Lompat ke isi

Suku Punan Aput

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Suku Punan Aput merupakan masyarakat adat yang menetap di desa kembar Long Sule dan Long Pipa, di hulu Sungai Kayanyut, anak Sungai Kayan, Kalimantan Timur. Mereka telah hidup berdampingan dengan suku Kenyah Ma'ut (juga dikenal sebagai Kenyah Bedeng) selama lebih dari 200 tahun dan mengikuti perpindahan serta cara hidup mereka.[1][2] Sejak tahun 1970-an, hutan hujan di Kalimantan Timur semakin banyak dibuka untuk eksploitasi kayu, perkebunan, pertambangan, program transmigrasi pemerintah, serta proyek industri dan infrastruktur.[1] Akibatnya, kelompok yang masih menjalankan pola hidup berburu-meramu kini kehilangan kesempatan untuk mempertahankan cara hidup mereka, termasuk Punan Aput yang sejak tahun 1950-an telah mengadaptasi sistem peladangan.[1]

Suku Punan Aput di kisaran tahun 1930-an[3]

Sejarah dan perubahan sosial

[sunting | sunting sumber]

Punan Aput di Long Sule dan Long Pipa menerapkan sistem sosial yang egaliter, meskipun mereka tetap memiliki seorang Kepala Adat yang bertanggung jawab dalam menjaga hukum adat dan aturan tradisional. Sekitar tahun 1950-an, mereka mulai menetap di Long Sule, yang sebelumnya merupakan lokasi rumah panjang milik Suku Kenyah Ma'ut, setelah suku tersebut berpindah ke wilayah Sungai Mahakam.[1] Mereka mengadopsi sistem pertanian skala kecil setelah mendapatkan benih padi dari masyarakat Kenyah.[2] Dari suku Kenyah dan Kayan, mereka mengenal sistem barter.[2][1] Komoditas yang mereka tukarkan meliputi tikar rotan, batu geliga, tanduk badak, dan bulu enggang. Sebagai pengumpul hasil hutan, Punan Aput menjual komoditas tersebut melalui jaringan perdagangan yang dikelola oleh suku Kenyah dan Kayan, yang pada gilirannya menyalurkannya ke pasar yang lebih luas. Sebagai imbalannya, mereka memperoleh barang-barang seperti tembakau, beras, serta peralatan besi seperti parang.[1]

Meskipun telah mulai bercocok tanam, masyarakat Punan Aput tidak sepenuhnya meninggalkan tradisi berburu dan meramu. Mereka masih melakukan perburuan dalam kelompok kecil untuk memenuhi kebutuhan pangan.[2] Hingga dekade 1970-an, kehidupan mereka masih bersifat semi-nomaden, tetapi mulai mengalami stabilisasi ketika pemerintah, melalui Camat Kayan Hilir, mendorong mereka untuk membentuk desa permanen sebagai bagian dari program "resettlement penduduk" yang dicanangkan pada era Orde Baru. Saat ini, jumlah penduduk di kedua desa tersebut telah mencapai sekitar 1.000 jiwa.[2]

Pembangunan bandar udara perintis di perbukitan dekat sungai (long) semakin membuka akses Punan Aput ke dunia luar. Pedagang dari kota mulai berdatangan membawa berbagai barang dagangan seperti alas kaki dan bumbu dapur, meskipun harga barang-barang tersebut relatif mahal bagi masyarakat setempat.[2] Salah satu komoditas utama yang mereka gunakan sebagai alat tukar untuk mendapatkan produk-produk modern adalah gaharu.[2] Namun, seiring berjalannya waktu, gaharu semakin langka, sehingga mereka mulai mencari alternatif lain seperti emas, enggang gading, dan batu geliga. Selain berburu dan mengumpulkan hasil hutan, perempuan Punan Aput juga mengembangkan keterampilan menganyam rotan sebagai salah satu sumber mata pencaharian utama mereka.[2]

Mereka menuturkan Bahasa Punan Aput yang memiliki perbedaan signifikan dibandingkan dengan bahasa yang dituturkan oleh kelompok Punan lainnya. Keunikan ini mencerminkan perjalanan sejarah dan interaksi sosial mereka dengan berbagai kelompok etnis di Kalimantan.[2] Seiring dengan perubahan pola hidup dan meningkatnya interaksi dengan dunia luar, bahasa dan budaya mereka menghadapi tantangan dalam mempertahankan keberlangsungan di tengah arus modernisasi yang semakin deras.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d e f Zahorka, Herwig (2017). "PUNAN 'GITA,' PENAN BENALUI, PUNAN APUT: FROM HUNTER-GATHERERS TO AVERAGE CITIZENS: Early and later experiences of the author in East Kalimantan". Borneo Research Bulletin. Gale Academic OneFile. 48: 283. Diakses tanggal 8 Februari 2025. 
  2. ^ a b c d e f g h i Arif, Ahmad (2021). Masyarakat Adat & Kedaulatan Pangan. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 9786024814809. 
  3. ^ Tillema, H.F (1938). Apo-Kajan: een filmreis naar en door Centraal-Borneo. Van Munster. Diakses tanggal 8 Februari 2025.