Sastra elektronik
Sastra elektronik adalah sastra di media elektronik. Sastra dalam peradaban tradisional didominasi sastra lisan; dalam peradaban modern didominasi oleh sastra tulis; dan dalam peradaban posmodern didominasi oleh sastra elektronik. Ambang peralihan tiap peradaban tampak dalam deformasi genre sastra. Pendokumentasian dan penulisan sastra lisan sejalan dengan peralihan dari peradaban tradisional menuju peradaban modern. Perekaman, sinematisasi dan digitalisasi baik sastra lisan maupun sastra tulis sejalan dengan peralihan menuju peradaban posmodern.
Genre Sastra
[sunting | sunting sumber]Dengan mengacu pada tiga paradigma peradaban menurut Alvin Toffler (1980), ranah sastra dapat dipilah ke dalam paradigma peradaban agraris, industrial, dan informasi. Sastra dalam peradaban agraris didominasi genre sastra lisan; sastra dalam peradaban industrial didominasi genre sastra tulis; dan sastra dalam peradaban informasi didominasi genre sastra elektronik. Berdasarkan hal ini objek penelitian sastra dapat diklasifikasikan ke dalam sastra lisan, sastra tulis, dan sastra elektronik.
Sastra Lisan
[sunting | sunting sumber]Menurut Wiget (lihat Lauter, 1994), sastra lisan dipertunjukkan di hadapan pendengar yang melakukan evaluasi baik cara maupun isi pertunjukan; evaluasi bukan merupakan kesimpulan dari pertunjukan tersebut, melainkan merupakan sebuah kegiatan yang berlangsung yang tercermin dalam tingkat perhatian dan komentar.
Terdapat varitas yang sangat mengejutkan dari sastra lisan yang bertahan hidup di antara orang-orang pra-aksara, dan sebagaimana kata-kata tertulis muncul dalam sejarah, menunjukkan bahwa semua genre penting sastra yang muncul pada awal masyarakat beradab adalah: epos heroik, nyanyian pujaan untuk pendeta dan raja, cerita misteri dan supernatural, lirik cinta, nyanyian pribadi hasil meditasi, kisah cinta, kisah petualangan dan heroisme rakyat jelata, yang berbeda dari epos heroik kelas atas, satir, satir pertempuran, balada, dogeng tragedi rakyat dan pembunuhan, cerita rakyat, fabel, teka-teki, pepatah, falsafah hidup, himne, mantra-mantra, nyanyian misteri para pendeta, dan mitologi.
Dari berbagai varitas di atas, genre sastra lisan dapat klasifikasikan ke dalam sub-sub genre yang terdiri atas puisi lisan, prosa lisan, dan drama lisan. Edi Sedyawati (lihat Pudentia, 1998) menyusun sebuah gradasi dari sastra lisan yang paling murni sastra hingga ke pertunjukan teater yang paling lengkap media pengungkapannya, yakni: murni pembacaan sastra (mebasan dan macapatan); pembacaan sastra disertai gerak sederhana dan atau iringan musik terbatas (cekepung dan kentrung); penyajian cerita disertai gerak tari (randai); dan penyajian cerita melalui aktualisasi adegan, dialog dan tarian pemeran, dan iringan musik (wayang wong, makyong, wayang gong, dan lain-lain).
Menurut Wiget, dalam banyak sastra lisan dunia, puisi lisan adalah nyanyian, seperti halnya mazmur-mazmur Daud, lirik-lirik Orpheus, maupun meditasi-meditasi Tecayahuatzin. Baik puisi lisan maupun prosa lisan Amerika terdapat dalam kesusastraan pribumi seperti puisi Zuni, Aztec, Inuit, Aleut, dan lain-lain; dan cerita-cerita dari suku-suku Indian Hitchiti, Zuni, Navajo, Lakota, Iroquois, dan lain-lain.
Perkembangan penelitian terhadap sastra lisan yang merupakan sastra rakyat dilakukan dengan menggunakan metode-metode historik-komparatif, historik-geografik, dan historik-struktural.
