Lompat ke isi

Sultan Wakil Pangeran Suramenggala

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pangeran Suramanggala atau nama lainnya Tubagus Kacung merupakan tokoh yang memerintah Kerajaan Banten sebagai Sultan ke-19 dari tahun 1808 hingga 1809.[1]

(Sejarah Kesultanan Banten, era akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19[2])

Pangeran Suramanggala / Suramenggala / Sura menggala / Sura manggala putra dari Sultan Muhammad Arif Zainul Asyikin (Sultan Banten periode 1753 – 1773) rahimahumallah tidak begitu banyak diceritakan para sejarawan dalam buku-buku sejarah kesultanan Banten, sehingga tidak sedikit menimbulkan spekulasi, dugaan dan kesimpangsiuran versi sejarah yang masih terus diperbincangkan untuk mengungkap identitas yang lebih rinci mengenai riwayat dirinya. Buku-buku referensi dari para sejarawan yang Penulis[4] temukan sampai saat ini hanya sedikit menyinggung kehidupannya saat beliau berada di Banten. Sedangkan informasi mengenai eksistensi beliau setelah diluar Banten, hanya Penulis dapatkan dari teks/lembaran/buku yang tersimpan dilingkungan keluarga Majalengka dan juga dari informasi lisan/legenda yang beredar luas disampaikan secara turun temurun di masyarakat khususnya masyarakat Majalengka, karena adanya keberadaan makam yang diyakini sebagai makam tempat dimana jasad beliau disemayamkan yaitu di desa Kawunggirang kecamatan Majalengka. Dari kedua sumber informasi tersebut (Banten dan Majalengka), Penulis ingin coba merangkainya menjadi satu untuk membendung spekulasi/dugaan yang jauh melebar tanpa adanya bukti data yang lebih valid daripada bukti-bukti yang sudah terlebih dahulu ada. Penulis menyadari adanya kemungkinan sumber-sumber data yang terluput dari perujukan, sehingga sejarah mengenai Pangeran Suramanggala masih terbuka untuk dikaji dan diteliti secara ilmiah oleh para sejarawan dimasa ini dan masa yang akan datang. Penulis berharap kepada Allah agar Penulis berkesempatan untuk memperbaharui/meluruskan isi kandungan tulisan ini bilamana dari perkembangan kajian ilmiah tersebut kemudian ditemukan adanya kekeliruan.

Dalam penyebutan nomor urutan Sultan-Sultan Banten yang memerintah, Penulis mengacu pada buku “Catatan Masa Lalu Banten, Halwany Michrab-Chudari, Appendix II” yang juga sejalan dengan silsilah Sultan-Sultan Banten pada Buku “Syamsu Adz-Zohiroh, halaman 567”.

Krolonogi Peristiwa[5]

[sunting | sunting sumber]

1. Banten, tahun 1773 (Wafatnya ayahanda Pangeran Suramanggala)[5]:

a) Banten berduka atas wafatnya Sultan Banten ke-13 periode 1753-1773,[6] Sultan Muhammad Arif Zainul Asyikin (Pangeran Gusti), ayahanda dari Pangeran Suramanggala. Beliau tercatat meninggalkan 5 putra:

1) Pangeran Ratu Muhammad Aliyuddin

2) Pangeran Muhyiddin Zainus Solihin

3) Pangeran Manggala

4) Pangeran Suralaya

5) Pangeran Suramanggala

Beliau adalah keturunan langsung Syaikh Syarif Hidayatullah yaitu putra dari Sultan Muhammad Syifa Zainul Arifin bin Sultan Abul Mahasin Zainul Abidin bin Sultan Haji Abu Nashr Abdul Qohhar bin Sultan Ageng Tirtayasa bin Sultan Abul Ma’ali Ahmad bin Sultan Abul Mafakhir Abdul Kadir bin Maulana Muhammad bin Maulana Yusuf bin Maulana Hasanuddin bin Syaikh Syarif Hidayatullah yang nasabnya bersambung sampai Rasulullah SAW melalui Sayyidina Husain r.a. Walaupun semasa hidupnya dipenuhi konflik politik, Sultan Muhammad Arif Zainul Asyikin adalah sosok negarawan shalih dan alim. Beliau memiliki murid seorang ulama keturunan Arab dan Banten yang bernama Syaikh Abdullah bin Abdul Qahhar, seorang mursyid tarekat sekaligus penulis risalah fiqih maupun tasawwuf, yang mengajarkan tarekat Naqsyabandiyah dan Syattariyah.[7]

b) Diangkatnya putra mahkota/Pangeran Ratu sebagai Sultan Banten ke-14 dengan gelar Sultan Abul Mafakhir Muhammad Aliyuddin.

c) Kompeni semakin bertindak sewenang-wenang untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya melalui tangan sultan Banten yang ditunjuknya. Mereka semakin giat menjalankan politik adu domba untuk meraih tujuan tersebut.[2]

2. Banten & Lampung, tahun 1793 (Masa Pemerintahan Sultan Aliyuddin, Sultan Banten ke-14):

Sultan Aliyuddin mengutus adik laki bungsunya yaitu Pangeran Suramanggala disertai dua kerabat sultan yang lain (Pangeran Rajaningrat dan Pangeran Kusumadiwirya) ke Lampung dalam rangka dinas kenegaraan. Namun para pengawas VOC melakukan kejahatan terhadap mereka sehingga dikabarkan ketiganya terluka dan dua diantaranya yaitu Pangeran Rajaningrat dan Pangeran Kusumadiwirya mengalami luka parah terkena tembakan Meriam hingga tidak sadarkan diri. Pangeran Suramanggala bersama dua kerabatnya yang terluka parah berhasil kembali ke Banten.[8]


