Lompat ke isi

Telur burung unta

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Telur burung unta adalah telur yang berasal dari burung unta (Struthio camelus), spesies terbesar dari semua burung yang masih hidup. Terkadang telurnya dikonsumsi manusia. Cangkang telurnya yang sudah kosong dapat dimanfaatkan sebagai cangkir, wadah untuk menyimpan dan membawa air, atau sebagai wadah untuk bubuk atau cairan seperti cat tubuh.[1]

perbandingan telur burung unta dengan telur burung puyuh dan telur ayam
Telur burung unta di sarang di peternakan

Telur burung unta adalah yang terbesar dari semua telur,[2] meskipun sebenarnya telur terkecil jika dibandingkan dengan ukuran burung dewasa — ukuran telurnya 20 kali lebih berat dibanding telur ayam tetapi hanya 1-4% ukuran burung betina. Telur burung unta berukuran panjang 15 cm dan lebar 13 cm, berat mencapai 1,4 kg, dan volume hingga 1 liter. Cangkang telurnya memiliki berat sekitar 260 gram. Satu butir telur burung unta mengandung 1 kg protein atau setara dengan 24-28 telur ayam.[3] Telur ini dapat digunakan untuk suplemen diet karena kandungan protein dalam jumlah besar.[1]

Burung unta betina bertelur di sarang komunal tunggal, di lubang sederhana dengan kedalaman 30 hingga 60 cm (12–24 in) dalam dan lebar 3 m (9,8 ft),[4] yang digali di tanah oleh burung jantan. Burung betina dominan meletakkan telurnya terlebih dahulu. Ketika ia menutupi telur-telurnya untuk inkubasi, ia membuang telur ekstra dari betina yang lebih lemah, hingga sekitar 20 telur dalam kebanyakan kasus.[5] Menurut penelitian, burung unta betina dapat membedakan telurnya sendiri dari burung lain di sarang komunal.[6]

Inkubasi telur dilakukan oleh kedua jenis kelamin, baik jantan maupu betina. Betina akan mengerami telur di siang hari dan jantan di malam hari. Warna kedua jenis kelamin burung dapat digunakan untuk menghindari sarangnya dideteksi dan dirusak hewan predator. Warna betina yang kusam mirip dengan warna pasir, sementara warna jantan yang hitam hampir tak terdeteksi di malam hari.[7] Masa inkubasi sekitar 35 hingga 45 hari, yang tergolong pendek dibandingkan dengan burung berukuran besar lainnya. Hal ini diyakini terjadi karena tingginya tingkat dimakan predator.[8] Umumnya, burung pejantan akan melindungi anak-anaknya dan mengajari mereka untuk mencari makan. Burung pejantan dan betina saling bekerja sama dalam membesarkan anak burung. Selama 9 minggu periode bertelur hingga inkubasi, kurang dari 10% sarang yang bertahan. Dari anak burung yang mampu bertahan hidup, hanya 15% yang mampu hidup hingga usia 1 tahun.[9]

Ada mitos tentang burung unta yang mengubur kepalanya di pasir untuk menghindari bahaya. Mitos ini mungkin berkembang karena burung unta menyimpan telurnya di lubang pasir dan harus memutarnya menggunakan paruhnya selama masa inkubasi. Gerakan mereka menggali lubang, menempatkan telur, dan memutar telur masing-masing mungkin disalahartikan dengan mengubur kepala mereka di pasir.[10]

Pemanfaatan

[sunting | sunting sumber]

Telur burung unta telah dimanfaatkan sejak sekitar 85 ribu tahun lalu di Afrika berdasarkan penelitian Texier dkk yang menemukan sekitar 400 kepingan fosil telur di Western Cape, Afrika Selatan.[11] Cangkang telur ini digunakan oleh pemburu dan peramu di Afrika sebagai wadah untuk menyimpan dan membawa cairan, terutama air. Untuk membuat wadah air, mereka melubangi bagian atas telur. Dari fosil telur yang ditemukan, terdapat dekorasi atau hiasan di cangkang telur yang diduga digunakan sebagai penanda kepemilikan atau isi dari wadah tersebut.[11]

Telur burung unta juga dimanfaatkan secara luas di Zaman Perunggu dan Zaman Besi, setidaknya sejak 7000 SM. Telur yang telah diukir, dilukis, dan dihiasi dengan gading atau hiasan berharga lainnya menjadi barang mewah di seluruh Mediterania, Afrika, dan Timur Tengah. Telur dihias dengan motif geometri atau bunga-bungaan. Bahkan tak jarang telur ini tidak berasal dari daerah lokal, melainkan diimpor dari daerah lain.[12]