Menurut A Teeuw (1988), perkembangan dalam studi sastra lisan terutama yang menyangkut puisi rakyat antara lain dilakukan oleh Parry dan Lord. Hipotesis Parry dan Lord ternyata dapat dibuktikan dengan meneliti puluhan contoh epos rakyat seperti yang dinyanyikan oleh tukang cerita. Dengan meneliti teknik penciptaan epos rakyat, cara tradisi tersebut diturunkan dari guru kepada murid, dan bagaimana resepsinya oleh masyarakat, Parry dan Lord berkesimpulan bahwa epos rakyat tidak dihafalkan secara turun-temurun tetapi diciptakan kembali secara spontan, si penyanyi memiliki persediaan formula yang disebut stock-in-trade, terdapat adegan siap pakai yang oleh Lord disebut theme, dan variasi merupakan ciri khas puisi lisan.
Sedangkan untuk melakukan penelitian terhadap teater rakyat dapat menggunakan metodologi kajian tradisi lisan. Dengan menggunakan metodologi kajian tradisi lisan, penelitian teater rakyat dapat dilakukan secara menyeluruh tidak hanya terbatas pada aspek kesastraannya saja tetapi juga mencakup aspek-aspek kebudayaan yang melingkupinya. Hal ini penting karena teater rakyat tidak hanya merupakan bagian dari sastra lisan tetapi juga bagian dari seni pertunjukan rakyat yang memiliki jaringan dengan berbagai unsur kebudayaan.
Sastra Tulis
[sunting | sunting sumber]Menurut Wellek dan Warren (1989), salah satu batasan sastra adalah segala sesuatu yang tertulis. Hal ini menurut Teeuw sesuai dengan pengertian sastra (literature) dalam bahasa Barat yang umumnya berarti segala sesuatu yang tertulis, pemakaian bahasa dalam bentuk tertulis. Lebih lanjut menurut Teeuw, bahasa tulis memiliki tujuh ciri, yakni: (1) dalam bahasa tulis antara penulis dan pembaca kehilangan sarana komunikasi suprasegmental; (2) dalam bahasa tulis tidak ada hubungan fisik antara penulis dan pembaca; (3) dalam teks-teks tertulis, penulis tidak hadir dalam situasi komunikasi; (4) teks-teks tertulis dapat lepas dari kerangka referensi aslinya; (5) bagi pembaca, tulisan dapat dibaca ulang; (6) teks-teks tertulis dapat diproduksi dalam berbagai bentuk dan jangkauan komunikasi yang lebih luas; dan (7)komunikasi menembus jarak ruang, waktu, dan kebudayaan.
Genre sastra tulis dapat dijabarkan ke dalam sub-sub genre yang terdiri atas puisi tulis, prosa tulis, dan drama tulis.Dewasa ini bentuk karya sastra yang paling diminat adalah cerpen dan novel. Waluyo (2002:28) membagi karya fiksi menjadi roman, cerita pendek, dan novel. Termasuk dalam klasifikasi novel adalah novelet. Novelet yaitu novel pendek yang lebih panjang dari cerita pendek, roman adalah jenis cerita rekaan yang paling dulu muncul, disusul oleh cerita pendek dan baru kemudian muncul novel dan novelet. Bentuk novel ataupun novelet dan cerita pendek pada akhirnya merajai sastra di Indonesia.
Sastra Elektronik
[sunting | sunting sumber]Kemajuan teknologi sangat berpengaruh terhadap perkembangan kesenian. Salah satu bidang teknologi yang mengalami perkembangan pesat adalah teknologi elektronik. Teknologi ini memiliki keterkaitan erat dengan dunia kesenian, baik sebagai alat produksi maupun sebagai media komunikasi. Bahkan teknologi elektronik berperan dalam menciptakan suatu genre baru dalam dunia kesenian yaitu seni elektronik.
Frank Popper (1993) membahas lima kategori seni elektronik: (1) seni laser dan holografik, (2) seni video, (3) seni komputer, (4) seni komunikasi, dan (5) seni instalasi, demonstrasi dan pertunjukan. Fokus bahasan Popper adalah senirupa elektronik. Genre-genre seni elektronik terdapat dalam berbagai bidang kesenian seperti seni musik elektronik, seni rupa elektronik, sinema elektronik, dan sastra elektronik.
Dalam arti luas karya sastra yang diproduksi, dimodifikasi, dan dikemas dengan menggunakan peralatan elektronik dapat dinamakan sastra elektronik. Sesuai dengan media yang dipakai, sastra elektronik dapat diklasifikasikan ke dalam tiga jenis: sastra audio, sastra audiovisual, dan sastra multimedia. Sedangkan sesuai dengan genrenya, sastra elektronik dapat dijabarkan ke dalam sub-sub genre seperti di bawah ini.