3. Banten, tahun 1796 (Masa Pemerintahan Sultan Aliyuddin, Sultan Banten ke-14):

Pada tanggal 1 Maret 1796, VOC dibubarkan sebagai dampak dari situasi moneter dunia dan masalah dalam internal tubuh VOC sendiri. Semua kekayaan dan utang piutang VOC ditangani pemerintah Kerajaan Belanda, dan sejak saat itulah kepulauan Nusantara dijajah Belanda.[9]

4. Banten, tahun 1802 (Masa diangkatnya Sultan Muhyiddin sebagai Sultan Banten ke-15). Dalam versi Catatan Masa Lalu Banten-Halwany Bab IV-F, peristiwa ini terjadi pada tahun 1799:

Pangeran Muhyiddin (adik Sultan ke-14) meminta dirinya diangkat menjadi Sultan kepada Gubernur Frederick Hendrik Benon (bawahan Jendral Johanes Siberg) dengan alasan beliau disukai semua lapisan masyarakat dan juga memiliki istri permaisuri yang melahirkan putra. Sedangkan putra-putra dari kakak beliau yaitu Sultan Aliyuddin bukan berasal dari istri permaisuri melainkan dari selir. Permohonan tersebut mendapat dukungan dan tandatangan dari keluarga kesultanan termasuk dari Pangeran Suramanggala, adik bungsu dari Sultan Aliyuddin dan Pangeran Muhyiddin. Permohonan ini kemudian dikabulkan dewan Hindia Belanda, dan beliau resmi dinobatkan sebagai Sultan ke-15 dengan gelar Sultan Abdul Fattah Muhammad Muhyiddin Zainusholihin.[10]

Adanya perjanjian dari Sultan Muhyiddin yang isinya tahta kesultanan setelahnya akan diteruskan kepada putra mahkota dari Sultan Aliyuddin yang bernama Pangeran Agiluddin (Aliyuddin-2) dengan gelar Pangeran Ratu Abul Mafakhir Muhammad Aliyuddin (Aliyuddin-2) yang saat itu masih balita.[11]


5. Banten, tahun 18036) (Wafatnya Sultan Muhyiddin, Sultan ke-15). Dalam versi Catatan Masa Lalu Banten-Halwany Bab IV-F, peristiwa ini terjadi pada tahun 1801:

Sultan Muhyiddin (adik Sultan Aliyuddin) dan Tubagus Ali (anak Sultan Aliyuddin) dilaporkan telah meninggal dunia. Sultan Muhyiddin dibunuh saat tertidur di istana Surosowan oleh Tubagus Ali bin Sultan Aliyuddin. Adapun Tubagus Ali pun setelah itu mati dibunuh oleh pengawal kesultanan. Sultan Aliyuddin (Sultan ke-14) beserta para menteri Banten meminta Gubernur Jenderal Johanes Siberg untuk segera mengangkat Sultan baru menggantikan Sultan Muhyiddin.[12]


6. Banten, tahun 1804 (wafatnya Sultan Aliyuddin,[13] Sultan ke-14 dan diangkatnya Sultan Ishaq sebagai Sultan ke-16). Dalam versi Catatan Masa Lalu Banten-Halwany Bab IV-F, peristiwa ini terjadi pada tahun 1801:

Diangkatnya Pangeran Dipati Ishaq (anak dari Sultan Aliyuddin dari istri selir) sebagai Sultan Banten ke-16 dengan gelar Sultan Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin oleh Gubernur Jendral Johanes Sieberg melalui utusannya Edeleer Wouter Hendrik van Ijseldijk. Pangeran Agiluddin (Aliyuddin-2) bin Sultan Aliyuddin tetap sebagai pewaris tahta kesultanan yang sebenarnya, namun usianya masih kanak-kanak.[14]


7. Banten, tahun 1802 (Dalam versi Catatan Masa Lalu Banten-Halwany Bab IV-F)[15]:

Kesultanan dipegang oleh Sultan Wakil Pangeran Natawijaya (Sultan ke-17). Beliau menjadi pemangku jabatan pemerintahan untuk sementara waktu sampai pewaris tahta cukup dewasa untuk memerintah. Penulis tidak dapat menemukan referensi terkait nasab Pangeran Natawijaya yang saat itu menjabat Sultan Wakil.


8. Banten, tahun 1803[15]:

Sultan Wakil Pangeran Natawijaya digantikan oleh putra Sultan ke-14 yaitu Pangeran Agiluddin (Aliyuddin-2) dengan gelar Sultan Muhammad Aliyuddin (II) sebagai Sultan ke-18.


9. Banten, tahun 1807 (Masa Pemerintahan Sultan Aliyuddin-2, Sultan ke-18)[9]:

Revolusi Perancis di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte yang terjadi sejak tahun 1789 telah mengguncangkan Eropa. Sebagian besar Eropa dikuasai Perancis, kecuali Inggris. Akhirnya pada tahun 1807, Belanda dikuasai oleh Perancis, sehingga otomatis daerah jajahan Belanda, termasuk kepulauan Nusantara berada di tangan Perancis.

10. Banten, tahun 1808 (Fase-Fase Kehancuran Keraton Surosowan)[9]:

a) Diangkatnya Marsekal Herman Williem Daendels sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda oleh Louis Napoleon adik dari Kaisar Napoleon Perancis yang menguasai Belanda. Ia datang di Batavia pada tahun 1808 dengan tugas utama mempertahankan pulau Jawa dari serangan tentara Inggris yang berpangkalan di India. Untuk tugas tersebut Daendels membangun sarana-sarana pertahanan; jalan-jalan pos, personil, barak militer, benteng, pelabuhan, rumah sakit tentara dan pabrik mesiu. Semua itu harus segera diselesaikan dengan dana serendah mungkin, karena memang dana dari negeri Belanda tidak bisa diharapkan. Untuk itulah dilakukan rodi atau kerja paksa, yaitu mempekerjakan rakyat tanpa upah.

