Saluak
Saluak adalah tutup kepala laki-laki yang terutama terdapat pada pakaian penghulu di Minangkabau. Tutup kepala ini terbuat dari kain songket atau kain batik berbahan katun dengan warna dasar cokelat atau merah, bergantung pada warna pakaian yang digunakan. Saluak dipasang ke kepala dengan memiringkannya ke kiri. Ciri khas tutup kepala ini terletak pada kerutan atau lipatan yang membentuk jenjang, pada umumnya berjumlah lima, tapi ada pula sampai tiga belas kerutan.[1]
Saluak merupakan salah satu kelengkapan seorang penghulu dalam upacara adat di Minangkabau, seperti batagak pangulu. Bagi penghulu, kerutan atau lipatan pada saluak melambangkan banyak undang-undang yang harus dipatuhi oleh seorang penghulu.[2]
Selain dipakai oleh penghulu, tutup kepala ini dipakai oleh pengantin laki-laki pada waktu upacara pernikahan.[3]
Bentuk
[sunting | sunting sumber]Saluak berasal dari bentangan kain berbentuk segi empat berukuran 80 meter persegi. Kain direndamkan terlebih dahulu ke dalam cairan tepung kanji yang telah dimasak. Dalam keadaan basah, kedua sudut kain yang berlawanan dipertemukan sehingga membentuk segitiga. Pinggir (alas) segitiga dibuat lipatan sebanyak yang diinginkan, biasanya lima sampai tiga belas. Setelah itu, dibuat lingkaran seukuran besar kepala dengan menyilangkan kedua ujungnya. Ujung silangan bagian dalam dilipat membalut ujung bagian luar dan selanjutnya dimasukkan ke dalam, sedangkan ujung silangan bagian luar dilipat ke atas sehingga menutup sebagian lubang lingkaran. Selanjutnya, ujung-ujung puncak segitiga yang dua lapis ditutupkan sehingga bertemu dengan ujung lipatan yang sebelah ke luar pertama dan akhirnya kedua ujung tersebut menutupi lubang lingkaran bersama-sama dengan ujung sebelah bawah yang dilipatkan ke atas. Sesudah itu, dilanjutkan dengan penataan akhir.[4]
Bentuk saluak seperti songkok, tapi bagian atasnya mengikuti bentuk kepala. Bagian muka saluak dibuat datar dan terdapat kerut-kerut hasil lipatan kain, yang membentuk jenjang. Peniti digunakan untuk membentuk kerutan saluak dengan cara menyematkannya pada bagian atas saluak. Pada bagian sisi belakang saluak, terdapat pilinan ujung sisi kiri dan ujung sisi kanan kain saluak. Adapun bagian dalam saluak mengikuti bentuk luar saluak, yakni terdapat kerut-kerutan hasil lipatan kain.[5][6]
Kain pada saluak dapat berupa kain songket atau kain batik berbahan katun. Saluak yang digunakan oleh pengantin laki-laki biasanya merupakan kain songket berbenang emas. Motifnya berupa batang pinang, bunga tanjung, dan tumbuhan lainnya. Warna saluak mengikuti warna bahan batik yang digunakan, seperti warna cokelat dan warna merah bata. Pada saluak yang terbuat dari batik, cenderung berwarna gelap.[3][6]
Makna
[sunting | sunting sumber]Lipatan-lipatan saluak melambangkan lilitan akal seorang pimpinan adat. Penghulu mampu menyimpan rahasia, tidak boleh terburu-buru dalam mengambil keputusan, dan selalu bermusyawarah dengan sanak saudara. Dalam pepatah, lipatan-lipatan saluak yang berbentuk jenjang melambangkan aturan hidup orang Minangkabau yang "berjenjang naik, bertangga turun".[7]
Lipatan-lipatan saluak berjumlah lima sampai tiga belas lipatan. Jumlah ini biasanya dikaitkan dengan makna adat Minang atau Islam. Lima lipatan dapat melambangkan lima unsur dalam adat Minangkabau, yaitu penghulu, khatib, pemerintah, cerdik pandai, dan manti atau dubalang. Adapun 13 kerutan dapat diartikan sebagai jumlah rukun salat. Kerutan pada saluak apabila dikembangkan akan melebar, yang dilambangkan sebagai luasnya pengetahuan seorang penghulu sehingga sanggup melaksanakan tugasnya menyelamatkan anak kemenakannya.[7]
Saluak tidak menggunakan jahitan, melainkan hanya menggunakan peniti atau diikat, yang bermakna peraturan yang dimufakatkan oleh ninik mamak dapat diubah sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan yang terjadi di masyarakat.[8]
Pemakaian
[sunting | sunting sumber]Cara pemakaian saluak yaitu dengan dimiringkan ke arah kiri. Bagian pusar saluak berada di tengah dahi, sejajar dengan tulang hidung.[6]
Saluak dipakai oleh penghulu. Dalam pemakaiannya, tidak sembarangan orang yang boleh menggunakannya, hanya penghulu yang dianggap sudah memiliki ilmu serta memahami setiap tugas dan tanggung jawabnya.[8]
Rujukan
[sunting | sunting sumber]- Catatan kaki
- ^ Nadya Amelia 2017.
- ^ Afifah Asriati 2011.
- ^ a b Nazif Basir & Elly Kasim 1997.
- ^ Anwar Ibrahim 1986, hlm. 151–152.
- ^ Anwar Ibrahim 1986, hlm. 27.
- ^ a b c Dina Herlina Sari 2015, hlm. 4–9.
- ^ a b Anwar Ibrahim 1986, hlm. 28.
- ^ a b Dina Herlina Sari 2015, hlm. 10–11.
- Daftar pustaka
- Dina Herlina Sari (2015). "Studi Tentang Saluak Penghulu di Kota Payakumbuh" (PDF). Journal Home Economic and Tourism. Universitas Negeri Padang. 8 (1).
- "Koleksi Saluak di Museum Adityawarman". Museum Adityawarman. 2018. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-03. Diakses tanggal 2019-03-07.
- Nazif Basir; Elly Kasim (1997). Tata Cara Perkawinan Adat Istiadat Minangkabau. Elly Kasim Collections.
- Nadya Amelia (2017). "Nama dan Makna Bagian-Bagian Pakaian Penghulu Minangkabau Di Kenagarian Kacang Kecamatan X Koto Singkarak Kabupaten Solok". Jurnal Bahasa dan Sastra. Universitas Negeri Padang. 5 (1).
- Anwar Ibrahim (1986). Pakaian Adat Tradisional Daerah Provinsi Sumatera Barat (PDF). Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.
- Afifah Asriati (2011). Degradasi Makna Simbolik Busana Adat Minangkabau (PDF). Univeristas Negeri Padang.