Media Sastra
[sunting | sunting sumber]Media: puisi elektronik, prosa elektronik, drama elektronik
Audio: puisi radio, dongeng/cerita radio, sandiwara/ drama radio
Audio-visual: puisi TV/puisi klip, film naratif/film dokumenter/film cerita TV, Sandiwara/fragmen/drama TV/film/drama/telenovela
Multi-media: puisi internet/puisi digital/E-mail/LD/VCD/CD-Rom, cerpen internet/ novel grafis/novel blog/novel interaktif/digital novel/LD/VCD/CD-Rom, fragmen/drama/ film drama/drama internet/lakonet/drama digital/VCD/LD/CD-Rom
Klasifikasi di atas tidak menutup kemungkinan adanya genre campuran antara sastra lisan, sastra tulis, dan sastra elektronik.
Media Hibrida
[sunting | sunting sumber]Seringkali terdapat hibrida atau campuran antara sastra lisan dan sastra tulis dalam bentuk sastra lisan yang dituliskan dan sastra tulis yang dilisankan. Ada pula campuran antara sastra lisan dan sastra elektronik dalam bentuk sastra lisan yang dielektronikkan dan sastra elektronik yang dilisankan. Sedangkan campuran antara sastra tulis dan sastra elektronik terdapat dalam bentuk sastra tulis yang dielektronikkan dan sastra elektronik yang dituliskan. Percampuran tersebut menunjukkan adanya hubungan timbal-balik baik antargenre maupun lintasgenre.
Pada abad informasi dewasa ini, sastra elekronik mulai menjadi alternatif objek kajian sastra yang didominasi sastra lisan dan tulis. Terdapat deformasi media sastra, mulai dari layarnyata, layarperak, layarkaca sampai layarmaya. Dengan demikian patut disayangkan jika para pegiat sastra hanya berkutat dengan sastra lisan dan sastra tulis belaka. Sedangkan sastra elektronik tak terlirik samasekali. (Semarang 8 Nopember 2007. SiswoHarsono)
Daftar Pustaka
[sunting | sunting sumber]Abrams, M.H. 1976. The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition. Oxford: Oxford University Press.
Altick, Richard D. 1981. The Art of Literary Research. New York: WW Norton & Company.
Benjamin, Walter. 1988. “The Author as Producer”. KM Newton, ed. Twentieth-Century Literary Theory: A Reader. London: Macmillan Education, Ltd.
Caudwell, Christopher. 1988. “English Poets: The Decline of Capitalism”. KM Newton, ed. Twentieth-Century Literary Theory: A Reader. London: Macmillan Education, Ltd.
Danandjaya, James. 1991. Folklor Indonesia. Jakarta: Grafiti.
Effendy, Onong Uchjana. 1993. Televisi Siaran: Teori & Praktik. Bandung: Mandar Maju.
Fokkema, D.W. dan Elurd Kunne-Ibsch. 1998. Teori Sastra Abad Keduapuluh. Jakarta: Gramedia.
Harsono, Siswo. 2000. Metodologi Penelitian Sastra. Semarang: Deaparamartha.
Lauter, Paul, ed. 1994. The Heath Anthology of American Literature. Vol. 1. 2-nd. Lexington, MA: D.C. Heath and Company.
Newton, K M, ed. 1988. Twentieth-Century Literary Theory: A Reader. London: Macmillan Education, Ltd.
Pasqua, Thomas M, Jr dan kawan-kawan. 1990. Mass Media in the Information Age. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Popper, Frank. 1993. Art of the Electronic Age. New York: Thames and Hudson Ltd.
Pudentia M.P.S.S., ed. 1998. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Selden, Raman. 1991. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Semi, Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.
Sudjiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Grafiti.
Sudjiman, Panuti dan Aart Van Zoest, ed. 1992. Serba-serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia.
Sumaryono, E. 1993. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Teeuw, A.1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Toffler, Alvin. 1990. The Third Wave. New York: Bantam Books.
Wolf, Janet. 1982. The Social Production of Art. London: Mac Millan.
Zoest, Aart Van. 1993. Semiotika. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.
“Jaka Tarub”. Dongeng Asli Indonesia. Vol. 2. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 1996 (Kaset).
“Pinokio & Cinderela”. Seri Dongeng Dunia. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, Tim Software & Multimedia, 1998 (CD-Rom).