b) Dandaels memerintahkan Sultan Aliyuddin-2 (Sultan ke-18) untuk mengirimkan 1000 orang dari rakyat setiap hari untuk kerja paksa membuat pangkalan angkatan laut di Ujung Kulon, menyerahkan Patih Mangkubumi Wargadiraja yang dituding memberontak dan memindahkan keraton ke daerah Anyer karena Surosowan akan dijadikan benteng Belanda. Permintaan ini ditolak Sultan Aliyuddin-2, sehingga utusan Daendels yaitu Komondeur Philip Pieter du Puy dan beberapa orang pengawalnya dibunuh oleh pasukan pengawal Sultan didepan pintu gerbang Surosowan.

c) Fase Serangan Pertama Daendels terhadap Keraton Surosowan:

Pada hari itu juga tepatnya tanggal 21 Nopember 1808, Dandaels mengirimkan pasukan perangnya menyerang keraton Surosowan secara mengejutkan sehingga Sultan Aliyuddin-2 tidak sempat lagi menyiapkan pasukannya. Prajurit-prajurit Banten dengan keberanian yang mengagumkan mempertahankan setiap jengkal tanah airnya. Tapi akhirnya Daendels dapat menumpas semua itu. Surosowan dapat direbutnya, Sultan Aliyuddin-2 ditangkap dan diasingkan ke Ambon. Sedangkan Patih Mangkubumi dihukum pancung dan mayatnya dilemparkan ke laut. Selanjutnya Banten dan Lampung dinyatakan sebagai daerah jajahan Belanda. Tangerang, Jasinga dan Sadang dimasukkan ke dalam teritorial Batavia.

d) Sebagai pengganti Sultan ke-18 yang telah diasingkan ke Ambon, diangkatlah Pangeran Suramanggala bin Muhammad Arif Zainul Asyikin sebagai Putra Mahkota yang baru dan menjabat Sultan Wakil (Sultan Banten ke-19). Walaupun masih bergelar Sultan, namun Sultan Wakil Pangeran Suramanggala tidak mempunyai kuasa apa-apa, dengan gaji 15.000 real setahun dari Belanda.

e) Fase Penghancuran Keraton Surosowan oleh Daendels:

Perampokan kapal-kapal Belanda sering terjadi, demikian juga pemberontakan di darat yang digerakkan oleh para ulama yang bermarkas di daerah Cibungur, pantai Teluk Marica terjadi diberbagai tempat. Serangan pasukan Belanda ke daerah ini tidak berhasil, bahkan serangan yang dipimpin Daendels sendiri pun dapat dipukul mundur. Daendels mencurigai Sultan yang menjabat saat itu (Sultan Wakil Pangeran Suramanggala) sebagai dalang penggerak berbagai perlawanan para ulama tersebut. Untuk itu Daendels bersama pasukannya datang dari Batavia ke Banten. Pangeran Suramanggala (Sultan ke-19) yang belum lama bertahta di Surosowan ditangkap dan dipenjarakan di Batavia, sedangkan benteng dan istana Surosowan dihancurkan dan dibakar.


11. Banten, tahun 1809 (Paska kehancuran Keraton Surosowan)[9]:

a) Untuk melemahkan perlawanan rakyat, Daendels membagi daerah Banten menjadi tiga bagian yang statusnya sama dengan kabupaten yaitu Banten Hulu, Caringin (Hilir) dan Anyer. Ketiga daerah tersebut di bawah pengawasan landros (semacam residen) yang berkedudukan di Serang. Daerah Tangerang dan Jasinga digabungkan dengan Batavia.

b) Untuk daerah Banten Hulu diangkat Syafiuddin sebagai Sultan Bupati (Sultan ke-20) putra dari Sultan Muhyiddin. Karena Keraton Surosowan 8 telah hancur maka pusat pemerintahan untuk Banten Hulu bertempat di Keraton Kaibon.

c) Proyek pembuatan pelabuhan militer di Ujung Kulon dihentikan, karena banyaknya pekerja yang mati dan daerahnya berawa-rawa. Pembuatan pelabuhan militer kemudian dipindahkan ke Anyer. Pada tahun ini dimulai pembuatan “jalan pos” dari Anyer sampai Panarukan (±1000 Km) yang akan digunakan untuk kepentingan militer; sedangkan pelaksanaan pembangunannya menjadi tanggung jawab Bupati di daerah yang dilewati jalan tersebut. Dengan cara kerja paksa (rodi), pembangunan jalan ini selesai dikerjakan hanya dalam tempo satu tahun dengan mengorbankan beribu-ribu rakyat pribumi.


12. Banten, tahun 1810 (Masa Pemerintahan Sultan Syafiuddin, Sultan ke-20):

a) Melihat tindakan Daendels yang dianggap sangat keras, maka Kaisar Napoleon pada tahun ini memanggil Daendels untuk pulang ke negerinya. Sebagai penggantinya, Napoleon menugaskan Jansens menjadi Gubernur Jendral di Hindia Belanda.[9]

b) Setelah dibebaskan dari penjara Batavia, Pangeran Suramanggala (Sultan ke-19) atas permintaan Mayor van Dragonder, ditugaskan untuk mengusut peristiwa pembunuhan yang terjadi di Pandeglang. Untuk tujuan penyidikan tersebut, beliau menemui Sultan Syafiuddin untuk menyelidiki dalang pembunuhan terhadap Ingabehi Akarim, Ingabehi Abuna’im dan Kapten Hei beserta serdadunya.[16]


13. Banten, tahun 1811 (Masa Pemerintahan Sultan Syafiuddin, Sultan ke-20)[9]:

a) Panembahan Anom dan Pangeran Ahmad meminta kepada Raja Inggris untuk menembak Merak, Caringin dan Anyer untuk melumpuhkan Belanda. Mereka berencana mengepung daerah-daerah tersebut namun karena ketiadaan senjata besar dan daerah tersebut tidak dapat dimasuki akibat adanya peperangan di Pandeglang, mereka meminta bantuan Raja Inggris.[17]

b) Sekitar bulan Agustus 1811, pasukan Inggris dari India, dengan menggunakan 100 buah kapal, mendarat di Banten. Dengan mudah tentara Inggris yang dipimpin oleh Thomas Stamford Raffles dengan bantuan beberapa keluarga kesultanan yang sangat membenci Belanda, dapat mengalahkan tentara Belanda. Gubernur Jendral Hindia Belanda, Jansens dengan beberapa sisa tentaranya melarikan diri ke Semarang, dan akhirnya menyerah tanpa syarat.

