Sosiosentrisme
Sosiosentrisme, menurut ilmu psikologi bermakna: (1) kecenderungan untuk menempatkan kebutuhan, perhatian dan perspektif unit atau kelompok sosial di atas kepentingan individu, (2) praktik memahami dan menginterpretasi situasi dari sudut pandang kelompok sosial dibandingkan dari perspektif individu dan (3) kecenderungan untuk menilai suatu kelompok lebih superior dibandingkan kelompok lain.[1]
Sebagai makhluk sosial, manusia hidup bermasyarakat dalam berbagai kelompok sosial, seperti bangsa, budaya, profesi, agama, keluarga dan teman sebaya. Setiap kelompok sosial memiliki beberapa definisi sosial sendiri dan beberapa di antaranya berupa aturan tidak tertulis yang menjadi panduan bersikap dan berperilaku bagi para anggotanya. Setiap kelompok juga memaksakan beberapa tingkat kesesuaian pada anggotanya, seperti kondisi penerimaan. Hal itu termasuk pula seperangkat kepercayaan, perilaku dan tabu.[2]
Gambaran umum
[sunting | sunting sumber]Sosiosentrisme dapat dikatakan sebagai suatu pemikiran yang berpusat pada kelompok sosial dan menganggap kelompoknya yang paling benar dan baik di antara kelompok lain. Sosiosentrisme menghalangi seseorang untuk berpikir kritis karena mengandung bias kelompok.[3]
Kepribadian sosiosentrisme adalah kepribadian suatu individu yang identitasnya terbentuk dari identitas anggota lain dalam kelompok yang telah membentuk kesatuan[4].Manusia memiliki kecenderungan alami untuk berpikir secara egosentris dan sosiosentris.[5] Namun suatu kelompok kerap menyodorkan sistem kepercayaan dan ideologi yang tidak logis satu sama lain sehingga menyebabkan orang-orang mengikuti keyakinan kelompok tersebut betapa pun irasionalnya keyakinan itu. Hal ini bahkan sudah ditanamkan sejak masih anak-anak dan mereka tidak diajarkan untuk mempertanyakan pandangan tentang budaya mereka atau apa yang dikatakan oleh guru dan orang tua mereka. Pada akhirnya, indoktrinasi semacam ini meluas di seluruh jenjang pendidikan tinggi.[6]
Masyarakat yang sosiosentris akan meletakkan kepentingan, identitas, agenda dan aturan kelompok di atas aturan individu. Sosiosentrisme dapat berkembang menjadi narasi kebencian yang kemudian menjadi narasi identitas yang tidak hanya menyangkut agama tetapi juga ideologi, bahkan merupakan permasalahan global.[7]
Sebenarnya sosiosentrisme merupakan kecenderungan yang wajar ditemukan dalam kelompok apa pun, baik sosial, agama atau profesional. Namun kecenderungan ini membutuhkan kewaspadaan untuk menetralisir ekses-ekses tertentu. Meskipun tema umum dan anggota-anggota kelompok ini sulit untuk dianalisis dan disintesis, sosiosentrisme memiliki ciri-ciri yang menonjol antara lain:
- memiliki persepsi yang sempit tentang realita,
- memiliki referensi diri yang hampir arogan,
- mengamati siapa saja yang berbeda pandangan dengan penuh kecurigaan dan ketidakpercayaan,
- merasa bahwa hanya mereka yang benar dan memiliki kebenaran,
- mereka mungkin memiliki posisi dan aspirasi yang esktrem,
- pemimpin yang bertugas untuk membentuk pemikiran kolektif,
- mereka mengadopsi retorika kepemilikan tertentu yang mendarah daging dan terkadang berlebihan.[8]
Masalah yang ditimbulkan dari sosiosentrisme
[sunting | sunting sumber]Sebagian besar orang tidak memahami sejauh mana mereka secara tidak kritis menginternalisasi prasangka dominan yang berkembang di masyarakat atau budaya mereka. Sosiolog dan antropolog mengidentifikasikan kondisi ini sebagai "ikatan budaya". Fenomena ini disebabkan oleh pola pikir sosiosentris sebagai berikut.[9]
- Kecenderungan tidak kritis dengan menempatkan budaya, bangsa dan agama di atas segalanya [9]
- Kecenderungan tidak kritis dengan menyematkan deskripsi positif yang mementingkan diri sendiri dan deskripsi negatif untuk mereka yang berbeda pandangan [9]
- Kecenderungan tidak kritis dalam menginternalisasikan norma dan kepercayaan kelompok, menggunakan identitas kelompok dan bertindak seperti yang diduga—tanpa pernah mempertanyakan kebenarannya [9]
