Soengkono
Soengkono | |
---|---|
Panglima Divisi I/Jawa Timur | |
Masa jabatan 1948–1950 | |
Presiden | Soekarno |
Informasi pribadi | |
Lahir | Purbalingga, Jawa Tengah | 1 Januari 1911
Meninggal | 12 September 1977 Jakarta | (umur 66)
Suami/istri |
|
Profesi | Tentara |
Karier militer | |
Pihak |
|
Dinas/cabang | TNI Angkatan Darat |
Masa dinas | 1943—1968 |
Pangkat | Mayor Jenderal TNI |
NRP | 14640 |
Satuan | Infanteri |
Pertempuran/perang | Revolusi Nasional Indonesia Pertempuran Surabaya Pemberontakan PKI 1948 |
Sunting kotak info • L • B |
Mayor Jenderal TNI (Purn.) Soengkono (1 Januari 1911 – 12 September 1977) adalah seorang tokoh militer Indonesia dan merupakan tokoh dalam Pertempuran Surabaya 10 November 1945 di Surabaya, Jawa Timur. Saat itu ia menjabat komandan BKR (Badan Keamanan Rakyat). Saat ini namanya diabadikan menjadi nama jalan utama di Kota Surabaya yaitu Jalan Mayjen Sungkono.
Awal Kehidupan
[sunting | sunting sumber]Soengkono lahir Akhad Wage 1 Januari 1911 di Purbalingga Kidul Kabupaten Purbalingga (sekarang Jalan Letkol Isdman Purbalingga Kidul atau dikenal dengan prapatan bantheng) dari pasangan seorang tukang jahit Tawireja dan Rinten. Ia menempuh pendidikan di HIS (Hollands Indische School) tahun 1928, kemudian melanjutkan ke MULO dan setelah lulus, meneruskan ke Zelfontelkeling hingga kelas dua dan mengantongi ijasah K.E. Pendidikan militer selama dua tahun diperoleh dari sekolah teknik perkapalan atau KIS (Kweekschool voor Inlandsche Schepelingen) di Makasar dan bekerja di K.M (Koninklijke Marine).[1]
Pendudukan Jepang
[sunting | sunting sumber]Pada tahun 1943, Soengkono masuk tentara PETA di Banyumas dan mengikuti latihan di Bogor. Awal tahun 1945 diangkat menjadi Chodancho (komandan kompi) dengan pangkat kapten dan ditempatkan di Daichi Daidan Surabaya. Ketika terjadi pemberontakan PETA di Blitar, Sungkono dicurigai dan “diamankan” di Renceitai Bogor.
Revolusi Nasional Indonesia
[sunting | sunting sumber]Setelah proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, meskipun sudah Proklamasi, Jepang saat itu masih juga berkuasa. Maka pada bulan September 1945, Sungkono memimpin perjuangan pengambilan kekuasaan sekaligus melucuti senjata Jepang, ia mengajak mantan anggota PETA, Heiho, KNIL, dan pemuda pejuang bergabung dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR). Mereka bertugas merebut senjata dari tangan Jepang, agar pasukannya memiliki persenjataan yang lebih memadai. Soengkono kemudian diangkat menjadi komandan BKR Surabaya. Pada peristiwa Pertempuran Surabaya, Pelucutan senjata Jepang oleh BKR pimpinan Sungkono dilakukan dengan cara diplomasi, tanpa ada pertumpahan darah. Ia mengadakan pembicaraan dengan tentara Jepang yang dipimpin Iwabe. Lewat pembicaraan yang alot, akhirnya senjata bisa diperoleh.
Agar persenjataan pasukan BKR tidak dilucuti sekutu, penyerahan senjata dilakukan dengan cara sandiwara, seolah-olah mantan tentara PETA merampas senjata dari Jepang. Dengan demikian Jepang bisa mengatakan kepada sekutu, bahwa senjata mereka direbut oleh pemuda–pemuda Indonesia.
Menurut catatan, persenjataan dan peralatan perang Jepang yang diserahkan terdiri dari 19.000 senapan, 700.846 pistol otomatis, 422.700 senapan mesin ringan dan 480.504 senapan mesin sedang. Senjata lain berupa 148 pelempar granat, 17 meriam Infanteri, 63 mortir, 400 mortir baru, 1525 meriam anti tank, 62 kendaraan panser dan 1990 kendaraan bermotor.
