Tanaman dagang
Tanaman dagang adalah sebuah tanaman pertanian yang ditumbuhkan untuk dijual dan mendapatkan laba. Ini biasanya dijual oleh pihak-pihak yang terpisah dari sebuah kebun.[2] Istilah tersebut dipakai untuk membedakan tanaman yang diperdagangkan dari tanaman subsistensi, yang dipakai oleh penanamnya untuk dijadikan makanannya sendiri atau keluarga dari produsen tersebut. Pada masa-masa sebelumnya, tanaman dagang biasanya hanya meliputi bagian kecil (namun vital) dari seluruh ladang pada sebuah perkebunan, sementara pada masa sekarang, khususnya di negara-negara maju, hampir seluruh tanaman utamanya ditumbuhkan untuk pendapatan. Di negara-negara berkembang, tanaman dagang biasanya merupakan tanaman yang mendatangkan tawaran di negara-negara yang lebih maju, dan sehingga memiliki beberapa nilai ekspor.
Harga untuk tanaman dagang besar ditentukan dalam pasar komoditas dengan cangkupan global, dengan beberapa ragam lokal (diistilahkan sebagai "dasar") berdasarkan pada bea cukai dan keseimbangan suplai dan tawaran lokal. Konsekuensi dari hal ini adalah bahwa sebuah negara, kawasan atau produsen individual yang menanam sebuah tanaman yang berharga rendah harus berganti menanam tanaman lainnya yang lebih dapat diterima di pasar global. Sistem ini dikritik oleh para petani tradisional. Kopi adalah contoh dari sebuah produk yang dianggap layak pada komoditas siginfikan yang mendatangkan beragam harga.[3][4]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b USDA-Foreign Agriculture Service. "(Cotton) Production Ranking MY 2011". National Cotton Council of America. Diakses tanggal April 3, 2012. Hapus pranala luar di parameter
|publisher=
(bantuan) - ^ "Ag 101: Crop Glossary". U.S. Environmental Protection Agency. September 10, 2009. Diakses tanggal April 4, 2012. Hapus pranala luar di parameter
|publisher=
(bantuan) - ^ Ellis, Blake (September 10, 2010). "Coffee prices on the rise". CNN Money. Diakses tanggal April 3, 2012. Hapus pranala luar di parameter
|publisher=
(bantuan) - ^ Galatola, Thomas (February 14, 2012). "Coffee Futures Fall to Lowest in 14 Months: Commodities at Close". Bloomberg News. Diakses tanggal April 3, 2012. Hapus pranala luar di parameter
|publisher=
(bantuan)
- Ryan, Orla (August 23, 2002). "Aid workers grope for famine causes". BBC News. Diakses tanggal April 4, 2012. Hapus pranala luar di parameter
|publisher=
(bantuan) - Olley, Lola (June 29, 2009). "Could This Be Africa's Next Cash Crop?". Huffington Post. Diakses tanggal April 4, 2012. Hapus pranala luar di parameter
|publisher=
(bantuan) - Staff (April 3, 2012). "Native plants, herbal supplements could be cash crops for North Country, SLU prof says". North Country Now. Diakses tanggal April 3, 2012. Hapus pranala luar di parameter
|publisher=
(bantuan) - Lonergan, Kerry (November 5, 2008). "Cash Crops". Australian Broadcasting Corporation. Diakses tanggal December 28, 2018. Hapus pranala luar di parameter
|publisher=
(bantuan) - "Cash Crop – AWB Scandal (Report)". The Age. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-09-17. Diakses tanggal April 4, 2012. Hapus pranala luar di parameter
|publisher=
(bantuan) - Rowbotham, Jill (July 28, 2010). "High yield expected from cash for crop research". The Australian. Diakses tanggal April 4, 2012. Hapus pranala luar di parameter
|publisher=
(bantuan) - Nepru Working paper #80, The Nambian Economic Policy Research Unit. Hopolang Phororo.
- Hillstrom, Kevin; Hillstrom, Laurie Collier (2003). Australia, Oceania, and Antarctica: A Continental Overview of Environmental Issues. ABC-CLIO, Inc. hlm. 73–119. Diakses tanggal April 9, 2012. ISBN 1576076954
Pranala luar
[sunting | sunting sumber]- FAOSTAT – Food balance sheets from the Food and Agriculture Organization of the United Nations
- Bita, Natasha (February 3, 2010). "Seeing slime as a cash crop". The Australian. Diakses tanggal April 4, 2012. Hapus pranala luar di parameter
|publisher=
(bantuan)