- Kecenderungan secara membabi buta untuk menyesuaikan diri dengan pembatasan kelompok (banyak di antaranya yang bersifat memaksa atau sewenang-wenang) [9]
- Kegagalan untuk berpikir di luar prasangka tradisional budaya orang lain [9]
- Kegagalan untuk mempelajari dan menginternalisasi wawasan tentang budaya lain [9]
- Kegagalan dalam membedakan antara etika universal dengan persyaratan budaya relativistik dan tabu [9]
- Kegagalan dalam menyadari bahwa suatu berita yang disiarkan oleh media massa dibentuk berdasarkan sudut pandang budaya yang berlaku di daerah tersebut [9]
- Kegagalan dalam berpikir secara antropologis dan historis (terjebak pada pola pikir saat ini) [9]
- Kegagalan dalam melihat bahwa sosiosentrisme merupakan hambatan yang signifikan dalam perkembangan intelektual seseorang [9]
Pemikiran sosiosentris merupakan ciri dari masyarakat yang tidak kritis. Hal ini dapat diatasi dengan melatih dan menanamkan pola pikir lintas budaya yang adil dan kritis pada masyarakat.[9]
Pola pikir sosiosentrisme dan keterkaitannya dengan egosentrisme
[sunting | sunting sumber]Dasar dari sosiosentrisme adalah "sesuatu benar karena kita percaya",[5] tidak jauh berbeda dengan egosentrisme karena sosiosentrisme merupakan egosentrisme dalam tingkat kelompok. Seseorang akan berasumsi bahwa apa yang kelompoknya percayai adalah kebenaran tanpa mempertanyakan dasar dari kepercayaan tersebut. Pemikiran seperti ini dapat tanpa sadar terbentuk ketika seseorang melakukan penyesuaian diri agar diterima dalam kelompoknya.
Seperti halnya egosentrisme yang menjadi pembenaran terhadap diri sendiri, sosiosentrisme menjadi pembenaran terhadap suatu kelompok. Pemikiran sosiosentrisme mendorong seseorang untuk menilai hal di luar kelompoknya secara dangkal dan menggunakan kelompoknya sebagai standar.
Pola pikir egosentrisme | Pola pikir sosiosentrisme[2] |
---|---|
"Sesuatu benar karena saya percaya" | "Sesuatu benar karena kita percaya" |
"Sesuatu benar karena itulah yang ingin saya percaya" | "Sesuatu benar karena itulah yang ingin kita percaya" |
"Sesuatu benar karena merupakan kepentingan pribadi saya untuk percaya" | "Sesuatu benar karena termasuk merupakan kepentingan pribadi kita untuk percaya" |
"Sesuatu benar karena itulah yang selalu saya percaya" | "Sesuatu benar karena itulah yang selalu kita percaya" |
Penelitian terkait sosiosentrisme
[sunting | sunting sumber]Studi oleh Jean Piaget terhadap tiga anak: Michael M. (9 tahun, 6 bulan), Maurice D. (8 tahun, 3 bulan), dan Marina T. (7 tahun, 9 bulan) menunjukkan sosiosentrisme pada pada anak-anak[2].
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ "APA Dictionary of Psychology". dictionary.apa.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 27 Desember 2021.
- ^ a b c "Thinking Tools - Monitoring Your Sociocentric Tendencies". westsidetoastmasters.com. Diakses tanggal 2 Desember 2021.
- ^ Pusposari, Dewi (5 November 2011). MENYIMAK KRITIS: Buku Panduan untuk Mata Kuliah Menyimak Kritis. Media Nusa Creative (MNC Publishing). ISBN 978-602-72064-9-6.
- ^ Afiah, Nur (1 Juni 2015). "Kepribadian dan Agresivitas dalam Berbagai Budaya". Buletin Psikologi. 23 (1): 13. doi:10.22146/bpsi.10573. ISSN 2528-5858.
- ^ a b author., Paul, Richard,. Critical thinking : concepts & tools. ISBN 978-1-5381-3374-3. OCLC 1110435613.
- ^ Rotman (1 April 2011). "Forbes India - The Need For A Critical Thinking Revolution". Forbes India (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 27 Desember 2021.
- ^ Permatasari, C. Hildamona. "Alissa Wahid: Sosiosentrisme Mudah Menyulut Identitas Politik". www.lemhannas.go.id. Diakses tanggal 21 Desember 2021.
- ^ Fernández, José Enebral (11 Juni 2018). "Sociocentrism and Critical Thinking". OpenMind (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 27 Desember 2021.
- ^ a b c d e f g h i j k l O'Reilly, Kim (31 Januari 2015). "Why Critical Thinking Is So Important". Intercultural Solutions (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 27 Desember 2021.