c) Belanda menandatangani perjanjian menyerah kepada Inggris pada tanggal 17 September 1811 di Salatiga; dengan demikian seluruh daerah jajahan Perancis ini beralih tangan di bawah kekuasaan Inggris.

d) Pada masa pemerintahan Inggris ini, untuk memudahkan administrasi dan pengawasannya, Raffles membagi Pulau Jawa menjadi 16 daerah karesidenan. Di samping itu Raffles pun mengadakan perubahan dalam bidang peradilan, yang disesuaikan dengan sistem peradilan di Inggris. Kerja rodi dan perbudakan, karena dianggap tidak sesuai dengan "prinsip kemanusiaan" kemudian dilarang. Untuk menambah pemasukan keuangan negara, Raffles menerapkan monopoli garam dan menjual beberapa daerah kepada partikelir/swasta (seperti juga dilakukan sebelumnya oleh Daendels).

14. Banten, tahun 1813 (turunnya Sultan ke-20 dan diangkatnya Sultan ke-21)[9]:

a) Sultan Bupati Syafiuddin, Sultan ke-20 yang bertahta di keraton Kaibon dipaksa turun tahta oleh Raffles dan menyerahkan jabatan pemerintahan kepada pemerintah Inggris; wilayah kesultanan Banten dihapuskan sepenuhnya. Seluruh daerah Kesultanan Banten telah dikuasai Pemerintah Inggris dan dijadikan sebuah karesidenan. Gelar "Sultan" masih boleh dipakai sebatas adat dan kepada Sultan diberi 10.000 ringgit Spanyol setahun. Sebagai ganti Sultan ke-20, diangkat Sultan Tituler (semacam Sultan sebatas adat) Muhammad Rafiuddin sebagai Sultan ke-21.

b) Raffles membagi wilayah Banten dari sebelumnya 3 kabupaten menjadi 4 yang masing-masing diperintah oleh seorang bupati:[18]

i. Kabupaten Banten Lor (Banten Utara) dengan ibukota Serang, diperintah oleh Pangeran Suramanggala (Sultan ke-19).

ii. Kabupetan Banten Kulon (Banten Barat) dengan ibukota Caringin, diperintah oleh Tubagus Hayudin.

iii. Kabupaten Banten Tengah dengan ibukota Pandeglang, diperintah oleh Tubagus Ramlan.

iv. Kabupaten Banten Kidul (Banten Selatan) dengan ibukota Lebak, diperintah oleh Tumenggung Suradilaga.


15. Banten, tahun 1814-1816[9]:

a) Kaisar Perancis, Napoleon Bonaparte dikalahkan dalam pertempuran di Leipzig dan kemudian ditangkap. Pemerintah Inggris pada tahun 1814 memutuskan dalam Convention of London untuk menyerahkan kembali daerah bekas jajahan Belanda kepada pemerintah Kerajaan Belanda. Raffles tidak setuju dengan keputusan itu kemudian meletakkan jabatannya dan digantikan oleh Letnan Gubernur John Fendall.

b) Pada tahun 1816 Fendall menyerahkan kepulauan Nusantara kepada pemerintah Belanda.


16. Kekisruhan politik dan intervensi Belanda di Banten kembali terjadi. Dalam periode tahun inilah Pangeran Suramanggala diperkirakan hijrah ke Majalengka dengan menyembunyikan identitasnya agar tidak diketahui Belanda. Beliau mengganti namanya menjadi “Kacung”. Identitas beliau yang sebenarnya hanya diketahui oleh orang-orang yang sangat dekat seperti oleh kakaknya yang telah lebih dahulu hijrah ke Majalengka yaitu Pangeran Suralaya (Mbah Nursalim) yang tinggal di Rajagaluh Majalengka ataupun oleh guru sekaligus mertuanya yaitu Syaikh Ibrahim (Mbah Bahim) seorang waliyullah cicit dari Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan yang lebih dahulu menyebarkan Islam di wilayah Kawunggirang Majalengka. Beliau menikah dengan anak putri dari Mbah Bahim, menetap untuk memperkuat syi’ar Islam dan berketurunan disana tepatnya di desa Kawunggirang Majalengka hingga wafatnya. Saat beliau hijrah, usia beliau diperkirakan sekitar 45 tahun, Allahu a’lam.

Makam Pangeran Suramanggala (Tubagus Kacung) di Kawunggirang, Majalengka[19]

[sunting | sunting sumber]

Makam Pangeran Suramanggala (Mbah Tubagus Kacung) bin Sultan Zainul Asyikin terletak di komplek Makam Mbah Bahim, desa Kawunggirang kecamatan Majalengka Jawa Barat. Mbah Bahim adalah nama panggilan yang populer untuk Syaikh Ibrahim Kawunggirang seorang waliyullah dan da’i yang menyebarkan Islam pertama kalinya di wilayah Kawunggirang, putra dari Syaikh Lathifuddin bin Syaikh Faqih Ibrahim Cipager bin Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan. Mbah Bahim sendiri adalah bapak mertua dari Pangeran Suramanggala (Sultan Banten ke-19).

Lokasi makam Pangeran Suramanggala berjarak 19 KM dari lokasi makam kakak terdekatnya yaitu Pangeran Suralaya (Mbah Tubagus Nursalim) bin Sultan Zainul Asyikin yang berada di Depok Singawada Rajagaluh Kidul Majalengka.

