisikan : pada tanggal 19 Desember 1948 tentara Belanda menyerbu Yogyakarta.
Rute gerilya
[sunting | sunting sumber]Rute yang dilalui oleh jendral Soedirman ketika melakukan Gerilya adalah dari Yogyakarta menuju Pacitan.beliau selalu diintai oleh pasukan Belanda, maka dari itu, pada saat melakukan perjalanan beliau kerap kali harus memutar otak untuk mengelabuhi pasukan Belanda. Bahkan tak jarang beliau harus berhadapan oleh pasukan Belanda.
Jenderal Soedirman beserta pasukannya berangkat dari Yogyakarta melewati jalur selatan menuju timur melalui Bantul, Palbapang, Bakulan, Kretek, Grogol, Parangtritis, Karangtengah, Panggang, Paliyan (Karangduwet), Playen, Siyono, Wonosari, Semanu, Bedoyo, Pracimantoro, Pulo, Karangbendo, Eromoko, Wuryantoro, Wonogiri, Jatisrono, Slogohimo, Purwantoro, Sumoroto, Ponorogo, Jetis, Sambit, Sawo, Tumpakpelem, Nglongsor, Tugu, Trenggalek, Bendorejo, Kalangbret, Kediri, Sukorame, Karangnongko, Pekso, Krampyang, Bajulan, Salamjudeg, Makuto, Sawahan, Ngliman, Gimbal, Gedangklutuk, Selayang, Serang, Jambu, Wayang, sampai ke Banyutowo.[1]
Alasan
[sunting | sunting sumber]Alasan jenderal Soedirman singgah di Bantul, khususnya di Pundong dikarenakan kondisi geografis di kawasan Pundong yang dapat melindungi Jenderal Soedirman di sana. Pada kawasan pundong terdapat sungai pemisah, yaitu sungai Opak. Pada zaman dulu belum ada jembatan seperti saat ini, dan dikarenakan sungai Opak sedang meluap, maka pasukan Belanda baru dapat menyebrang jika air telah surut. Ditambah lagi wilayah tersebut jauh dari deteksi dan radar pasukan Belanda.
cara Jenderal Soedirman menyebrang adalah menunggu hingga malam hari dan sungai mulai surut. Setelah sungai surut, Jenderal Soedirman beserta pasukannya menyebrangi sungai menaiki rakit. Sesampainya di seberang, beliau menaiki dokar yang ditarik oleh masyarakat menuju ke kediaman lurah Grogol. Alasan Jenderal Soedirman tidak menggunakan Dokar bertenaga kuda karena beliau takut jika menggunakan kuda, maka akan disita dan ketauan oleh pasukan Belanda. Saat itu, masyarakat menyiapkan jamuan dan sambutan kepada Jenderal Soedirman dan pasukannya sebagai bentuk antusiasme yang mereka rasakan.
Rujukan
[sunting | sunting sumber]- ^ "Rumah Singgah Gerilya Jenderal Soedirman". Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta. Diakses tanggal 27 Juli 2024.