Pada tanggal 3 Maret 1946, ia diangkat sebagai Panglima Divisi VII TKR, meliputi daerah Surabaya, Bojonegoro dan Madura. Tanggal 23 Mei 1946, terjadi daerah divisi dan Panglimanya. Sungkono menjadi panglima divisi VI TRI dengan nama Divisi Narotama, yang daerahnya meliputi Surabaya, Madura dan Kediri. Dengan pangkat kolonel, ia kemudian menjadi Ketua Gabungan Komando Pertahanan divisi – divisi V, VI, VII TRI Jawa Timur. Setelah Perjanjian Renville 17 Januari 1948 di Jawa Timur diadakan konsolidasi pasukan. Markas Besar Tentara (MBT) membentuk Dewan Tata Tertib Opsir Tinggi (DTTOT) di bawah pimpinan Mayor Jenderal A.H. Nasution dengan alasan reorganisasi dan rasionalisasi Angkatan Darat. Sungkono diturunkan pangkatnya menjadi Letnan Kolonel. Ia menghadap Panglima Besar Jenderal Sudirman, yang sama – sama berasal dari Kabupaten Purbalingga. Disarankan oleh Soedirman, untuk menerima dan tetap menunjukan ketaatan dan kepatriotannya.
Presiden Soekarno menyatakan SOB Negara Dalam Keadaan Bahaya (Staats van Oorlog en Beleg) dikerenakan pemberontakan PKI Madiun pimpinan Alimin dan Muso pada tanggal 18 September 1948. Untuk mengatasi pemberontakan PKI itu, Presiden Soekarno mengangkat Sungkono menjadi Gubernur Militer Jawa Timur dan pangkatnya dikembalikan menjadi Kolonel. Tugas utamanya adalah menumpas pemberontakan PKI Madiun. Dalam bulan Oktober 1948 pemberontakan itu berhasil ditumpas dan keamanan pulih kembali. Kolonel Sungkono kemudian dilantik menjadi Panglima Divisi I Djawa Timur.[2] Baru satu setengah bulan menjabat Panglima, tanggal 19 Desember 1948, Belanda kembali melakukan aksi militer. Pada bulan Januari, Pebruari 1948 pasukan Sungkono harus menghadapi dua front. Di satu sisi menghadapi Belanda, di sisi lain menghadapi pengacau di garis belakang yaitu TRIP Batalyon Zaenal dan batalyon 38 pimpinan Sabarudin. Kedua front itu ternyata bisa dimenangkan dan diselesaikan dengan baik. Yang pernah diucapkan Sungkono saat terjadi pertempuran 10 November 1945 akhirnya terbukti.
Tanggal 24 Desember 1949, ia kembali ke Surabaya sebagai pemenang. Komandan Divisi A Belanda Mayor Jenderal Baay secara resmi menyerahkan kota Surabaya kepada Panglima Divisi I Brawijaya Kolonel Sungkono. Menjelang pemulihan kedaulatan, ia mempelopori pembubaran Negara Jawa Timur dan Madura bentukan Belanda, untuk masuk ke Negara kesatuan RI. Tanggal 22 Pebruari 1950, Markas Divisi I dipindahkan dari Nganjuk ke Surabaya.
Pasca Perang Kemerdekaan
[sunting | sunting sumber]Tanggal 16 Juni 1950, Sungkono alih tugas ke Jakarta dan pangkatnya naik menjadi Brigadir Jenderal. Dalam tahun 1958 ia diangkat menjadi Inspektur Jenderal Pengawasan Umum Angkatan Darat. Pangkatnya naik lagi menjadi Mayor Jenderal. Jabatan terakhir sampai ia memasuki masa pensiun tahun 1968 adalah penasehat Menteri/Pangad.
Riwayat Jabatan
[sunting | sunting sumber]- Komandan Kompi PETA di Kota dan Wilayah Surabaya (1945)
- Komandan BKR, TKR di Kota dan Wilayah Surabaya (1945)
- Panglima Divisi VII TKR, meliputi daerah Surabaya, Bojonegoro dan Madura (1946)
- panglima Divisi VI TRI dengan nama Divisi Narotama, yang daerahnya meliputi Surabaya, Madura dan Kediri (1946)
- Gubernur Militer Jawa Timur (1948)
- Panglima Divisi I Brawijaya Jawa Timur (1948)
- Inspektur Jenderal Pengawasan Umum Angkatan Darat (1958)
- Penasehat Menteri/Pangad (1968)
Kematian
[sunting | sunting sumber]Soengkono meninggal dunia pada tanggal 12 September 1977 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ ""PERAN MAYJEN SUNGKONO DALAM MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN DI JAWA TIMUR TAHUN 1945 – 1950"". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-09-16. Diakses tanggal 2019-10-06.
- ^ "Penumpasan PKI Madiun Dari Timur"