Sejarah Sumatera Barat (1945-1949)
Sejarah Sumatera Barat (1945-1949) mencakup peristiwa sejarah yang terjadi di wilayah ini, mulai dari pasca-proklamasi kemerdekaan, kedatangan Sekutu yang diboncengi oleh Belanda, perang kemerdekaan, Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), hingga pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda. Periode ini ditandai dengan berbagai perjuangan rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan dari ancaman kolonialisme.[1][2][3][4][5]
Pembentukan pemerintahan
[sunting | sunting sumber]Pembentukan pemerintahan Republik Indonesia di Sumatera Barat ditandai dengan penunjukan Mohammad Sjafei sebagai Residen Sumatera Barat pertama pada 1 Oktober 1945. Situasi di wilayah ini masih penuh dengan ketidakpastian setelah ancaman dari pasukan Sekutu dan Belanda yang ingin mengembalikan kekuasaannya.
Kedatangan Sekutu
[sunting | sunting sumber]Pada tanggal 10 Oktober 1945, pasukan Inggris terdiri dari satu battalion pasukan dari Divisi India ke-26 dibawah pimpinan Mayor Jenderal H.M. Chambers mendarat di Padang, Sumatra Barat. Mereka didampingi oleh Mayor Jenderal A.J. Spits, yang merupakan wakil dari pihak Belanda. Pada tanggal 13 Oktober diketahui bahwa pasukan sekutu akan mendarat di Teluk Bayur dan untuk membantu menurunkan perlengkapan dikirimlah pemuda-pemuda. Para pemuda ini bertugas menyamar sebagai kuli pelabuhan untuk mendapatkan informasi, sebagian besar mempunyai kemampuan berbahasa Belanda dan Inggris. Dari informasi yang dikumpulkan oleh pemuda-pemuda inilah diketahui ternyata bahwasanya tentara Sekutu juga membaya tentara Belanda bersama mereka.
Pada tanggal 21 Oktober, perwira-perwira Sekutu ini menerima penyerahan seluruh kekuatan militer Jepang di Sumatra, yang ditandatangani oleh Letnan Jenderal Moritake Tanabe dari Tentara ke-25 Angkatan Darat Kekaisaran Jepang dan Vice Admiral Sueto Hirose dari Angkatan Laut Kekaisaran Jepang.
Selama tiga belas bulan kehadiran mereka di Sumatra Barat (dari Oktober 1945 hingga November 1946), hubungan antara pasukan Inggris dengan pihak Indonesia tetap tegang. Kedatangan mereka di Teluk Bayur, Padang, yang diikuti oleh perwira-perwira Belanda, menimbulkan kecurigaan di kalangan pihak Indonesia. Mereka meragukan apakah Inggris benar-benar hanya akan mengevakuasi tawanan perang Jepang dan kemudian pergi, atau apakah mereka akan membiarkan tugas mereka digunakan oleh Belanda untuk kembali menguasai Indonesia. Pasukan Sekutu di Padang mengajak Pemerintah Republik Indonesia untuk bertemu. Pasukan Sekutu dipimpin oleh Brigadir Jenderal Hutchinson, sementara delegasi Indonesia dipimpin oleh Moehammad Syafei. Hutchinson menjelaskan bahwa kehadiran tentara Sekutu di Indonesia hanya bertujuan untuk menjalankan tugas-tugas yang telah diumumkan sebelumnya, yaitu melucuti senjata Jepang, membebaskan tawanan Jepang, dan menjaga ketertiban. Hutchinson juga menegaskan bahwa mereka tidak akan mencampuri urusan pemerintahan Indonesia dan meminta pihak Indonesia untuk bekerja sama dengan mereka. Meskipun was-was, pejabat-pejabat Republik tetap menunjukkan keyakinan bahwa pasukan Sekutu datang hanya untuk melaksanakan tugas mereka yang seharusnya.
Pasukan Inggris berhasil membentuk beberapa kantong pertahanan di kota Padang, tetapi tidak pernah berhasil memperluas kontrol mereka ke luar kota. Hingga April 1946, mereka fokus pada pengamanan kantong-kantong pertahanan. Selain itu, pasukan Inggris juga mengutamakan pengamanan jalur komunikasi dengan Lapangan Udara Tabing di utara dan Pelabuhan Teluk Bayur sekitar lima kilometer di selatan.
