Sunan Gunung Jati
As-Syekh Syarif Hidayatullah ( Sunan Gunung Jati ) | |
---|---|
Sultan Cirebon ke-1 | |
Masa jabatan 1482–1568 | |
Pendahulu Jabatan baru | |
Tumenggung Cirebon | |
Masa jabatan 1479–1482 | |
Pengganti Jabatan dihapus | |
Informasi pribadi | |
Lahir | Syarif Hidayatullah 1448 |
Meninggal | 19 September 1568 |
Makam | Astana Gunung Sembung |
Agama | Islam |
Pasangan |
|
Anak |
|
Orang tua |
|
Denominasi | Sunni |
Dikenal sebagai | Wali Sanga |
Pemimpin Muslim | |
Pendahulu | Maulana Muhammad Ali Al-Akbar |
Sunan Gunung Jati atau lebih di kenal sebagai Sayyid Al-Kamil adalah salah seorang dari Walisongo, ia dilahirkan Tahun 1448 Masehi dari pasangan Syarif Abdullah Umdatuddin Sultan Pertama Kesultanan Champa dan Syarifah Mudaim (Nyai Rara Santang), putri dari Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi) dari Kerajaan Padjajaran.
Beliau dinobatkan menjadi Tumenggung Cirebon ke-2 pada tahun 1479 dengan gelar Maulana Jati. Beliau juga menikahi seorang Syarifah bernama Nyai Ageng Tepasari (putri dari Ki Gede Tepasan/ Arya Jaka Semprung yang merupakan Keturunan Brawijaya V yang menurunkan sultan-sultan Cirebon. Dari pernikahan tersebut maka Sayyid Al-Kamil mendapat sebutan Syarif Hidayatullah.
Nama Syarif Hidayatullah kemudian diabadikan menjadi nama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta di daerah Tangerang Selatan, Banten.
Sedangkan nama Sunan Gunung Jati diabadikan menjadi nama Universitas Islam negeri di Bandung, yaitu Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati[1], dan Korem 063/Sunan Gunung Jati di Cirebon.
Asal Usul
[sunting | sunting sumber]Sunan Gunung Jati lahir di Makkah Al-Mukarramah dengan nama Syarif Hidayatullah tahun 1448 Masehi. Ibunya bernama Nyai Rara Santang binti Prabu Siliwangi. Nyai Rara Santang pergi haji ke Makkah bersama kakaknya Pangeran Cakrabuana. Selama tinggal di Makkah, beliau nyantri di Syaikh Bayanullah, adik Syaikh Datuk Kahfi. Syaikh Datuk Kahfi adalah ulama asal Makkah yang menyebarkan Islam di Cirebon. Nyai Rara Santang dan Kakaknya berguru kepadanya, dan gurunya tersebut yang memerintahkannya untuk segera menunaikan ibadah haji ke Makkah bersama kakaknya, Pangeran Cakrabuana.
Di Makkah, Nyai Rara Santang menikah dengan Syarif Abdullah Al-Hasyimi yang kemudian setelah menjadi sultan bergelar Sultan Maulana Umdatuddin Al-Hasyimi. Ia menguasai wilayah Bani Ismail di Mesir dan Bani israil di Palestina. Nyai Rara Santang kemudian mendapat nama baru Syarifah Muda’im dan tinggal di Mesir bersama suami dan anaknya.
Ketika berumur dua puluh tahun, Syarif Hidayatullah pergi ke Makkah dan nyantri di ulama-ulama Makkah. Setelah itu ia pergi ke Nusantara. Ia mampir di Gujarat, lalu ke Kerajaan Samudra Pasai. Di Pasai ia nyantri di Sayyid Maulana Ishaq. Dari Pasai ia berlayar menuju Banten. Dari Banten kemudian menuju Surabaya untuk nyantri di Sunan Ampel. Setelah beberapa lama barulah ia diperintahkan menemani pamannya di Cirebon untuk menyebarkan agama Islam. Ia membangun pesantren di daerah Gunung Jati. Kemudian ia dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati.
Paragrap di atas, adalah kisah Sunan Gunung Jati yang diambil dari manuskrip Carita Purwaka Caruban Nagari dari mulai pupuh duabelas sampai tujuhbelas. Manuskrip Carita Purawaka Caruban nagari adalah sebah kitab yang ditulis Pangeran Arya Cirebon tahun 1720.
Silsilah
[sunting | sunting sumber]Pendapat ke-1 : Silsilah ini berjalur muasal Uzbekistan Asia Tengah sesuai dengan data pihak Keprabon Cirebon bernasab via jalur Al-Musawi Al-Kadzimi Al-Husaini, diakui jalur ini dan di isbat oleh Naqib Internasional melalui Naqib Hasyimiyyun Turki.
Silsilah :
1. Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam
2. Husein Asy-Syahid (imam III Syiah Dua Belas Imam)
3. Ali Zainal Abidin (imam IV Syiah Dua Belas Imam)
4. Muhammad Al-Baqir (imam V Syiah Dua Belas Imam)
6. Ja'far Ash-Shadiq (imam VI Syiah Dua Belas Imam)
7. Musa Al-Kadzim (imam VII Syiah Dua Belas Imam)
8. Ali Ar-Ridha (imam VIII Syiah Dua Belas Imam)
9. Muhammad Al-Jawad (imam IX Syiah Dua Belas Imam)
10. Ali Al-Hadi (imam X Syiah Dua Belas Imam)
11. Ja'far Az-Zaki
12. Ali Al-Asykar
13. Abdullah At-Taqi
14. Ahmad
15. Mahmud
16. Muhammad
17. Ja'far
18. Ali Al-Mu'ayyid
19. Sayyid Husain Jalaluddin Al-Bukhari
20. Ahmad Al-Kabir
21. Makhdum Husein Jalaluddin An-Naqwi
22. Mahmud Nasiruddin
23. Husein Jamaluddin Al-Akbar
24. Ali Nuruddin
25. Abdullah Umdatuddin
26. Sultan Syarif Hidayatullah Al-Hidayat Sunan Gunung Jati ll Cirebon
Pendapat ke-2 : Silsilah yang bersumber pada catatan Syajarotu al-Muluk dan sudah disesuaikan dengan berbagai catatan Kesultanan Kelantan, Kerajaan Palembang dan beberapa catatan yang lebih ma'ruf (diketahui) dan masyhur (lebih banyak dikenal).
