Syarif Saif al-Alam
Sayyid Abdullah | |
---|---|
Sultan Syarif Saif al-Alam Syah | |
Kesultanan Aceh | |
Berkuasa | 1815–1819 |
Pendahulu | Alauddin Jauhar ul-Alam Syah |
Penerus | Sultan Alauddin Jauhar ul-Alam Syah |
Kematian | 1828 - |
Agama | Agama Islam |
Sultan Syarif Saif al-Alam Syah (meninggal tahun 1828) adalah sultan Kesultanan Aceh. Ia memerintah pada tahun 1815–1819 setelah berhasil menggulingkan takhta sultan sebelumnya Alauddin Jauhar ul-Alam Syah.
Latar belakang
[sunting | sunting sumber]Nama aslinya adalah Sayyid Abdullah. Ia merupakan putra Tuanku Sayyid Husain Aidid (lebih dikenal sebagai Sayyid Husen), seorang saudagar kaya dari Penang pulau lepas pantai barat Semenanjung Malaya yang telah menjadi koloni Inggris sejak tahun 1786. Keluarganya diakui sebagai keturunan sultan Aceh Sultan Jamalul Alam Badrul Munir (1703-1726). Dimasa lampau seorang putri sultan telah menikah dengan seorang sayyid yang melahirkan Sayyid Husen[1] Silsilah ini masih dipertanyakan sebab ibunda Sayyid Husen disebutkan seseorang yang bukan dari keturunan sang sultanah.[2] Keluarga itu meninggalkan Aceh pada tahun 1770–an dan selanjutnya menetap di Kepulauan Riau kemudian diketahui pindah ke Kuala Selangor sebelum akhirnya menetap di Penang. Sayyid Husen memiliki usaha perdagangan yang cukup luas di Aceh. Ia mengumpulkan lada dari pantai barat dan sirih dari Pidie yang dibarter dengan kain.[3]
Pemberontakan menentang Sultan Jauhar ul-Alam Syah
[sunting | sunting sumber]Sayyid Husen suatu ketika bermasalah dengan sultan Jauhar ul-Alam Syah, tepatnya pada awal abad kesembilan belas ketika sultan berupaya mengontrol perdagangan yang membangkitkan ketidakpuasan dari para pedagang Aceh dan para uleebalang, sementara Inggris pada saat yang sama sedang berusaha membujuk sultan untuk diberikan akses gratis bagi kapal dagang Inggris yang masuk ke pelabuhan Aceh. Masalah tersebut membuat Sayyid Husen melibatkan diri dalam gerakan untuk menggulingkan Alauddin Jauhar ul-Alam Syah. Pemberontakan bersenjata meletus pada bulan Oktober 1814, dan pada bulan April tahun 1815 Sayyid Husen dinobatkan menjadi sultan Aceh oleh para panglima dari tiga sagi. Meskipun ia tidak dinobatkan secara sah, ia tetap meneruskan takhta sultan kepada putranya Sayyid Abdullah pada bulan November tahun yang sama. Abdullah mengambil nama tahta Sultan Syarif Saiful Alam Syah.[4]
Perang sipil
[sunting | sunting sumber]Ketika Alauddin Jauhar ul-Alam Syah kembali ke Aceh pada tahun 1816 dan mulai menggalang kekuatan melawan Syarif Saiful Alam Syah. Perseteruan bersenjata kembali terjadi namun kedua belah pihak tak pernah cukup memiliki kekuatan untuk menjatuhkan lawannya. Para uleebalang juga kini tidak lagi memberikan dukungan sepenuhnya buat Syarif Saiful Alam sebagaimana yang diikrarkan sebelumnya. Karena hal itu maka sultan yang merasa tidak terlalu aman di istana memilih pindah ke tempat kediamannya ditepi pantai.[5]
Menurut sumber yang bisa dipercaya, sultan mengandalkan dukungan ayahnya secara finansial. 200 orang prajurit bayaran direkrut di Penang untuk mendukung sultan. Tetapi Inggris tidak pernah tertarik melibatkan diri secara langsung. Pada tahun 1816 Sayyid Husen ditangkap oleh penguasa kolonial Inggris dengan tuduhan terlibat dalam aksi pembajakan. Hal ini disebabkan oleh adanya penyerangan terhadap kapal-kapal dagang Inggris oleh pendukung Saiful Alam Syah di wilayah yang mendukung Alauddin Jauhar ul-Alam Syah.[6] Namun tidak berselang lama ia dibebaskan.[6]
