Lompat ke isi

Sindrom Asperger

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sindrom Asperger
Salah satu kebiasaan khas seorang penyandang Sindrom Asperger: menumpuk-numpuk benda (dalam foto ini yang ditumpuk adalah kaleng makanan).
Informasi umum
SpesialisasiPsikiatri Sunting ini di Wikidata

Sindrom Asperger (bahasa Inggris: Asperger syndrome, Asperger's syndrome, Asperger's disorder, Asperger's atau AS) adalah salah satu gejala autisme di mana para penderitanya memiliki kesulitan dalam berkomunikasi dengan lingkungannya, sehingga kurang begitu diterima. Sindrom ini ditemukan oleh Hans Asperger, seorang dokter anak asal Austria pada tahun 1944, meskipun baru diteliti dan diakui secara luas oleh para ahli pada dekade 1980-an. Sindrom Asperger dibedakan dengan gejala autisme lainnya dilihat dari kemampuan linguistik dan kognitif para penderitanya yang relatif tidak mengalami penurunan, bahkan dengan IQ yang relatif tinggi atau rata-rata (ini berarti sebagian besar penderita sindrom Asperger bisa hidup secara mandiri, tidak seperti autisme lainnya). Sindrom Asperger juga bukanlah sebuah penyakit mental.

Ketika orang berbicara, umumnya mereka menggunakan bahasa tubuh seperti senyuman dan komunikasi nonverbal lainnya, dan juga kata-kata yang dikeluarkan oleh mereka cenderung memiliki lebih dari satu buah makna. Seorang penderita sindrom Asperger umumnya tidak memiliki kesulitan dalam perkembangan bahasa/linguistik, tetapi mereka cenderung memiliki kesulitan untuk memahami bentuk-bentuk komunikasi non-verbal serta kata-kata yang memiliki banyak arti seperti "itu", mereka hanya memahami apa arti kata tersebut, seperti yang ia pahami di dalam kamus. Namun, kebanyakan penderita memiliki perbendaharaan kata dan wawasan yang melebihi anak-anak seusianya dan kerap dijuluki "profesor kecil". Para penderita sindrom Asperger sering kesulitan memahami ironi, sarkasme, dan penggunaan bahasa slang, apalagi memahami mimik muka/ekspresi orang lain, dan cenderung berbahasa dengan gaya formal. Mereka juga tergolong sulit bersosialisasi dengan orang lain dan cenderung menjadi pemalu, tergantung tingkat keparahan penyakit atau perkembangan si penderita sendiri. Penderita sindrom ini kerap menjadi sasaran perundungan, terutama pada usia anak dan remaja. Penemu sindrom ini juga menunjukkan gejala serupa ketika masa kanak-kanaknya.

Para dokter melihat sindrom Asperger sebagai sebuah bentuk autisme. Seringnya, disebut sebagai "autisme yang memiliki banyak fungsi/high-functioning autism". Hal ini berarti setiap penderita sindrom Asperger terlihat seperti halnya bukan seorang autis, tetapi ketika dilihat, otak mereka bekerja secara berbeda dari orang lain. Para dokter juga sering mengambil kesimpulan yang salah mengenai sindrom Asperger setelah mendiagnosis penderitanya, dan memvonisnya sebagai pengidap ADHD, sindrom Tourette atau kelainan mental lainnya.

Bagian otak yang memiliki kaitan untuk melakukan hubungan sosial dengan orang lain juga sebenarnya mengontrol bagaimana tubuh bergerak dan juga keseimbangan tubuh. Karena itu, seorang penderita sindrom Asperger terkadang mengalami masalah yang melibatkan pergerakan tubuh, seperti halnya olahraga, atau bahkan jalan kaki, yang kadang-kadang sering terpeleset, tergantung tingkat keparahannya. Mereka juga memiliki kebiasaan grogi/nervous.

Para penderita sindrom Asperger memiliki kecenderungan lebih baik dibandingkan orang-orang lain dalam beberapa hal seperti tulisan dan literatur, pengetahuan umum, ilmu alam serta pemrograman komputer. Banyak penderita sindrom Asperger memiliki cara penulisan yang lebih baik dibandingkan dengan cara mereka berbicara dengan orang lain. Mereka juga memiliki sebuah minat yang khusus yang mereka tekuni dan bahkan mereka menekuninya sangat detail, serta mereka justru menemukan hal-hal kecil yang orang lain sering dilewatkan atau diremehkan.