Tepat pada pukul 12.00 WIB, tanggal 28 November 1946, pasukan Inggris secara resmi menyerahkan kekuasaan di Padang kepada Belanda. Dalam serah terima tersebut, Belanda diwakili oleh Kolonel Johannes Willem Sluyter, Komandan Brigade U.
Pengambilalihan Kota Padang
[sunting | sunting sumber]
Hanya dua hari setelah Belanda menerima kekuasaan dari Inggris, serangan-serangan oleh Belanda segera terjadi. Pada tanggal 30 November 1946, sekitar pukul 02.00 dini hari, tentara Belanda di bawah pimpinan Kapten Van Buren menduduki posisi-posisi strategis di Kampung Jawa. Sekitar pukul 03.00 pagi pada hari yang sama, Belanda melakukan serangan mendadak terhadap markas BKR (Barisan Keamanan Rakyat)a, yang mengakibatkan gugurnya Wakil Ketua BKR Nurmatias dan penangkapan 99 orang lainnya.
Agresi Militer I
[sunting | sunting sumber]Pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan Agresi Militer Belanda I, yang melanggar Perjanjian Linggarjati yang telah disepakati pada tanggal 15 November 1946. Di Padang, serangan ini ditujukan kepada kekuasaan sipil dan polisi Republik di dalam kota, serta pasukan militer di sekitarnya.Sebagai isyarat komando untuk memulai Agresi Militer Belanda I, Belanda meledakkan bom besar di Lapangan Udara Tabing pada tengah malam pukul 12.00. Bersamaan dengan ledakan tersebut, pasukan Belanda yang terdiri dari infanteri, artileri, dan kavaleri bergerak ke seluruh front.
Saat subuh, seluruh daerah di luar Kota Padang, seperti Muara Penyalinan, Lubuk Buaya, Pulai, Koto Tuo, Tanjung Aur, dan Koto Panjang (Front Utara); Lubuk Begalung, Bandar Buat, Anduring, Kampung Kelawi, Nanggalo (Front Timur); serta Bukit Lampu dan Bungus (Front Selatan), dibombardir dengan mortir dan howitzer. Ketika matahari terbit, pesawat-pesawat terbang juga ikut menyerang di semua front. Bersamaan dengan itu tank, truk, dan kendaraan lapis baja bergerak maju, didahului oleh tembakan artileri di semua jalan raya di seluruh front.
Dalam sehari penuh, serdadu-serdadu Belanda berhasil menduduki semua persimpangan jalan dan kampung-kampung penting di semua front di sekitar Padang, mulai dari Tabing, Koto Tangah, Pauh V, Pauh IX, Indarung, Nagari Nan XX, hingga Teluk Kabung. Di setiap daerah yang diduduki Belanda segera mendirikan pos-pos keamanan yang dihubungkan dengan telepon ke markas di Kota Padang. Dalam waktu kurang dari satu bulan, Belanda berhasil menduduki wilayah Republik hingga ke Lubuk Alung, sekitar 34 km di utara Padang dan sekitar 23 km ke timur sampai ke Subang, serta kira-kira 32 km ke selatan di wilayah Bungus. Dengan semakin luasnya daerah kekuasaan, Belanda terpaksa melakukan patroli di wilayah yang lebih luas lagi. Selain menggunakan kendaraan bermotor, pasukan Belanda kadang-kadang harus berjalan kaki untuk mengontrol daerah mereka. Di daerah-daerah yang mereka duduki, Belanda berupaya memutuskan komunikasi para pejuang Republik, terutama dengan Kota Padang. Meskipun demikian, para pejuang Republik tetap mampu melakukan penyusupan ke dalam kota dan melancarkan serangan-serangan gerilya secara mendadak.3
Untuk menguasai Kota Padang dan menyingkirkan pejuang Republik, Belanda menerapkan strategi anti-gerilya. Anti gerilya adalah serangkaian strategi militer yang digunakan oleh pasukan reguler untuk melawan dan mengalahkan kelompok gerilya. Operasi ini bertujuan untuk menghancurkan atau mengurangi efektivitas pasukan gerilya dengan berbagai metode. Strategi yang diterapkan meliputi 1) menghentikan jalur pasokan dan menghancurkan tempat penyimpanan logistik, 2) menangkap peralatan musuh dan personel penting, 3) menciptakan kekacauan di antara gerilyawan serta menurunkan moral mereka, 4) melemahkan kekuatan gerilyawan sehingga mereka terus dalam pelarian, 5) memecah gerilyawan menjadi kelompok-kelompok kecil dan menghancurkan mereka, serta 6) membebaskan desa-desa dari ancaman tindakan gerilya.