Berbeda dengan kondisi makam sang kakak yang mudah dikenali masyarakat karena terletak dalam bangunan makam dan tertulis nama lengkapnya, makam sang adik pada awalnya tidaklah mudah dikenali masyarakat maupun peziarah karena kondisi makam yang hanya ditandai batu kali, tanpa tertulis nama dan tanpa shelter (saung) pelindung, terbuka begitu saja. Para peziarah seringkali tertukar dengan 2 pusara yang berada di dalam bangunan makam Mbah Bahim yang berjarak +/- 20m sebelah utara. Bila tidak disertai kuncen, mereka akan mengira bahwa itu adalah makam bapak mertua dan menantunya. Padahal kedua makam itu adalah makam Mbah Bahim beserta istrinya, sedangkan makam menantu berada +/- 20m kearah selatan, terpisah jalan pejalan kaki yang melintang dari timur ke barat. Kekeliruan ini bisa saja terjadi karena asumsi masyarakat luar, makam seorang waliyullah atau mantan sultan pada umumnya dikeramatkan, dilindungi saung atau bangunan dengan batu nisan berciri khusus. Sebagaimana makam Bapak mertua, makam kakaknya yang berada di Rajagaluh, demikian juga makam sang putra yang bernama Tubagus Muhammad Sholeh (Mbah Soleh pendiri desa Kertabasuki) yang berlokasi di kampung Pesantren Kertabasuki Majalengka (+/- 700m arah tenggara) juga ternaungi dalam bangunan makam dan tertulis namanya. Kondisi ini menimbulkan keraguan dan pertanyaan, mengapa makam seorang waliyullah, ahlul bayt Rosulullah SAW yang juga Sultan Banten yaitu Mbah Tubagus Kacung selama lebih dari 100 tahun tidak diperbaharui kondisinya. Terlebih sudah menjadi tradisi sejak lama, setiap akhir bulan Syawal di komplek makam Mbah Bahim ini diadakan haul dan ziarah akbar dibawah kordinasi majelis ulama dan pemerintah kota, dihadiri ribuan jamaah yang datang dari dekat maupun jauh. Tentu ada penjelasan terkait kondisi makam Mbah Tubagus Kacung ini.

Menurut riwayat yang beredar luas baik dikalangan ulama, umara, pengurus makam maupun kalangan masyarakat terutama para sesepuh disekitar wilayah makam beliau, Mbah Tubagus Kacung berpesan kepada anak keturunannya agar saat beliau meninggal kuburnya jangan dimewah-mewah dan jangan pakai pengenal, biarkan saja apa adanya. Demikianlah ke tawaddhu’ an sosok Sultan Banten ke-19 ini. Sehingga wajar saja kondisi makam beliau selama lebih dari 100 tahun tidak mengalami perubahan dan dibiarkan sesuai kondisi aslinya. Kendati demikian, bukan berarti sebelumnya tidak pernah ada upaya untuk memperbaharui makam dalam rangka memuliakan beliau sebagai waliyullah. Beberapa kali ada upaya pembuatan “saung” diatas makamnya, namun selalu saja keesokan harinya tiang-tiang “saung” terlepas dan hancur, mengesankan bahwa arwah beliau memang tidak ridha bila makamnya diperbaharui. Pada akhirnya makam beliau dibiarkan begitu saja.

Disatu sisi, beliau ini memang hijrah ke Majalengka dengan melepaskan ciri kebantenannya, selain dalam rangka penyebaran da’wah Islam, juga untuk menghindari kejaran kolonial Belanda yang mata-matanya tersebar di kota-kota besar saat itu. Dan faktanya Belanda mamang masih menjajah Nusantara sampai tahun 1942. Tahun berganti tahun dari sejak beliau dimakamkan, demikian pula putra beliau yaitu Tubagus Muhammad Sholeh telah tiada dikurun masa penjajahan Belanda, cucu-cucu beliau pun telah tiada dan sebagian besar telah menyebar dan dimakamkan diwilayah lain. Seiring bergantinya abad maka keberadaan makam dan riwayat hidup beliau kian tersamarkan karena informasi yang ada hanya berpatokan pada cerita mulut ke mulut, generasi ke generasi yang sebagiannya telah pindah menetap diluar wilayah Kawunggirang.

Sekitar tahun 1940-an, seorang tokoh ulama Majalengka yang bernama KH. Abdul Halim Asromo[20] menunjukkan dimana letak persis makam Mbah Tubagus Kacung alias Pangeran Suramanggala dengan menggunakan tongkatnya, beliau mengarahkan letak tempat peristirahatan terakhir Mbah Tubagus Kacung yang Penulis maksudkan diatas. Sebelumnya, rute haul dan ziarah akbar tahunan yang dipimpin almarhum KH. Abdul Halim Baribis (sama nama Abdul Halim, tapi beda orang dan keduanya bersahabat) urutannya adalah ke makam Tubagus Muhammad Sholeh/Mbah Soleh di Kampung Pesantren Kertabasuki, kemudian dilanjutkan ke komplek Makam Mbah Bahim. Namun setelah ditunjukan oleh KH. Abdul Halim Asromo bahwa makam ayahnya Mbah Soleh berada di dekat makam Mbah Bahim Kawunggirang, maka sejak saat itu hingga sekarang rute ziarah dan haul akbar tahunan dirubah urutannya jadi ke makam Mbah Kacung Kawunggirang dahulu, baru setelah itu ke Makam putranya di pesantren Kertabasuki. Sebelumnya banyak masyarakat yang tertukar-tukar mana makam ayah mana makam anak.