Selain sebagai wadah, orang-orang juga memanfaatkan cangkangnya untuk membuat anak panah dan tembikar sisir. Catatan dari Babilonia dan Asyur menyebut cangkang yang ditumbuk dimanfaatkan untuk melindungi dari kebutaan. Selain itu, telur ini juga dimanfaatkan untuk kegiatan keagaamaan. Di tempat-tempat suci Yunani kuno, bahkan di gereja-gereja hingga saat ini, telur ditawarkan sebagai simbol kesuburan dan kemakmuran.[1] Cangkang telur yang dihias ditempatkan di makam-makam sejak milenium ke-5 SM. Praktik menempatkan telur burung unta hias di kuburan ternyata umum ditemukan dan didokumentasikan di berbagai kebudayaan; di antaranya Mesir era pra-dinasti dan era Firaun, dinasti awal Nubia, zaman perunggu Yunani, Kreta, Siprus, Suriah-Palestina, dan Mesopotamia. Pada milenium ke-1 SM, telur burung unta digunakan oleh bangsa Fenisia dan Etruria sebagai benda makam yang melambangkan kebangkitan dan kehidupan abadi serta menyediakan "makanan" bagi orang mati.[1]

Di era Mesir Kuno, telur burung unta dimanfaatkan untuk persembahan kepada dewa. Di makam Harembab, Thebes, Mesir yang berasal dari sekitar tahun 1420 SM ditemukan gambar seorang pria yang membawa mangkuk berisi telur burung unta dan telur besar lainnya yang digunakan untuk persembahan.[13]

Telur burung unta juga digunakan untuk dekorasi tempat tinggal dan ornamen kecil. Di Afrika Utara telur burung unta digantung di langit-langit; di Sudan telur ini menghiasi atap gubuk jerami. Telur ini juga mungkin disepuh dan diletakkan di lampu gantung, seperti yang ditemukan di sebuah biara di Gunung Sinai, Mesir. Cangkang yang relatif tebal dan halus membuatnya cocok sebagai bahan baku untuk ornamen kecil seperti manik-manik cakram, liontin kalung, ikat pinggang, dan gelang kaki sejak zaman Neolitikum. Hingga kini masih dapat ditemukan pengrajin hiasan dari telur burung unta di Gurun Kalahari di Afrika Selatan.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d Conwell, David (1987). "Ostrich Eggs". Expedition Magazine - Penn Museum. Diakses tanggal 2022-03-01. 
  2. ^ Hyde, Kenneth (2004). Zoology: An Inside View of Animals (edisi ke-3rd). Dubuque, IA: Kendall Hunt Publishing. hlm. 475. ISBN 978-0-7575-0170-8. 
  3. ^ "Ancient Knowledge of the Beauty and Utility of an Ostrich Egg Shell". ThoughtCo (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-03-01. 
  4. ^ Harrison, C.; Greensmith, A. (1993). Bunting, E., ed. Birds of the World. New York, NY: Dorling Kindersley. hlm. 39. ISBN 978-1-56458-295-9. 
  5. ^ Davies (2003). Hutchins, Michael, ed. Grzimek's Animal Life Encyclopedia. 8 (edisi ke-2nd). Gale Group. ISBN 978-0-7876-5784-0. 
  6. ^ Bertram, B.C.R. (1979). "Ostriches recognise their own eggs and discard others". Nature. 279 (5710): 233–234. Bibcode:1979Natur.279..233B. doi:10.1038/279233a0. PMID 440431. 
  7. ^ Nell, Leon (2003). The Garden Route and Little Karoo. Cape Town: Struik Publishers. hlm. 164. ISBN 978-1-86872-856-5. [pranala nonaktif permanen]
  8. ^ Perrins, Christopher (1987) [1979]. Harrison, C.J.O., ed. Birds: Their Lifes, Their Ways, Their World. Reader's Digest Association, Inc. hlm. 168–170. ISBN 978-0-89577-065-3. 
  9. ^ Firefly Encyclopedia of Birds. Firefly Books, Ltd. 2003. ISBN 978-1-55297-777-4. 
  10. ^ "Do ostriches really bury their heads in the sand?". Science World British Columbia. 11 December 2015. Diakses tanggal 2 January 2017. 
  11. ^ a b Texier, Pierre-Jean; Porraz, Guillaume; Parkington, John; Rigaud, Jean-Philippe; Poggenpoel, Cedric; Tribolo, Chantal (2013-09-01). "The context, form and significance of the MSA engraved ostrich eggshell collection from Diepkloof Rock Shelter, Western Cape, South Africa". Journal of Archaeological Science. The Middle Stone Age at Diepkloof Rock Shelter, Western Cape, South Africa (dalam bahasa Inggris). 40 (9): 3412–3431. doi:10.1016/j.jas.2013.02.021. ISSN 0305-4403. 
  12. ^ "British Museum looks to crack mystery over decorated ostrich eggs". the Guardian (dalam bahasa Inggris). 2020-04-08. Diakses tanggal 2022-03-01. 
  13. ^ Brothwell, Don R.; Patricia Brothwell (1997). Food in Antiquity: A Survey of the Diet of Early Peoples. Johns Hopkins University Press. hlm. 54–55. ISBN 978-0-8018-5740-9.