Syeikh Jumadil Kubro adalah anak dari Sayyid Ahmad Jalaluddin Ahsan (Azmat) Khan bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Malik bin ‘Alwi (‘Ammul Faqih) bin Muhammad (Shahib Mirbath) bin ‘Ali (Khola Qosam) bin ‘Alwi bin Muhammad bin ‘Alwi (‘Alawiyyin) bin ‘Ubaidullah bin Ahmad (al-Muhajir) bin ‘Isa (an-Naqib) bin ‘Ali (al-‘Uroidli) bin Ja’far (as-Shodiq) bin Muhammad (al-Baqir) bin ‘Ali (Zainul ‘Abidin) bin al-Husain bin ‘Ali bin Abi Tholib dan Fathimah (az-Zahro al-Batul) binti Muhammad Rasulullah SAW.
Riwayat Hidup
[sunting | sunting sumber]Proses Belajar
[sunting | sunting sumber]Babad Cirebon menyebutkan, ketika Pangeran Cakrabuwana membangun Kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Syarif Hidayatullah mengambil peranan mambangun kota dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setelah Uwaknya wafat.
Kesultanan Cirebon
[sunting | sunting sumber]Pada tahun 1478 diadakan sebuah musyawarah para wali di Tuban, Jawa Timur untuk mencari pengganti Sunan Ampel sebagai pimpinan para wali, akhirnya terpilihlah Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), sejak saat itu, pusat kegiatan para wali dipindahkan ke gunung Sembung, kecamatan Gunung Jati, kabupaten Cirebon, propinsi Jawa Barat. Pusat kegiatan keagamaan ini kemudian disebut sebagai Puser Bumi (bahasa Indonesia: pusatnya dunia).[2]
Pada tahun 1479 M, kedudukan pangeran Walangsungsang sebagai penguasa Cirebon kemudian digantikan putra adiknya yakni Syarif Hidayatullah (anak dari pernikahan Nyai Rarasantang dengan Syarif Abdullah dari Mesir) yang sebelumnya menikahi Nyimas Pakungwati (putri dari Pangeran Walangsungsang dan Nyai Indang Geulis) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.[3]
Syarif Hidayatullah melalui lembaga Wali Sanga selalu mendekati kakeknya yakni Jaya Dewata (prabu Silih Wangi) agar berkenan memeluk agama Islam seperti halnya neneknya Nyai Subang Larang yang memang sudah lama menjadi seorang muslim jauh sebelum menikah dengan prabu Silih Wangi, tetapi hal tersebut tidak membuahkan hasil, pada tahun 1482 (pada saat kekuasaan kerajaan Galuh dan Sunda sudah menjadi satu kembali di tangan prabu Silih Wangi), seperti yang tertuang dalam naskah Purwaka Caruban Nagari karya Pangeran Arya Carbon.
Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala.
(bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijriah)
Pada tanggal 12 Safar 887 Hijriyah atau tepatnya pada tanggal 2 April 1482 Masehi, akhirnya Syarif Hidayatullah membuat maklumat yang ditujukan kepada prabu Silih Wangi selaku Raja Pakwan Pajajaran bahwa mulai saat itu Cirebon tidak akan lagi mengirimkan upeti.[2][3] Maklumat tersebut kemudian diikuti oleh para pembesar di wilayah Cirebon (bahasa Cirebon: gegeden).
Wafat
[sunting | sunting sumber]Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati berpulang ke rahmatullah pada tanggal 26 Rayagung tahun 891 Hijriah atau bertepatan dengan tanggal 19 September 1568 Masehi. Tanggal Jawanya adalah 11 Krisnapaksa bulan Badramasa tahun 1491 Saka.
Sunan Gunung Jati meninggal dalam usia 120 tahun. Takhta Cirebon lalu diwarisi oleh cicitnya, Zainul Arifin yang naik takhta di usia 23 tahun dengan gelar Panembahan Ratu.
Syekh Syarif Hidayatullah kemudian dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati oleh warga Cirebon karena ia dimakamkan di komplek pemakaman bukit Gunung Jati, yang sekarang dikenal dengan nama Astana Gunung Sembung.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ UIN Sunan Gunung Djati Bandung. "Sejarah UIN Sunan Gunung Djati Bandung". UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
- ^ a b Kurnia, Rohmat. 2009. Tempat dan Peristiwa Sejarah di Jawa Barat. Bandung: Sarana Pancakarya Nusa
- ^ a b "Kabupaten Cirebon - Sejarah Kabupaten Cirebon". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-07-29. Diakses tanggal 2015-10-16.
Pranala luar
[sunting | sunting sumber]Rujukan Kitab
[sunting | sunting sumber]- Kitab Syamsu Azh Zhahirah fi Nasabi Ahli al-Bait oleh Sayyid Abdurrohman bin Muhammad al-Masyhur
Sunan Gunung Jati al-Huseini al Kadzimi Lahir: 1448 Meninggal: 1568
| ||
Gelar | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Walangsungsang Tumenggung Cirebon |
Sultan Cirebon 1482–1568 |
Diteruskan oleh: Pangeran Pasarean |