Sri Bekti Subakir
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Desember 2022. |
Sri Bekti Subakir | |
---|---|
Lahir | 30 November 1944 Jakarta |
Meninggal | 16 Oktober 2010 Palembang |
Kewarganegaraan | Indonesia |
Pekerjaan | Sastrawan, Dokter. |
Sri Bekti Subakir (lahir di Jakarta,30 Mei 1944 dan Meninggal tanggal 16 Oktober 2010 di Palembang) adalah seorang Sastrawan dan juga Dokter. ia juga merupakan Guru Besar yang menjadi staf pengajar S1, S2, S3 di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Setelah lulus SMAK II Jakarta tahun 1962, melanjutkan ke Fakultas Kedokteran UI tahun 1977, P3S Kekhususan Ilmu faal, FK UI (1985), dan Program Doktor, P3S Ilmu Biomedik tahun 1997.[1]
Sri Bekti Subakir adalah dokter yang pernah bekerja di Rumah Sakit Budi Kemuliaan, Jakarta. Ia menaruh minat besar pada bidang Ilmu Faal Reproduksi. Sri juga pernah menjadi Dosen berprestasi FK UI. Ia dilantik menjadi Guru Besar Fakultas Kedokteran tahun 2006 dan menjadi Anggota Komisi Bidang Fisiologi Reproduksi Pengurus Pusat IAIFI.[1]
Sri Bekti Subakir menulis karya sastra dalam bentuk novel dan cerpen. Beberapa novelnya telah mendapat penghargaan. Dia menulis dengan gaya yang lembut dan romantis. Sebagai sastrawan, Sri Bekti Subakir tergolong pengarang wanita yang mulai tampil pada tahun 1960-an. Karangannya banyak dimuat dalam majalah Varia, Selecta & Romantika, Tanah Air, dan Media. Menurut pengakuannya ketika berceramah dalam rangka Pekan Buku Nasional tahun 1978 yang diselenggarakan oleh IKAPI, Persatuan Pedagang Buku Indonesia, GKN, dan Yayasan Idayu, Jakarta, dirinya menjadi pengarang karena pengaruh pendidikan keluarganya. Sejak kecil ia selalu disodori buku-buku cerita oleh orang tuanya sehingga timbul kebiasaan dalam dirinya untuk menjadikan membaca cerita sebagai suatu kebutuhan, seperti kebutuhan manusia akan makanan atau pakaian. Begitu banyak buku cerita yang bagus-bagus telah dibacanya, tetapi hanya dua buku cerita yang berkesan dalam dirinya, yaitu Tati Tak Akan Putus Asa karya Luwarsih Pringgodigdo dan Putri Remaja karya Louise M. Alcott, yang keduanya menampilkan tokoh gadis remaja.[1]
Pengalaman pertama dalam mengarang adalah menulis cerita pendek untuk remaja dengan judul "Persahabatan di Pulau Seribu", dan berhasil meraih hadiah penghargaan yang diselenggarakan dalam rangka Tahun Buku Internasional 1976. Disamping menulis cerpen, Sri Bekti Subakir juga sering menulis novel. Dia mempunyai kebiasaan untuk menulis ceritanya terlebih dahulu, kemudian menentukan judulnya. Semua cerpen dan novel yang ditulisnya kepada anak-anak remaja, karena menurut pendapatnya, pada masa remaja orang harus mengisi pikirannya dengan cita-cita yang sehat dan baik serta pikiran yang penuh dengan idealisme.[1]
Cerita-cerita remaja yang dibuatnya dapat menambah pengetahuan baru untuk remaja, seperti cerita-cerita di bidang kedokteran dan kehidupan mahasiswa dengan suka dukanya. Selainitu, isi ceritanya juga mengandung segi pendidikan dari sosial serta segi percintaan dan keakraban sebab cinta merupakan bumbu yang menarik. Dia juga mengangkat masalah keluarga karena masalah ini sering kadang-kadang membawa suasana manis dan humor-humor yang segar.[1]
Tahun 1976 ia telah menulis cerpen dalam majalah Gadis, Femina, dan Kuncung. Sebagai pengarang, ia tidak bisa lepas dari kritikan pembaca. Karyanya yang berjudul Seribu Layang-Layang di Tangerang mendapat sorotan dari Yakob Sumardjo. Menurut Yakob Sumardjo, novel ini secara struktural telah tersusun rapi. Materi cerita disampaikan secara lancar dan penuh humor serta berkisah tentang teknis kedokteran. Dalam segi ini tampak bahwa ia berada dalam jalur kepengarangan Marga T. dan Mira wijaya yang semuanya pernah kuliah di Fakultas Kedokteran. Selain itu, Yakob Sumardjo juga memberikan ulasan bahwa Sri Bekti Subakir cenderung menulis untuk kaum remaja sehingga bisa dimasukkan ke dalam novelis untuk remaja.[1]
Sri Bekti Subakir dapat digolongkan ke dalam sastrawan yang telah memperkaya khazanah kesusastraan Indonesia modern. Karya-karyanya telah mendapat perhatian dari pembaca dan kritikus sastra.[1]