Suku Wai Apu
Daerah dengan populasi signifikan | |
---|---|
Kabupaten Buru | |
Bahasa | |
Wai Apu | |
Agama | |
Kekristenan | |
Kelompok etnik terkait | |
Alifuru |
Suku Wai Apu merupakan salah satu kelompok etnis yang mendiami Pulau Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku. Masyarakat suku Wai Apu pada umumnya bermukim di wilayah Kecamatan Buru Utara Timur yang saat ini dipecah menjadi empat kecamatan yakni Namlea, Waplau, Waeapo, dan Batabual.
Menurut catatan tim penelitian dari Departemen Sosial pada tahun 1971, jumlah penduduk suku Wai Apu sekitar + 3.691 jiwa, dan mereka pada waktu itu dikategorikan sebagai salah satu kelompok "masyarakat terasing". Dalam perkembangannya, pada tahun 1985 jumlah mereka berada di kisaran 44.048 jiwa, tetapi jumlah mereka tidak lagi diketahui secara pasti. Kini, masyarakat Pulau Buru pada umumnya telah banyak berubah dan orang Wai Apu sendiri diperkirakan telah mengalami perubahan.[1]
Asal-usul
Suku Wai Apu merupakan salah satu kelompok penduduk asal Pulau Buru, dimana secara keseluruhan sering disebut sebagai orang Alifuru. Orang Alifuru merupakan sebutan untuk sub Ras Melanesia yang pertama mendiami Pulau Seram dan menyebar ke pulau-pulau lain yang ada di Maluku. Adapun Alifuru berasal dari kata alif dan uru. Kata alif adalah abjad Arab yang pertama, sedangkan kata uru’ berasal dari Bahasa Tana yang artinya "orang". Secara harfiah, Alifuru artinya "orang pertama". Orang Alifuru ini terdiri dari aneka ragam puak, yang tidak kurang dari 36 buah puak dan masing-masing memiliki tradisi dan bahasa yang berbeda sama sekali. Sumber lain menyebutkan bahwa keseluruhan bahasa tadi disebut bahasa Buru sebagai salah satu dari 10 kelompok bahasa terbesar di Kepulauan Maluku yang keseluruhannya ada + 150 bahasa.[1]
Sistem religi
Bupolo merupakan nama awal Pulau Buru menurut bahasa Buru, sedangkan waekolo adalah nama kelompok kekerabatan (noro atau soa) yang menyatakan diri sebagai penunggu atau Geba Eptugu (geba = orang, eptugu = penunggu) di pusat Pulau Buru. Pusat Pulau Buru dengan Gunung Date dan Danau Rana sendiri adalah milik seluruh orang Bupolo. Geba Bupolo membagi penduduk menjadi lima, yaitu: Geba Fuka Bupolo yang mendiami daerah pengunungan, Geba Fuka Unen yang tinggal di sentral pulau (sekitar Danau Rana dan Gunung Date), Geba Fuka Fahan yang tinggal di lereng-lereng pengunungan, Geba Masin yang tinggal di daerah pesisir pantai, serta Geba Alakton ataupun Geba Masnit yang merupakan berbagai macam kelompok keturunan asing, seperti: Arab dan China. Kelompok atau etnis yang terakhir ini mendiami Pulau Buru karena minyak kayu putih dan damar.[2]
Orang Bupolo memandang kosmologi mereka dengan istilah Bumilale. Istilah ini digunakan untuk menyebutkan Gunung Date dan Danau Rana sebagai pusat dari kediaman komunitas Bupolo. Bumilale berarti tanah besar ataupun tanah luas. Istilah ini menandai sebuah kebesaran daerah dibandingkan daerah lainnya. Dikarenakan nilai kebesaran, sentral, dan asal-usul manusia di Pulau Buru terkandung dalam Bumilale, maka muncul kepercayaan diri yang kuat dan bangga atas identitas diri mereka sebagai orang-orang Bumilale. Selain Bumilale dianggap yang paling indah, Bumilale juga dapat dikatakan sebagai "tanah madu" atau tanah yang paling baik dibandingkan dengan yang pulau yang lainnya.[3]
Nilai sentral dan sakral dalam konteks Bumilale membungkus empat unsur dasar kehidupan, yaitu:
- Opolastala (konsep budaya untuk menyebut Sang Pencipta) sebagai sumber.
- Tanah dari Gunung Date.
- Air dari Danau Rana.
- Manusia.
Komunitas Bupolo meyakini bahwa Opolastala merupakan sumber dari kehidupan yang memberikan mereka Gunung Date dan Danau Rana sebagai sumber kehidupan mereka. Oleh sebab itu, Bumilale harus tetap dijaga dari unsur-unsur luar yang masuk. Hal ini disebabkan karena unsur-unsur dari luar bisa saja merusak keseimbangan lingkungan dan keharmonisan dari tempat yang mereka tinggali.[3]
Pulau Buru sendiri dalam perspektif kosmologi manusia Buru diibaratkan sebagai laki-laki yang unsur-unsurnya menandai kepala, perut, kaki, dan tangan adalah gunung dan air. Bagian kepala adalah Gunung Kapalatmada sebagai gunung tertinggi di Pulau Buru, tangan kiri adalah Sungai Wanibe yang memiliki sumber dari Danau Rana, tangan kanan adalah Sungai Waemala yang merupakan sungai terbesar yang mengalir di selatan Pulau Buru, punggung adalah Hutan Garan, perut dan alat kelamin adalah Danau Rana dan Gunung Date, kaki kiri adalah Sungai Waeyapo yang menandai hutan sagu, dan kaki kanan adalah Gunung Batakbual. Kosmologi yang tampak ini hendaknya menegaskan bahwa gunung, tanah, air, dan hutan merupakan bagian terpenting dari kehidupan umat manusia.[3]
Lihat pula
Referensi
- ^ a b Melalatoa, M. Junus (1995). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia Jilid L-Z. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. hlm. 907.
- ^ Pattinama, Max J. (2008). Orang Bupolo dan Lingkungannya. Yogyakarta: Citra Aji Pernama. hlm. 11–12.
- ^ a b c Mus Huliselan, dkk (1998). Orang-Orang Bumi Lale dan Dunianya: Organisasi Sosial, Pertukaran, dan Perubahan Sosial di Sentral Pulau Buru Maluku-Indonesia. Ambon: Laporan Penelitian Dinas Kebudayaan Ambon. hlm. 44.