Sementara itu ketika Perang Napoleon di Eropa usai. Inggris menjadi tertarik untuk mencari solusi di Aceh yang diharapkan akan mendukung kepentingan perdagangan lada. Sebuah misi di bawah John Coombs mengunjungi Aceh pada tahun 1818 dan menjumpai Syarif Saiful Alam yang mengajukan klaim bahwa dirinya adalah pihak yang memegang hak penuh untuk takhta sultan Aceh. Coombs melakukan sebuah perjanjian dengannya yang oleh sultan disahkan dengan penuh semangat. Tahun berikutnya misi lain diberangkatkan bawah pimpinan Coombs yang bergabung dengan Thomas Stamford Raffles yang sedang dalam perjalanannya Raffles mendirikan koloni baru di Singapura pada bulan Februari. Misi ini tiba ke Aceh pada bulan Maret, tetapi Raffles mengambil posisi lain dari Coombs tahun lalu. Klaim takhta sultan dianggap tidak sah dan Alauddin Jauhar ul-Alam Syah menjadi alternatif pemilik sah takhta sultan.[7] Inggris sekarang mengikat perjanjian dengan Alauddin Jauhar ul-Alam Syah pada bulan April 1819. Sayyid Husen yang telah kehilangan uang dalam jumlah besar pada petualangannya dan putranya di Aceh tidak melihat kesempatan lagi untuk mempertahankan posisinya tanpa didukung oleh Inggris. Akhirnya Sultan meninggalkan Aceh pada awal tahun 1820 dan berlayar menuju Kolkata untuk memohon peninjauan atas kasusnya. Ia tidak mendapatkan dukungan dari pemerintah kolonial dan kembali ke Penang pada bulan Juli tahun 1820. Menetap disana dan melupakan segala ambisi kekuasaannya di Aceh.[8] Namun kepergiaannya itu tidak juga mendatangkan kedamaian di Aceh.[9]
Setelah kehilangan takhta
[sunting | sunting sumber]Bekas sultan itu sekarang menetap di Penang di mana ia menerima kompensasi 6.000 dolar per tahun. Ayahnya Sayyid Husen telah kehilangan minat untuk tahta Aceh dan melanjutkan aktivitas perdagangan nya. Ia meninggal pada tahun 1826 dan dimakamkan di lingkungan sebuah masjid di Penang. Seorang putra Sayyid Husen bernama Sayyid Akil, berusaha menjadi sultan Deli pada 1826–1827 tetapi tidak berhasil. Pada tahun 1828 Syarif Saiful Alam meninggal ketika sedang dalam perjalanan melaksanakan ibadah haji ke Mekkah.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Menurut Zainuddin (1961), p. 413, dia keturunan Sultanah Kamalat Syah (1688–1699).
- ^ Lee (1995), p. 291.
- ^ Lee (1995), p. 219.
- ^ Lee (1995), pp. 217-24.
- ^ Lee (1995), p. 246. Djajadiningrat (1911), p. 208, mengatakan ia pindah ke Kuta Meugat.
- ^ a b Lee (1995), pp. 256-7.
- ^ Lee (1995), 292.
- ^ Lee (1995), pp. 299-301.
- ^ Djajadiningrat (1911), p. 210.
Pranala luar
[sunting | sunting sumber]- Djajadiningrat, Raden Hoesein (1911) 'Critische overzicht van de in Maleische werken vervatte gegevens over de geschiedenis van het soeltanaat van Atjeh', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 65, pp. 135–265.
- Lee Kam Hing (1995) The Sultanate of Aceh: Relations with the British, 1760-1824. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
- Zainuddin, H.M. (1961) Tarich Atjeh dan Nusantara, Jilid I. Medan: Pustaka Iskandar Muda.
Didahului oleh: Sultan Alauddin Jauhar ul-Alam Syah |
Sultan Aceh 1815—1819 |
Diteruskan oleh: Sultan Alauddin Jauhar ul-Alam Syah |