Contoh penderita sindrom Asperger yang terkenal di Indonesia adalah komponis dan pianis Ananda Sukarlan

Anak dengan syndrom ini perlu sebuah perhatian dan kasih sayang dari orang sekitarnya. Apabila orang tua membiarkan atau mengabaikan keberadaanya, anak tersebut dapat merasa tertekan bahkan stress berat walaupun penyandang syndrom ini terlalu kaku untuk menunjukan keinginanya. Hal ini dapat ditandai dengan adanya rasa ingin berteman namun tidak mampu mengaplikasinya.

Sindrom Asperger adalah diagnosis yang relatif baru di bidang autisme. Sindrom ini dinamakan berdasarkan dokter anak Austria Hans Asperger (1906-1980).[1] Meskipun sindrom ini dibilang baru, sindrom seperti ini sebenarnya pernah dijelaskan pada awal tahun 1925 oleh psikiater anak Soviet yang bernama Grunya Sukhareva (1891–1981). Terkadang, Sindrom Asperger disebut sebagai Sindrom Sukhareva. Hal ini karena adanya hubungan antara Hans Asperger dengan Nazisme.[2] Ketika masih kecil, Asperger tampaknya sudah menunjukkan beberapa ciri dari kondisi sindrom Asperger yang dinamai menurut namanya, seperti keterpencilan dalam pergaulan sosial dan permasalahan dalam bahasa.[3][4] Pada tahun 1944, Asperger mendeskripsikan empat anak dalam praktiknya yang mengalami kesulitan dalam mengintegrasikan diri secara sosial dan menunjukkan empati terhadap teman sebaya. Mereka juga tidak memiliki keterampilan komunikasi nonverbal dan kikuk secara fisik. Asperger menggambarkan masalah "psikopati autistik" ini sebagai isolasi sosial.[5] Lima puluh tahun kemudian, terdapat beberapa usulan standardisasi Sindrom Asperger sebagai diagnosis medis sementara dan banyak di antaranya menyimpang secara signifikan dari karya asli Asperger.[6]

Tidak seperti Sindrom Asperger saat ini, psikopati autistik dapat ditemukan pada orang-orang dari semua tingkat kecerdasan, termasuk mereka yang memiliki disabilitas intelektual.[7] Asperger kemuduan membela individu-individu autis terlepas dari apa kekurangan mereka dengan menulis: "Kami yakin, kemudian, bahwa orang autis memiliki tempat mereka dalam organisme komunitas sosial. Mereka memenuhi peran mereka dengan baik, mungkin lebih baik daripada orang lain. bisa, dan kita berbicara tentang orang-orang yang sebagai anak-anak memiliki kesulitan terbesar dan menyebabkan kekhawatiran yang tak terhitung kepada pengasuh mereka."[8] Asperger juga percaya beberapa orang dengan autisme ini akan mampu mencapai prestasi luar biasa dan memiliki pemikiran orisinal di suatu hari nanti.[9]

Makalah Asperger pada mulanya diterbitkan selama Perang Dunia II dalam bahasa Jerman, sehingga membuat makalah tersebut tidak banyak dibaca secara luas di luar Jerman. Lorna Wing merupakan ilmuwan non-Jerman yang baru pertama kali menggunakan istilah sindrom Asperger pada tahun 1976,[10] dan mempopulerkannya ke komunitas medis berbahasa Inggris dalam publikasinya Februari 1981[11][12] berdasarkan studi kasus anak-anak yang menunjukkan gejala yang dijelaskan oleh Asperger,[1] dan Uta Frith menerjemahkan makalahnya ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1991.[13] Pada tahun 1992, Sindrom Asperger menjadi diagnosis standar ketika dimasukkan dalam manual diagnostik Organisasi Kesehatan Dunia edisi kesepuluh, Klasifikasi Penyakit Internasional (ICD-10). Sindrom ini ditambahkan ke edisi keempat referensi diagnostik American Psychiatric Association, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV), yang diterbitkan pada tahun 1994.[5]

Penyebab-penyebabnya

[sunting | sunting sumber]