Informasi yang diberikan KH. Abdul Halim Asromo sangat terpercaya mengingat beliau adalah cicit dari Pangeran Suralaya bin Sultan Zainul Asyikin, kakak dari Pangeran Suramanggala. Ulama kelahiran Majalengka tahun 1887 dan wafat di tahun 1962 ini, pada tahun 2008 dianugrahi gelar Pahlawan Nasional oleh Pemerintah RI berkat jasa-jasanya. Beliau adalah putra dari Penghulu Iskandar bin Kyai Abdul Qomar Penghulu Talaga bin Pangeran Suralaya Tubagus Nursalim bin Sultan Zainul Asyikin. Dan beliau pun tercatat sebagai salah satu dari 5 tokoh ulama yang menyimpan manuskrip silsilah raja-raja keturunan Syaikh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).[21] Dari beliau pula keluarga besar yang ada di Rajagaluh Kidul maupun Kertabasuki memperoleh data silsilah yang kemudian secara estafet mencatat keturunan Pangeran Suramanggala maupun pangeran Suralaya hingga sekarang, karena diantara turunan keduanya banyak terjadi pernikahan seleluhur. Salah satu cucu Pangeran Suramanggala yaitu Kyai Arjaen (alias Kyai Munari bin Tubagus Muhammad Sholeh bin Pangeran Suramanggala) yang menjadi penghulu/qadhi di Keraton Kanoman menikah dengan Nyai Zaenab putri dari Pangeran Suralaya dari istri ke-2 nya (Nyai Aisyah binti Kyai Baedowi/Rifali). Kyai Arjaen setelah menikah dengan Nyai Zainab menetap lama di Rajagaluh Kidul sebelum kemudian pindah ke Kanoman Cirebon. Demikian juga salah satu cicit Tubagus Kacung yang bernama KH. Ismail Sayuthi (putra dari Kyai Soleh bin Tubagus Muhammad Soleh) menikah dan menetap di Rajagaluh kidul hingga wafatnya. Sehingga apabila kita ingin menggali informasi terkait Tubagus Kacung/Pangeran Suramanggala beserta sebagian besar keturunannya, maka setidaknya para sesepuh dan Kyai di kedua tempat ini yaitu Kertabasuki dan Rajagaluh Kidul adalah sesuai untuk dikunjungi karena beberapa orang dari keluarga besar mereka masih menyimpan dan terus mendata keturunan dari Pangeran Suramanggala ini.

Pada akhir tahun 2021, Penulis ditemani saudara-saudara Penulis bermusyawarah dengan tokoh-tokoh ulama/Kyai disekitar Kawunggirang dan Kertabasuki yang notabene masih ada hubungan kerabat famili dengan Penulis. Dari saran-saran para Kyai diantaranya KH. Bunyamin pimpinan pondok pesantren Shobarul Yaqin Kawunggirang yang juga pengurus komplek makam Mbah Bahim, KH. Maman dan H. Olih pimpinan dan pengasuh pesantren Annawawiyyah Kawunggirang, KH. Yuyu Bazrujamhar pimpinan pesantren Manbaul Huda Banjaran dan Kyai Asep Saefullah Ridwan pesantren Nurul Huda Kertabasuki, bersepakat untuk mendirikan saung diatas makam Mbah Tubagus Kacung/Pangeran Suramanggala disertai papan pengenal, tanpa merubah batu asli yang ada pada makam. Tujuannya menjaga/memuliakan salah satu situs sejarah makam seorang waliyullah di desa Kawunggirang agar jelas keberadaannya dan menghindari kesimpangsiuran informasi maupun klaim-klaim pihak lain terkait lokasi makamnya. Kami berhusnudzon bahwa Insya Allah atas kehendak Allah SWT, arwah Mbah Tubagus Kacung akan ridha dengan maksud tujuan ini.

Pada tanggal 9 Januari 2022 bertepatan dengan hari Ahad, setelah dilakukan hadhoroh, saung pagar makam yang terbuat dari stainless dan rangka baja pun dipasang diatas makam Pangeran Suramanggala alias Tubagus Kacung yang berdasarkan naskah silsilah yang ditulis oleh almarhum KH. Ridwan Halim (Bapak dari K. Asep Ridwan Pesantren Nurul Huda) sekitar tahun 1970, nama Kacung ini nama samaran, nama aslinya adalah Tubagus Bunyamin. Sedangkan Pangeran Suramanggala adalah gelar beliau di Kesultanan Banten. Almarhum KH. Ridwan Halim adalah murid sekaligus menantu dari almarhum KH. Abdul Halim Baribis. Naskah silsilah yang ditulisnya menjelaskan nasab silsilah Tubagus Kacung dan juga nasab bapak mertua beliau yaitu Mbah Bahim.

Setelah saung makam berdiri, keesokan harinya yaitu Senin 10 Januari 2022 pada pagi hari jam 10.00, diadakan acara tasyakur, ceramah dan tahlil dilokasi makam Pangeran Suramanggala yang dihadiri beberapa dzurriyah Mbah Tubagus Kacung dari Rajagaluh Kidul, Kertabasuki, Kawunggirang, Banjaran, para sesepuh desa, kyai, habib (habib Abdullah bin Yahya), aparat setempat (Bapak Kuwu Kawunggirang dan Bapak Camat Majalengka), Ketua II kenadziran kesultanan Banten (KH. Tubagus Ahmad Furqon SZ) yang juga merupakan Ketua Umum Patrah Kesultanan Banten, ketua naqobah Patrah Kesultanan Banten (Tubagus Zein Al-Bakri, cucu dari Mama Sempur Purwakarta yang merupakan cucu dari qodhiul qudhat di era kesultanan Banten) dan beberapa kerabat dari Pesantren Munjul Cirebon (K. Tubagus Ubaidillah dan Tubagus Aris Tobaristan).

