Lompat ke isi

Sinar Lorenz

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Sinar Lorenz adalah sistem pemancar gelombang suara yang membantu pilot untuk mendaratkan pesawatnya tepat di landasan. Konsepnya masih sama seperti yang digunakan oleh sistem pendaratan instrumen sekarang, hanya saja sinar Lorenz memiliki sistem yang lebih sederhana.

Sistem navigasi ini awalnya dikembangkan mulai tahun 1932 oleh Dr. Ernst Kramar dari perusahaan Lorenz.[1] Tetapi kemudian diadopsi oleh Deutsche Lufthansa pada tahun 1934 dan dijual di seluruh dunia.[2]

Sinar Lorenz menggunakan 2 pemancar yakni "titik" dan "garis" seperti pada kode morse. Frekuensi yang dipancarkan saling tumpang tindih sehingga pada bagian yang tumpang tindih ini akan terdengar bunyi statis. Dalam sebuah aerodrome terdapat 3 penanda yakni Ansteuerungs-Funkfeuer (AFF) yang berada paling jauh dari landasan dan berfungsi untuk memberitahu posisi landasan, Vor-Einflugzeichen (VEZ) untuk memulai penurunan, dan Haupt-Einflugzeichen (HEZ) untuk koreksi akhir.

Cara penggunaannya sederhana, bagian kiri landasan adalah wilayah "titik", sementara bagian kanan landasan adalah bagian "garis". Apabila pilot mendengar bunyi "titik" artinya pesawat condong ke kiri, dan begitu juga sebaliknya. Bunyi statis yang terus menerus menandakan pesawat sudah berada pada jalur yang tepat.

Pada Perang Dunia II

[sunting | sunting sumber]

Beberapa pesawat Luftwaffe memiliki alat yang dinamakan FuBl (Funk-Blindlandeanlage) untuk dapat menerima frekuensi dan arah dari sinar Lorenz. Pada Perang Dunia II, sistem ini selain digunakan untuk pendaratan malam hari juga digunakan oleh Luftwaffe dalam Pertempuran Britania.

Ketika Inggris menyadari keberadaan sistem Knickebein, mereka dapat dengan cepat menghentikannya; tetapi 'X-Gerät' tidak berhasil dihentikan selama beberapa waktu. Inovasi selanjutnya oleh Jerman adalah modifikasi Baedeker atau Taub, yang menggunakan modulasi supersonik. Namun, keduanya sangat cepat dihentikan oleh Sekutu sehingga Jerman praktis menyerah pada penggunaan sistem pemboman berpandu laser; dengan pengecualian FuGe 25A, yang berhasil beroperasi untuk waktu yang singkat menjelang akhir Operasi Steinbock yang dikenal sebagai "Baby Blitz" .

Kelemahan operasional lebih lanjut dari sistem ini adalah bahwa pesawat pembom harus mengikuti jalur yang tetap antara stasiun pemancar berkas dan target. Bila sinar Lorenz terdeteksi, musuh dapat membuat persiapan pertahanan udara dengan lebih efektif karena jalur penerbangannya sudah diketahui.[3]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ http://www.radarworld.org/flightnav.pdf
  2. ^ Louis Brown, A Radar History of World War II: Technical and Military Imperatives, CRC Press, 1999, hal. 113
  3. ^ Jean-Denis G. G. Lepage,Aircraft of the Luftwaffe 1935-1945: An Illustrated History, McFarland, 2009,ISBN 0-7864-3937-8, hal. 60

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]