Lompat ke isi

Tathayyur

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Tathayyur atau Thiyarah (bahasa Arab: التطير) adalah istilah dalam Islam yang merujuk pada tindakan menganggap sial atau bernasib buruk karena suatu hal tertentu, seperti peristiwa, waktu, tempat, atau makhluk tertentu. Praktik ini berasal dari kebiasaan masyarakat jahiliyah yang sering mengambil pertanda dari gerak burung atau makhluk lainnya untuk menentukan keberuntungan atau kesialan. Dalam ajaran Islam, tathayyur termasuk perbuatan yang dilarang karena bertentangan dengan akidah tauhid.[1][2][3][4]

Secara bahasa, tathayyur berasal dari kata "ṭā’ir" (طائر) yang berarti burung. Di zaman jahiliyah, orang Arab menggunakan gerakan burung sebagai pertanda baik atau buruk. Secara istilah, tathayyur adalah kepercayaan terhadap adanya nasib buruk atau sial akibat sesuatu tanpa dasar yang benar atau dalil syar'i.[5]

Dalam Al-Qur'an

Allah berfirman:

Mereka (para rasul) berkata, “Kemalangan kamu itu (akibat perbuatan) kamu sendiri. Apakah karena kamu diberi peringatan, (lalu kamu menjadi malang)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampaui batas.”

— (Surah Yasin: 19)

Ayat ini menunjukkan bahwa kesialan atau kemalangan yang dialami seseorang adalah akibat dari perbuatannya sendiri, bukan karena tanda-tanda tertentu.

Dalam Firmannya yang lain;

“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: ‘Ini disebabkan (usaha) kami.’ Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang bersamanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.”

— [Al-A’raaf/7: 131]

Dalam Hadis

Nabi Islam Muhammad bersabda:

"Thiyarah adalah syirik."

— (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Albani)

Dalam hadis ini, tathayyur disebut sebagai bentuk syirik kecil (syirik ashghar), karena mempercayai sesuatu selain Allah memiliki kuasa untuk mendatangkan kebaikan atau keburukan.

Hadis lain menyebutkan:[4]

"Tidak akan mencapai derajat yang tinggi bagi siapa saja yang mempraktekkan perdukunan atau mendatangi dukun, ataupun membatalkan perjalanannya karena tathayyur

— (Diriwayatkan oleh Abu Tamam dalam al-Fawaid)

Contoh Perilaku Tathayyur antara lain yaitu, menganggap hari atau bulan tertentu membawa kesialan, seperti bulan Safar. Merasa sial ketika melihat burung terbang ke arah tertentu. Menghindari angka tertentu, seperti angka 13, karena dianggap membawa kesialan. Tidak memulai perjalanan jika bertemu binatang tertentu, seperti kucing hitam.

Hukum Tathayyur

[sunting | sunting sumber]

Dalam Islam, tathayyur adalah perbuatan yang haram dan termasuk dosa besar. Larangan ini ditegaskan dalam berbagai dalil, baik Al-Qur'an maupun hadis, karena tindakan ini merusak akidah dan menunjukkan kurangnya tawakkal kepada Allah.

Pendapat Ulama

[sunting | sunting sumber]

Imam An-Nawawi menyatakan bahwa tathayyur adalah kebiasaan jahiliyah yang dilarang secara tegas dalam Islam.[butuh rujukan]

Ibn Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah mengatakan :[5]

“at tathayyur artinya merasa sial karena suatu pertanda yang dilihat atau didengar”

— (Miftah Daris Sa’adah, 3/311).

Al Qarafi rahimahullah mengatakan :[5]

“at tathayyur artinya sangkaan dalam hati bahwa akan terjadi kesialan. Sedangkan at thiyarah adalah perbuatan yang dihasilkan dari tathayyur, yaitu berupa lari atau perbuatan lainnya”

— (al Furuq, 4/1367).

Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah :[Catatan 1]

“Tathayyur adalah menganggap sial atas apa yang dilihat, didengar, atau yang diketahui. Seperti yang dilihat yaitu, melihat sesuatu yang menakutkan. Yang didengar seperti mendengar burung gagak, dan yang diketahui seperti mengetahui tanggal, angka atau bilangan. Tathayyur menafikan (meniadakan) tauhid dari dua segi:

Pertama, orang yang bertathayyur tidak memiliki rasa tawakkal kepada Allah Azza wa Jalla dan senantiasa bergantung kepada selain Allah.

Kedua, ia bergantung kepada sesuatu yang tidak ada hakekatnya dan merupakan sesuatu yang termasuk takhayyul dan keragu-raguan.”

Ibnul Qayyim rahimahullah kembali menuturkan:[Catatan 2]

“Orang yang bertathayyur itu tersiksa jiwanya, sempit dadanya, tidak pernah tenang, buruk akhlaknya, dan mudah terpengaruh oleh apa yang dilihat dan didengarnya. Mereka menjadi orang yang paling penakut, paling sempit hidupnya dan paling gelisah jiwanya. Banyak memelihara dan menjaga hal-hal yang tidak memberi manfaat dan mudharat kepadanya, tidak sedikit dari mereka yang kehilangan peluang dan kesempatan (untuk berbuat kebajikan-pent.).”

Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah berkata:[Catatan 3]

“Allah Azza wa Jalla menyebutkan bahwa keberuntungan, kemakmuran, dan keburukan serta bencana kaum Fir’aun dan yang lainnya tidak lain adalah ketetapan yang baik dan yang buruk semuanya dari Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui sehingga mereka menuduh Musa Alaihissallam dan pengikutnya sebagai penyebabnya.”

  1. ^ Lihat al-Qaulul Mufiid ‘alaa Kitaabit Tauhiid (I/559-560).
  2. ^ Miftaah Daaris Sa’aadah (III/273) ta’liq dan takhrij Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi
  3. ^ Tafsiir Ibni Jarir ath-Thabari (VI/30-31) dengan diringkas.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "Hukum Tathayyur dalam Islam, Bolehkah Menggantungkan Nasib pada Sesuatu?". kumparan. Diakses tanggal 2025-01-25. 
  2. ^ disdukcapil (2024-08-30). "Pengajian Rutin Setiap Jumat di Disdukcapil Cilacap – DISDUKCAPIL Kab. Cilacap" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2025-01-25. 
  3. ^ "Merasa Diri Bernasib Sial, Apa Hukumnya dalam Islam?". SINDOnews Kalam. Diakses tanggal 2025-01-25. 
  4. ^ a b "Muslimah, Hati-hati dengan Tathayyur dan Tasya'um". SINDOnews Kalam. Diakses tanggal 2025-01-25. 
  5. ^ a b c S.Kom, Yulian Purnama (2020-09-19). "Tathayyur: Anggapan Sial Karena Suatu Pertanda Adalah Kesyirikan". Muslim.or.id. Diakses tanggal 2025-01-25.