Strategi yang dilakukan oleh Belanda merupakan lawan atau kebalikan dari strategi yang dilakukan oleh pejuang Republik yang menerapkan strategi gerilya. Dalam strategi gerilya, serangan kejutan merupakan elemen utama. Mobilitas dan penyergapan merupakan beberapa taktik yang penting. Strategi ini sangat membutuhkan informasi yang akurat tentang kekuatan dan posisi musuh untuk mengetahui di mana harus menyerang dengan keunggulan relatif. Umumnya, taktik gerilya meliputi: 1) memulai serangan setelah melakukan perencanaan yang matang, 2) menghindar atau mundur sebelum menghadapi pasukan musuh yang lebih kuat, 3) berkonsentrasi pada elemen-elemen musuh yang terisolasi atau lebih lemah, 4) tidak melewatkan peluang untuk menyerang kekuatan yang lebih besar saat mereka bergerak dengan melakukan serangan mendadak, 5) meminta bantuan dari masyarakat setempat, 6) menghancurkan atau membajak komunikasi musuh, 7) melakukan pengalihan dan eksploitasi terhadap musuh yang memaksa mereka mengalokasikan kekuatan yang cukup besar untuk perlindungan internal dan 8) mengumpulkan intelijen di belakang garis musuh.
Agresi Militer II
[sunting | sunting sumber]Pada tanggal 18 Desember 1948, pada pukul 06.00 pagi pesawat Belanda menyebarkan pamflet-pamflet yang isinya, 1) hari ini pukul enam pagi tentara Belanda mulai bergerak dari Padang, 2) pukul 13.00 siang akan memasuki kota Bukittinggi, 4) sambutlah tanpa perlawanan, 5) tentara hendaklah bertugas sebagai polisi 6) polisi harus tetap di tempat, senjata diserahkan, 7) pamongpraja/ninik mamak/pejabat hendaklah menyambut dengan sikap persahabatan, 8) rakyat umum hendaknya tenang.
Pada pagi itu, pesawat-pesawat Belanda mulai beraksi di Bukittinggi dengan menjatuhkan bom, menembaki pemancar RRI, tangsi-tangsi, serta kendaraan yang melintas di jalanan. Penembakan dan pemboman ini menyebabkan kerusakan pada banyak bangunan. Komunikasi terputus dan warga menjadi panik. Demi keselamatan, banyak penduduk Bukittinggi yang mengungsi ke desa-desa sekitar. Seiring dengan serangan di Bukittinggi, pasukan Belanda juga melancarkan serangan besar-besaran dari Padang ke arah utara, timur, dan selatan.
Sasaran utama Belanda awalnya menduduki pusat pemerintahan sipil dan militer Republik di Padangpanjang dan Bukittinggi. Mereka mengepung garis pertahanan Indonesia di Lembah Anai antara Kayu Tanam dan Padangpanjang, dengan mendaratkan empat pesawat amfibi Consolidated PBY Catalina buatan Amerika di Danau Singkarak pada pukul 6.30 pagi tanggal 19 Desember. Pantai timur danau tersebut menjadi titik awal gerakan pasukan Belanda selanjutnya, menuju Padangpanjang ke arah utara dan Solok ke arah selatan.
Secara bersamaan, pasukan Belanda melintasi garis gencatan senjata dekat Indarung ke arah Timur dan Lubuk Alung di utara. Pasukan terbesar mereka maju ke arah Solok melalui Celah Subang dan hanya menghadapi sedikit perlawanan. Meskipun beberapa jembatan kecil di sepanjang jalan dihancurkan, mereka berhasil bergerak cepat dan menduduki Solok pada sore hari Senin, 20 Desember. Pada sore itu juga, pasukan yang bergerak ke utara mencapai Kayu Tanam, tetapi menghadapi perlawanan sengit antara daerah tersebut dan Padangpanjang. Pihak Republik telah memusatkan kekuatan utamanya di sepanjang Lembah Anai untuk mengantisipasi serangan utama Belanda ke Bukittinggi melalui lembah ini. Gerakan maju Belanda dihambat dengan perusakan jembatan, penebangan pohon-pohon yang dibentangkan di jalan, serta gangguan tembakan dari pasukan Republik sambil mundur. Dengan menggunakan pesawat tempur North American Aviation P-51 Mustang buatan Amerika, Belanda menembaki dan membom pertahanan Republik serta pasukan yang mundur, termasuk Bukittinggi dan kota-kota utama lainnya, sebagai persiapan serangan darat.