Hans Asperger menguraikan gejala-gejala umum di antara keluarga pasien, terutama ayahnya, dan riset mendukung obsevasi dan kemungkinan besar adanya kontribusi genetik pada Sindrom Asperger (SA). Meskipun hingga saat ini belum ditemukan genetik tertentu yang dapat diidentifikasi, banyak faktor diyakini memainkan peran seolah-olah autis, memberikan unjukan phenotype yang bervariasi pada anak-anak dengan SA.McPartland J, Klin A (2006). "Asperger's syndrome". Adolesc Med Clin. 17 (3): 771–88. doi:10.1016/j.admecli.2006.06.010. PMID 17030291. </ref>[14] Bukti adanya hubungan genetik dari SA pada keluarga menunjukkan perilaku yang lebih banyak pada keluarga yang mirip dengan SA, tetapi dalam bentuk yang lebih sedikit (sebagai contoh, sedikit mengalami kesulitan dalam interaksi sosial, bahasa, atau membaca).[15] Kebanyakan riset menyatakan bahwa SA bergantung pada keturunan, tetapi SA mungkin memiliki komponen yang lebih kuat daripada autis.[16] Kemungkinan adanya kelompok umum dari faktor genetik alela yang membuat seseorang lebih riskan terhadap berkembangnya SA; jika hal ini benar, kombinasi alela tertentu akan menentukan tingkat berat dan gejala-gejala untuk tiap individu dengan SA.[15]

Sedikit dari kasus SA dihubungkan dengan terpaparnya janin hingga berusia 8 minggu oleh teratogens (zat yang menyebabkan kecacatan lahir). Meskipun hal ini tidak boleh mengesampingkan bahwa SA dapat terjadi sesudahnya, tetapi bukti yang kuat menunjukkan bahwa SA terjadi pada saat yang sangat dini pada pertumbuhan janin.[17] Banyak faktor-faktor lingkungan dijadikan hipotesis setelah kelahiran bayi, tetapi semua ini belum terbukti secara ilmiah.[18]

Diagnosis awal

[sunting | sunting sumber]

Orangtua dari anak-anak dengan SA dapat menelusuri perbedaan-perbedaan perkembangan anak-anaknya sejak usia 30 bulan, meskipun diagnosis baru ditegakkan pada usia rata-rata 11 tahun.[14] Didefinisikan, bahwa anak-anak dengan SA yang perkembangan bahasa dan kemampuan menolong dirinya sendiri sesuai dengan jadwal (normal), maka gejala-gejala awalnya tak akan muncul (kabur) dan kondisi ini mungkin tidak akan terdiagnosa hingga usia akhir anak-anak atau bahkan lebih tua. Ketidakmampuan dalam interaksi sosial kadang-kadang bukan bukti hingga sang anak mencapai usia di mana sifat-sifat ini menjadi penting; ketidakmampuan bersosialisasi sering kali menjadi pertanda awal, ketika anak-anak berjumpa dengan teman-temannya di daycare atau preschool.[16] Diagnosa umumnya terjadi pada usia 4 hingga 11 tahun, dan sebuah studi menganjurkan agar diagnosa tidak dilakukan sebelum usia 4 tahun.[16]

Manajemen sindrom

[sunting | sunting sumber]

Mengelola SA idealnya melibatkan beberapa terapi yang menangani gejala inti dari gangguan tersebut. Sementara sebagian besar profesional setuju bahwa semakin dini intervensi, semakin baik, tidak ada kombinasi perawatan yang direkomendasikan di atas yang lain. Program terapi untuk Sindrom Asperger umumnya mencakup:[5]

  • Prosedur analisis perilaku terapan (ABA) yang mencakup pemberian dukungan terhadap perilaku positif (PBS). Hal ini dapat meliputi dukungan dari orang tua dan sekolah dalam strategi manajemen perilaku yang digunakan di rumah dan sekolah, serta pelatihan keterampilan sosial untuk interaksi interpersonal yang lebih efektif.[19]
  • Terapi perilaku kognitif untuk meningkatkan manajemen stres yang berkaitan dengan kecemasan atau emosi yang meledak-ledak[20] dan untuk membantu mengurangi minat obsesif dan rutinitas berulang.
  • Melakukan pengobatan untuk mengatasi penyakit mental yang menyertai seperti gangguan depresif berat dan gangguan kecemasan.[21]
  • Terapi okupasi atau terapi fisik untuk membantu pemrosesan sensorik dan koordinasi motorik yang buruk, dan
  • Intervensi komunikasi sosial, yaitu terapi wicara khusus untuk membantu pernapasan dan mengajarkan bagaimana cara melakukan percakapan dengan normal.[22]

Karakteristik

[sunting | sunting sumber]

Penderita Sindrom Asperger atau sering disebut juga sebagai "Aspies" mudah dikenali karena sering menunjukan perilaku "aneh" dalam masyarakat seperti :