Makam Pangeran Suramanggala / Tubagus Kacung pada tanggal 9 Januari 2022

Dalam catatan silsilah, Mbah Tubagus Kacung hanya meninggalkan satu putera yaitu Tubagus Muhammad Sholeh[22] yang merupakan pendiri pesantren sekaligus desa Kertabasuki. Para putra dan putri dari Tubagus Muhammad Sholeh yang tercatat antara lain[23]:

1. Nyai Madani,

2. Nyai Juhari,

3. Nyai Angrum,

4. Kyai Soleh (Anom),

5. Nyai Suki,

6. Kyai Munara/Muhyidin,

7. Kyai Munari/Arjaen,

8. Nyai Mudrikah/Muniroh,

9. Nyai Jamilah dan

10. Nyai Idris.

Sepeninggalnya Mbah Soleh (Tubagus Muhammad Sholeh), anak laki-laki tertuanya yang dipanggil dengan nama yang sama yaitu Kyai Soleh meneruskan pengajaran di pesantren Kertabasuki hingga wafatnya dan dimakamkan dekat sang ayah di Kertabasuki. Sementara Kyai Munara dan Kyai Munari (saudara kembar) pindah dari Kertabasuki, menjadi tokoh pemuka agama maupun penghulu di wilayah lain di Majalengka dan Cirebon. Kyai Munara dimakamkan di desa Andir Jatiwangi, sementara Kyai Munari dimakamkan di Kamalaten Cirebon. Hingga saat ini beberapa keturunan dari Pangeran Suramanggala tersebar diberbagai tempat di Indonesia bahkan ada juga yang sudah menetap di negeri jiran Singapura dan Malaysia.

Beberapa Tanya dan Jawab[19]

[sunting | sunting sumber]

1. Tanya-1:

Sultan Wakil Pangeran Suramanggala yang memerintah pada periode 1808- 1809 ataupun yang menjabat Bupati Banten Lor pada tahun 1813 adalah putra dari Sultan Aliyuddin-2, beda orang dengan Pangeran Suramanggala putra Sultan Zainul Asyikin.

Jawab:

Pada tahun 1801/1804, Pangeran Agiluddin (Aliyuddin-2) masih berusia kanak-kanak. Tidak mungkin dalam selang beberapa tahun kemudian beliau tiba-tiba sudah memiliki anak yang secara usia pantas untuk menjabat Sultan Wakil ataupun Bupati.

2. Tanya-2: Sambungan Tanya-1;

Lantas mengapa beliau diangkat sebagai Putera Mahkota pada tahun 1808? Sedangkan Pangeran Suramanggala adalah urutan ke-5 dari susunan putera Sultan Zainul Asyikin. Kemudian mengapa beliau hanya menjabat Sultan Wakil?

Jawab:

Anak pertama Sultan Zainul Asyikin yaitu Sultan Aliyuddin telah wafat saat itu, demikian juga anak kedua yaitu Sultan Muhyiddin Zainusholihin telah wafat. Dua kakak Pangeran Suramanggala lain yaitu Pangeran Manggala dan Pangeran Suralaya saat itu tidak diketahui keberadaannya, karena keduanya kemungkinan sudah hijrah keluar Banten yaitu ke Cirebon dan Rajagaluh Majalengka. Keduanya tidak ada dalam daftar penandatangan pada surat permintaan Pangeran Muhyiddin untuk diangkat menjadi Sultan. Adapun pewaris tahta Sultan Aliyuddin yaitu Sultan Aliyuddin-2 ditangkap dan diasingkan ke Ambon. Pewaris tahta yang sudah dewasa dari susunan putera Sultan Zainul Asyikin yang tersisa di Banten saat itu hanyalah Pangeran Suramanggala. Jabatan Sultan Wakil yang diembannya berbeda dengan Sultan Wakil sebelumnya (Pangeran Natawijaya) yang kemungkinan bukan dari trah kesultanan dan tanpa penobatan sebagai putera mahkota. Sedangkan Sultan Wakil Pangeran Suramanggala adalah trah dari kesultanan Banten yang dinobatkan sebagai Putra Mahkota baru saat itu. Terkait jabatan Sultan Wakil (semacam jabatan Sultan untuk sementara waktu), adalah mungkin karena beliau saat itu belum memiliki keturunan, sehingga masih terbuka kemungkinan bagi keturunan Sultan Banten lain untuk diangkat menjadi Putera Mahkota ataupun Sultan berikutnya; atau mungkin juga karena masih mempertimbangkan pewaris tahta lain hingga cukup umur/dewasa untuk memerintah. Kalau saja Pangeran Suramanggala sudah memiliki anak saat masih berada Banten, pastilah nama anaknya sudah tercatat sebagaimana lazimnya tradisi pencatatan silsilah para putra Sultan Banten yang terus terjaga, setidaknya sebelum hancurnya keraton Surosowan oleh Daendels di akhir tahun 1808 atau setidaknya dicatat oleh keturunan beliau ditempat hijrahnya kemudian (Majalengka). Satu-satunya putra Pangeran Suramanggala yang tercatat adalah Tubagus Muhammad Sholeh yang terlahir ditempat beliau hijrah dan wafat yaitu di Kawunggirang Majalengka


3. Tanya-3:

Sultan Wakil Pangeran Suramanggala yang memerintah pada periode 1808- 1809 bernama Tubagus Syafei, dan beliau bersembunyi di Lampung hingga wafatnya.

Jawab:

Lihat buku Surat-Surat Sultan Banten-Titik Pudjiastuti, Surat nomor 19, Text 2 recto: Tubagus Syafei adalah orang yang berbeda dengan Pangeran Suramanggala, keduanya membubuhkan tandatangan. Selain itu lokasi makam Pangeran Suramanggala di Kawunggirang Majalengka sudah diziarahi dan haul tahunan sejak lebih dari 80 tahun, dan lokasinya berdasarkan petunjuk dari KH. Abdul Halim Asromo Majalengka[20]; salah seorang tokoh ulama, Pahlawan Nasional sekaligus cicit langsung dari kakak terdekatnya Pangeran Suramanggala yang menyimpan manuskrip silsilah raja-raja keturunan Syaikh Syarif Hidayatullah[21], sehingga dengan kapasitasnya itu, informasi yang diberikannya sangatlah terpercaya


4. Tanya-4:

Ada dua nama atau lebih yang memiliki sebutan Pangeran Suramanggala, misalnya Tubagus Abdurrahman putra Sultan Aliyuddin.