Pada pagi hari Selasa, 21 Desember, Belanda berhasil mendaratkan pasukan di pantai timur Singkarak untuk menggerakkan unit militernya ke utara menuju Padangpanjang, dan unit yang lebih kecil ke selatan untuk menduduki Solok. Pasukan yang bergerak ke utara meninggalkan Padangpanjang pada subuh 22 Desember menuju Bukittinggi, dan menduduki ibu kota Republik tersebut dalam beberapa jam. Mereka mengambil alih kota yang telah ditinggalkan, di mana hampir semua penduduknya telah mengungsi ke daerah pedalaman, dan kebanyakan bangunan penting dan strategis telah dihancurkan.
PDRI
[sunting | sunting sumber]Setelah jatuhnya Bukittinggi dan Yogyakarta para pemimpin Republik yang yang dipimpin oleh Menteri Kemakmuran Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang saat itu berada di Sumatra Barat segera mengambil tindakan dengan membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Karena Bukittinggi sudah dikuasai maka PDRI dijalankan secara berpindah-pindah di hutan-hutan pedalaman Sumatra Barat.[6]
Pemerintahan di bawah Belanda
[sunting | sunting sumber]Sejak bulan September 1947, Belanda mendirikan Hoofd Tijdelijke Bestuur (Kepala Pemerintahan Sementara) di Kota Padang. Mereka menghidupkan kembali lembaga Gemeente (Dewan Kotapraja) gaya kolonial sebelum perang. Anggota Gemeenteraad (Kotapraja) terdiri dari 17 orang yang semuanya diangkat oleh Belanda, termasuk 7 orang Indonesia, 5 orang Belanda, dan 5 orang timur asing. Dewan ini kemudian memilih dr. Abdoel Hakim, mantan Walikota Padang yang pertama, sebagai Burgemeester (Walikota) Padang di bawah kekuasaan Belanda. Namun, setelah Perjanjian Renville ditandatangani pada bulan Januari 1948, situasi di Kota Padang berubah dengan cepat. Semua institusi Republik diharuskan keluar dari kota, sehingga pasca Agresi Militer Belanda II, hampir tidak ada unsur Republik dalam pemerintahan kota. Hanya masyarakat atau pejabat yang benar benar mengabdi pada kepentingan pemerintah pendudukan yang tersisa.
Masyarakat yang pro-Republik segera menyingkir dari Kota Padang, sementara mereka yang pro-Belanda menerima berbagai fasilitas dan kemudahan hidup, termasuk logistik, pakaian, tempat tinggal, dan pendidikan. Pemerintah Belanda bahkan memberikan pendidikan gratis bagi mereka dengan mendirikan Permindo, sebuah sekolah elite yang khusus diperuntukkan bagi orang-orang yang bersedia bekerja sama dengan Belanda.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Indonesia-Minangkabau, Badan Pemurnian Sejarah (1991). Sejarah perjuangan kemerdekaan R.I. di Minangkabau/Riau, 1945-1950. Badan Pemurnian Sejarah Indonesia-Minangkabau. ISBN 978-979-405-127-6.
- ^ Silalahi, M. Daud (1992). Sejarah perjuangan kemerdekaan R.I. di Minangkabau/Riau, 1945-1950. Badan Pemurnian Sejarah Indonesia-Minangkabau. ISBN 978-979-405-126-9.
- ^ Kronik revolusi Indonesia: 1947. Kepustakaan Populer Gramedia. 1999. ISBN 978-979-9023-46-9.
- ^ Dari pemberontakan ke integrasi Sumatra Barat dan politik Indonesia, 1926-1998. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 978-979-461-519-5.
- ^ Asnan, Gusti (2007). Memikir ulang regionalisme: Sumatera Barat tahun 1950-an. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 978-979-461-640-6.
- ^ Imran, Amrin (2005). PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) dalam perang kemerdekaan. Citra Pendidikan. ISBN 978-979-96217-1-9.