  • Kesulitan melakukan kontak mata dengan lawan bicara, beberapa dari mereka mencoba mengatasi hal ini dengan menatap tajam lawan bicara sehingga tidak jarang membuat lawan bicara takut.
  • Gaya berjalan yang aneh, penderita asperger memiliki kemampuan motorik yang buruk sehingga ketika saat berjalan mereka tidak seimbang, membungkuk, atau membusungkan dada.
  • Gaya bicara yang aneh, mereka memiliki kemampuan bicara yang buruk bahkan beberapa dari mereka sangat buruk. Mereka sering kali berbicara terlalu cepat atau terlalu lambat sehingga lawan bicara sulit menangkap maksud dan tujuannya. Mereka juga sering melakukan percakapan satu arah dan tidak menjawab pertanyaan yang diajukan.
  • Kesulitan mengatur intonasi bicara, terkadang berbicara seperti membentak atau marah padahal tidak bermaksud demikian dan di waktu lain mereka berbicara lembut padahal sedang marah.
  • Kemampuan menunjukan ekspresi wajah yang buruk. Mereka sering kali tidak memiliki kemampuan untuk menampilkan ekspresi wajah yang tepat sesuai kondisi dan suasana. Penderita kesulitan tersenyum atau tertawa secara "tulus". Mereka sering kali hanya menampilkan ekspresi "datar".
  • Mengajukan pertanyaan berulang ulang sehingga membuat orang lain kesal.
  • Mengabaikan isyarat dan kegiatan sosial.
  • Terlalu asyik dengan dunia sendiri dan menarik diri dari lingkungan sosial.
  • Melakukan gerakan berulang ulang, seperti menggaruk atau menggerakkan anggota tubuh seperti kepala, leher, tangan, hidung, atau bagian tubuh lainnya.
  • Menjawab pertanyaan dengan bertele tele dan "tidak nyambung".
  • Sering kali menyinggung orang lain karena perkataannya.
  • Keteguhan yang tinggi terhadap peraturan sehingga mereka sering disebut tidak mempunyai hati nurani.
  • Dikenal sebagai orang yang pendiam dan pemalu.
  • Tidak mempunyai teman.

Sindrom Asperger merupakan bagian dari Autisme. Dalam kehidupan masyarakat, penderita Asperger banyak dari mereka tidak terdiagnosis dan sering kali tidak mengerti apa yang mereka sebenernya alami, bahkan sampai mereka dewasa (ini mematahkan stereotip bahwa autisme hanya terjadi pada anak anak). Mereka dapat menjalani hidup mandiri dengan normal bahkan sampai mereka tua walaupun memiliki kemampuan sosial yang buruk.

Penderita asperger rentan menjadi korban perundungan atau pengejekan karena perilaku aneh mereka. Mereka dipandang sebagai orang "aneh", kasar, dan tidak mempunyai sopan santun. Mereka sering kali menarik diri dari pergaulan karena intimidasi yang mereka dapatkan. Hal ini mengakibatkan mereka sangat sering menderita depresi, dan rendah diri.

