Nuku Muhammad Amiruddin
Nuku Muhammad Amiruddin | |
---|---|
Berkuasa | 1797–1805 |
Pendahulu | Sultan Kamaluddin |
Kelahiran | 1738 Soasiu, Tidore |
Kematian | 14 November 1805 (umur 66–67) Tidore |
Ayah | Sultan Jamaluddin |
Muhammad Amiruddin atau lebih dikenal dengan nama Sultan Nuku adalah seorang sultan dari Kesultanan Tidore yang dinobatkan pada tanggal 13 April 1779, dengan gelar “Sri Paduka Maha Tuan Sultan Saidul Jehad el Ma’bus Amiruddin Syah Kaicil Paparangan” Selama masa perang dengan VOC, Nuku disebut juga sebagai Jou Barakati, artinya Tuan Yang Diberkahi.[1]
Sebagai penghargaan terhadap jasa-jasanya, Pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan Sultan Nuku sebagai " Pahlawan Nasional Indonesia" berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 071/TK/1995, tanggal 7 Agustus 1995.[2]
Biografi
[sunting | sunting sumber]Sultan Nuku Muhamad Amiruddin adalah putra kedua Sultan Jamaluddin (1757–1779) dari Kesultanan Tidore. Dilahirkan pada tahun 1738, nama kecilnya adalah Kaicil Syaifuddin.
Pada zaman pemerintahan Nuku (1797 – 1805), Kesultanan Tidore mempunyai wilayah kerajaan yang luas yang meliputi Pulau Tidore, Halmahera Tengah, pantai Barat dan bagian Utara Irian Barat serta Seram Timur. Sejarah mencatat bahwa hampir 25 tahun, Nuku bergumul dengan peperangan untuk mempertahankan tanah airnya dan membela kebenaran.
Dari satu daerah, Nuku berpindah ke daerah lain, dari perairan yang satu menerobos ke perairan yang lain, berdiplomasi dengan Belanda maupun dengan Inggris, mengatur strategi dan taktik serta terjun ke medan perang. Semuanya dilakukan hanya dengan tekad dan tujuan yaitu membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah dan hidup damai dalam alam yang bebas merdeka. Cita-citanya membebaskan seluruh kepulauan Maluku terutama Maluku Utara (Maloko Kie Raha) dari penjajah bangsa asing.
Nuku Muhamad amirudin
Sebagaimana di seluruh wilayah jajahannya di Indonesia, Belanda senantiasa turut campur dalam penentuan siapa yang berhak bertahta dalam sebuah kerajaan di Nusantara. Sosok yang bisa diajak bekerja sama biasanya akan ditunjuk sebagai penguasa dan sosok yang dianggap berbahaya, sekalipun pewaris sah tahta, akan disingkirkan. Begitu juga di kesultanan Tidore, dimana Sultan Jamaluddin adalah penguasa kesultanan Tidore. Karena dianggap berbahaya bagi kedudukan Belanda, Sultan Jamaluddin ditangkap dan diasingkan ke Batavia pada tahun 1779.
Berdasarkan tradisi kerajaan Tidore, pengangkatan raja baru harus berdasarkan silsilah (sesuai garis keturunan). Yang berhak menjadi Sultan Tidore waktu itu adalah Nuku, melanjutkan tahta Sultan Jamaluddin, ayahandanya. Namun Belanda tidak menghendaki Nuku naik tahta. Perlawanan Nuku Muhammad Amiruddin diawali ketika ia dan adiknya Kamaluddin menentang pengangkatan Kaicil Gay Jira oleh Belanda sebagai Sultan Tidore. Secara nyata Belanda menginjak-injak tradisi kesultanan Tidore, terlebih lagi setelah Belanda menurunkan Sultan Kaicil Gay Jira dan menunjuk putra Kaicil, Patra Alam, sebagai sultan Tidore yang baru.
Sebagai bentuk perlawanan, Nuku Muhammad Amiruddin pun menggalang kekuatan untuk melawan kompeni Belanda. Ia membangun armada Kora-kora di daerah sekitar Pulau Seram dan Irian Jaya dengan mendirikan basis pertahanan di Seram Timur pada tahun 1781. Mereka membangun benteng-benteng di pesisir pantai, menyebar ranjau di lautan, dan memasang meriam tempur
Belanda kembali menunjukkan kesewenang-wenangannya dalam penentuan pemegang tahta kesultanan Tidore sekaligus menerapkan politik adu dombanya dengan mengangkat adik kandung Nuku Muhammad Amiruddin, Kamaluddin, Sebagai Sultan Tidore setelah menurunkan Sultan Patra Alam. Pada tahun 1787, pasukan Belanda menyerbu Seram timur untuk melumpuhkan perlawanan Nuku. Basis pertahanan Nuku di Seram Timur berhasil direbut. Nuku Muhammad Amiruddin pun mengalihkan basis pertahanan pasukannya di Pulau Gorong dan menjalin hubungan baik dengan pasukan Inggris atas dasar hubungan timbal balik yang sangat menguntungkan kedua belah pihak.
Sebagai seorang keturunan Raja Tidore, ia menjadi seorang pejuang yang tidak bisa diajak kompromi dan pengaruhnya yang kuat di wilayah Maluku. Hingga usia senja, semangat dan perjuangannya tidak berhenti. Sultan Nuku sulit ditaklukan, ia bertempur melawan Belanda di darat maupun di laut. Untuk menghadapi Belanda, Sultan Nuku meniru siasat devide et impera yang sering digunakan oleh Belanda. Sultan Nuku menghasut orang-orang Inggris agar mengusir orang-orang Belanda, yang setelah berhasil segera digempurnya. Pasukan Nuku semakin kuat setelah mendapat berbagai perlengkapan perang dari Inggris dan memenangkan banyak pertempuran melawan Belanda.
Menderita banyak kekalahan di berbagai medan peperangan, VOC mengajukan tawaran berunding dengan Nuku Muhammad Amiruddin dan menawarkan kekuasaan kepadanya jika bersedia berunding dengan Sultan Kamaluddin. Nuku menolak secara tegas siasat Belanda dan semakin menggiatkan serangan pasukannya terhadap pasukan Belanda yang dibantu pasukan kesultanan Tidore yag setia terhadap Sultan Kamaluddin. Pada tahun 1796, pasukan Nuku berhasil merebut dan menguasai Pulau Banda. Setahun kemudian, mereka mampu merebut Tidore dan membuat Sultan Kamaluddin melarikan diri ke Ternate. Sepeninggal Sultan Kamaluddin, rakyat Tidore secara bulat menunjuk Nuku Muhammad Amiruddin menjadi sultan Tidore. Sultan Nuku terus menggempur kekuatan Belanda di Ternate hingga tahun 1801 Ternate dapat dibebaskan dari cengkraman Belanda. Ia meninggal dalam usia 67 tahun pada tahun 1805.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Ajisaka, Arya (2004). Mengenal Pahlawan Nasional. Kawan Pustaka. Jakarta. Hal: 142
- ^ "Muhammad Amiruddin (Sultan Nuku)". Tribunnewswiki.com. Diakses tanggal 2024-04-21.