Jawab:

Tidak lazim bila ada dua atau lebih orang yang memiliki sebutan nama/gelar yang persis identik didalam lingkungan keluarga Sultan Banten pada kurun waktu yang sama. Kecuali bila pemilik nama/gelar yang satu sudah wafat atau berbeda zaman dengan pemilik nama/gelar identik yang lain. Adapun Tubagus Abdurrahman dan Pangeran Suramanggala adalah orang yang berbeda, masing-masing membubuhkan tandatangan dalam satu baris yang sama (Lihat buku Surat-Surat Sultan Banten-Titik Pudjiastuti, Surat nomor 19, Text 2 recto baris ke 11).


5. Tanya-5:

Makam Pangeran Suramanggala ada di daerah lain.

Jawab:

Setiap orang bisa saja mengklaim seperti itu, namun perlu dijelaskan dimana lokasi makamnya, apa nama “Fulan bin Fulan” nya, sejak kapan mulai diketahui secara luas, apa bukti pendukungnya, tahu dari siapa dan kapasitasnya sebagai apa. Klaim terhadap lokasi makam terlebih makam seorang Sultan Banten yang nasabnya tersambung kepada ahlul bayt, harus dapat dijelaskan validitasnya berdasarkan fakta-fakta yang teruji dan diakui. Allahu a’lam.


6. Tanya-6:

Sultan yang ditangkap dan dipenjarakan Daendels di Batavia pada tahun 1808 adalah Sultan Ishaq Zainul Muttaqin, bukan Pangeran Suramanggala.

Jawab:

Sultan Ishaq menjabat sebagai Sultan sampai 1802, menurut sumber lain 1804. Silahkan merujuk ke Catatan Masa Lalu Banten, Halwany Michrab-Chudari, Appendix II. Sultan Wakil Pangeran Suramanggala adalah Sultan yang diangkat setelah Sultan Aliyuddin-2 diasingkan ke Ambon, sebelum keraton Surosowan habis dihancurkan oleh Daendels dan sebelum Sultan Syafiuddin diangkat menjadi Sultan di keraton Kaibon karena Surosowan sudah dihancurkan Daendels (lihat Halwany, IV-G). Jadi Sultan yang ditangkap dan dipenjarakan di Batavia, karena dituduh menggerakan ulama-ulama untuk berbuat kekacauan saat itu adalah Sultan yang sedang menjabat yaitu Pangeran Suramanggala (Sultan ke-19 periode 1808-1809). Dengan demikian Daendels dapat dengan leluasa menghancurkan keraton Surosowan. Allahu a’lam.

Catatan Kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ A List of Native Princes and Chieftains on Java, in The Java Annual Directory and Almanac, Vol. 2, A.H.Hubbard, 1816
  2. ^ a b Catatan Masa Lalu Banten. 
  3. ^ "Sejarah Pangeran Suramanggala Ed.03 Tashih Patrah Kesultanan Banten | PDF". Scribd. Diakses tanggal 2022-02-06. 
  4. ^ https://www.scribd.com/document/556536320/Sejarah-Pangeran-Suramanggala-Ed-03-Tashih-Patrah-Kesultanan-Banten
  5. ^ a b Pudjiastuti, Titik (2007). Perang, dagang, persahabatan: surat-surat Sultan Banten. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 978-979-461-650-5. 
  6. ^ Sholihin, Badru (2015) Pemanfaatan Gedung-gedung Bersejarah Peninggalan Kolonial Belanda di Kota Tangerang – Banten UIN-SMH Banten p.21
  7. ^ Islam Pada Masa Kesultanan Banten, Maftuh, hal 98.
  8. ^ Perang, Dagang, Persahabatan (Surat-Surat Sultan Banten), Titik Pudjiastuti, Surat no. 17, hal 87-89
  9. ^ a b c d e f g h Catatan Masa Lalu Banten, Halwany Michrab-Chudari, Bab IV-G.
  10. ^ Perang, Dagang, Persahabatan (Surat-Surat Sultan Banten), Titik Pudjiastuti, Surat no. 19-20, hal 94-100
  11. ^ Perang, Dagang, Persahabatan (Surat-Surat Sultan Banten), Titik Pudjiastuti, Surat no. 46-47, hal 186-193
  12. ^ Perang, Dagang, Persahabatan (Surat-Surat Sultan Banten), Titik Pudjiastuti, Surat no. 18, hal 90-93 23. Penulis menemukan adanya ketidaksesuaian angka tahun dimana tertulis tahun 1794, sedangkan di Surat no. 19-20 pada tahun 1802 Sultan Muhyiddin masih ada. Agar berurut dan tidak membingungkan, Penulis mengkoreksinya menjadi 1803 mengikuti urutan peristiwa yang diuraikan Surat-Surat Banten dalam Buku ini.
  13. ^ Perang, Dagang, Persahabatan (Surat-Surat Sultan Banten), Titik Pudjiastuti, Surat no. 46, hal 186-190
  14. ^ Perang, Dagang, Persahabatan (Surat-Surat Sultan Banten), Titik Pudjiastuti, Surat no. 23-24, hal 112-120
  15. ^ a b Catatan Masa Lalu Banten, Halwany Michrab-Chudari, Bab IV-F.
  16. ^ Perang, Dagang, Persahabatan (Surat-Surat Sultan Banten), Titik Pudjiastuti, Surat no. 28, hal 140-143
  17. ^ Perang, Dagang, Persahabatan (Surat-Surat Sultan Banten), Titik Pudjiastuti, Surat no. 29-30, hal 144-150
  18. ^ Nina H. Lubis (2004) Banten dalam Pergumulan Sejarah LP3ES p.96
  19. ^ a b http://yayasanbaitulkanzarahma.com/pangeran-suramanggala-bin-sultan-zainul-asyikin-detail-440362.html
  20. ^ a b "KH. Abdul Halim Syatari Majalengka". 
  21. ^ a b Historical Fact and Fiction, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, hal 86
  22. ^ "Makam Pangeran Suramanggala". 
  23. ^ "KH. Saerozi Kabuyutan Rajagaluh".