Di Indonesia sendiri penderita Asperger dalam lingkungan pergaulan sering dilabeli dengan kata kata ofensif seperti pendiam, pemalu, "no life", "tablo", "lolok", "bloon", "plonga plongo", "hola holo", "gak jelas", "bego", dan kata kata lainnya.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b Baron-Cohen S, Klin A (June 2006). "What's so special about Asperger Syndrome?". Brain and Cognition. 61 (1): 1–4. doi:10.1016/j.bandc.2006.02.002. PMID 16563588. 
  2. ^ Manouilenko, Irina; Bejerot, Susanne (2015). "Sukhareva-Prior to Asperger and Kanner" (PDF). Nordic Journal of Psychiatry. 69 (6): 1761–1764. 
  3. ^ Osborne L (2002). American Normal: The Hidden World of Asperger SyndromeAkses gratis dibatasi (uji coba), biasanya perlu berlangganan. Copernicus. hlm. 17–20. ISBN 978-0-387-95307-6. 
  4. ^ Lyons V, Fitzgerald M (November 2007). "Did Hans Asperger (1906–1980) have Asperger syndrome?". Journal of Autism and Developmental Disorders. 37 (10): 2020–21. doi:10.1007/s10803-007-0382-4. PMID 17917805. 
  5. ^ a b c "Asperger Syndrome Fact Sheet: National Institute of Neurological Disorders and Stroke (NINDS)". web.archive.org. 2007-08-21. Archived from the original on 2007-08-21. Diakses tanggal 2022-03-22. 
  6. ^ Hippler, Kathrin; Klicpera, Christian (2003-02-28). "A retrospective analysis of the clinical case records of 'autistic psychopaths' diagnosed by Hans Asperger and his team at the University Children's Hospital, Vienna" (PDF). Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences. 358 (1430): 291–301. doi:10.1098/rstb.2002.1197. ISSN 0962-8436. PMC 1693115alt=Dapat diakses gratis. PMID 12639327. 
  7. ^ Ghaziuddin, Mohammad (2010-09). "Should the DSM V drop Asperger syndrome?". Journal of Autism and Developmental Disorders. 40 (9): 1146–1148. doi:10.1007/s10803-010-0969-z. ISSN 1573-3432. PMID 20151184. 
  8. ^ Bradley, Monica (2019). "CASE STUDY: SECOND LANGUAGE ACQUISITION WITH ASPERGER SYNDROME IN A UNIVERSITY SETTING" (PDF). Research in Pedagogy. 9 (1): 170. doi:10.17810/2015.99. 
  9. ^ "Notes – Asperger's Syndrome: Illness or Identity?". The Wheeler Centre (dalam bahasa Inggris). 2013-05-27. Diakses tanggal 2022-03-22. [pranala nonaktif permanen]
  10. ^ "What is Asperger's Syndrome". Guiding Pathways (dalam bahasa Inggris). 2018-01-24. Diakses tanggal 2022-03-22. 
  11. ^ "Asperger syndrome: a clinical account by Lorna Wing". web.archive.org. 2007-08-17. Archived from the original on 2007-08-17. Diakses tanggal 2022-03-22. 
  12. ^ "Asperger syndrome: a clinical account by Lorna Wing". www.mugsy.org. Diakses tanggal 2022-03-22. 
  13. ^ Hull, Kevin B. (2011-12-15). Play Therapy and Asperger's Syndrome: Helping Children and Adolescents Grow, Connect, and Heal through the Art of Play (dalam bahasa Inggris). Jason Aronson. hlm. 7. ISBN 978-0-7657-0857-1. 
  14. ^ a b Foster B, King BH (2003). "Asperger syndrome: to be or not to be?". Current Opinion in Pediatrics. 15 (5): 491–4. doi:10.1097/00008480-200310000-00008. PMID 14508298. 
  15. ^ a b National Institute of Neurological Disorders and Stroke (NINDS) (31 July 2007). "Asperger syndrome fact sheet". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-08-21. Diakses tanggal 24 August 2007.  NIH Publication No. 05-5624.
  16. ^ a b c McPartland J, Klin A (2006). "Asperger's syndrome". Adolesc Med Clin. 17 (3): 771–88. doi:10.1016/j.admecli.2006.06.010. PMID 17030291. 
  17. ^ Arndt TL, Stodgell CJ, Rodier PM (2005). "The teratology of autism". Int J Dev Neurosci. 23 (2–3): 189–99. doi:10.1016/j.ijdevneu.2004.11.001. PMID 15749245. 
  18. ^ Rutter M (2005). "Incidence of autism spectrum disorders: changes over time and their meaning". Acta Paediatr. 94 (1): 2–15. doi:10.1111/j.1651-2227.2005.tb01779.x. PMID 15858952. 
  19. ^ Johnston, J.M; Foxx, Richard M; Jacobson, John W; Green, Gina; Mulick, James A (2006). "Positive Behavior Support and Applied Behavior Analysis". The Behavior Analyst. 29 (1): 51–74. ISSN 0738-6729. PMC 2223172alt=Dapat diakses gratis. PMID 22478452. 
  20. ^ Ascione, Dr (2016-12-28). "Adapted Cognitive Behavioural Therapy for Asperger's patients". CBT Neuropsychology Centre (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-05. Diakses tanggal 2022-03-22. 
  21. ^ Towbin, Kenneth E. (2003-01-01). "Strategies for pharmacologic treatment of high functioning autism and Asperger syndrome". doi:10.1016/s1056-4993(02)00049-4. 
  22. ^ Paul, Rhea (2003-01). "Promoting social communication in high functioning individuals with autistic spectrum disorders". Child and Adolescent Psychiatric Clinics of North America. 12 (1): 87–106, vi–vii. doi:10.1016/s1056-4993(02)00047-0. ISSN 1056-4993. PMID 12512400.