Teori manajemen teror
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. (March 2023) |
Psikologi |
---|
Dasar ilmu |
Terapan |
Daftar |
Portal Psikologi |
Teori manajemen teror (TMT) adalah teori psikologi sosial dan evolusioner yang awalnya diusulkan oleh Jeff Greenberg, Sheldon Solomon, dan Tom Pyszczynski[1] dan dikodekan dalam buku mereka The Worm at the Core: On the Role of Death in Life (2015). Teori ini mengusulkan bahwa konflik psikologis dasar timbul dari memiliki naluri pelestarian diri sambil menyadari bahwa kematian tidak dapat dihindari dan sampai batas tertentu tidak dapat diprediksi. Konflik ini menghasilkan teror, yang dikelola melalui kombinasi eskapisme dan keyakinan budaya yang bertindak untuk melawan realitas biologis dengan bentuk makna dan nilai yang lebih signifikan dan tahan lama—pada dasarnya melawan ketidakpentingan pribadi yang diwakili oleh kematian dengan signifikansi yang diberikan oleh budaya simbolik.[1][2]
Contoh paling jelas dari nilai-nilai budaya yang mengurangi kecemasan kematian adalah nilai-nilai yang mengklaim menawarkan keabadian literal (misalnya, kepercayaan pada kehidupan setelah kematian melalui agama).[3] Namun, TMT juga berpendapat bahwa nilai-nilai budaya lainnya—termasuk yang tampaknya tidak terkait dengan kematian—menawarkan keabadian simbolik. Misalnya, nilai-nilai identitas nasional, keturunan, perspektif budaya tentang seks, dan superioritas manusia atas hewan telah dikaitkan dengan menenangkan kekhawatiran kematian. Dalam banyak kasus, nilai-nilai ini dianggap menawarkan keabadian simbolik, baik dengan a) memberikan rasa bahwa seseorang adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar yang pada akhirnya akan mengatasi individu (misalnya negara, garis keturunan, spesies), atau b) membuat identitas simbolik seseorang lebih unggul daripada sifat biologis (yaitu seseorang adalah kepribadian, yang membuat seseorang lebih dari sekadar gumpalan sel).[4]
Karena nilai-nilai budaya memengaruhi apa yang berarti, nilai-nilai tersebut merupakan dasar bagi harga diri. TMT menggambarkan harga diri sebagai ukuran pribadi dan subjektif tentang seberapa baik individu menjalani nilai-nilai budaya mereka.[2]
Teori manajemen teror dikembangkan oleh psikolog sosial Greenberg, Solomon, dan Pyszczynski. Namun, gagasan TMT berasal dari karya nonfiksi pemenang Penghargaan Pulitzer tahun 1973 karya antropolog Ernest Becker The Denial of Death. Becker berpendapat bahwa sebagian besar tindakan manusia dilakukan untuk mengabaikan atau menghindari ketidakelakkan kematian.[5] Teror dari kehancuran mutlak menciptakan kecemasan yang begitu mendalam—meskipun tidak sadar—pada orang-orang sehingga mereka menghabiskan hidup mereka untuk mencoba memahaminya. Pada skala besar, masyarakat membangun simbol: Hukum, makna religius, budaya, dan sistem kepercayaan untuk menjelaskan signifikansi kehidupan, menentukan karakteristik, keterampilan, dan bakat apa yang luar biasa, menghargai orang lain yang mereka anggap mewujudkan atribut tertentu, dan menghukum atau membunuh orang lain yang tidak mematuhi pandangan dunia budaya mereka. Penganut "simbol" ini membantu mengurangi stres yang terkait dengan kenyataan kematian.[6] Pada tingkat individu, harga diri memberikan penyangga terhadap kecemasan terkait kematian.
Latar belakang
[sunting | sunting sumber]Ernest Becker dalam bukunya yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berjudul Penyangkalan Terhadap Kematian mengembangkan ide-ide mendalam tentang bagaimana manusia menghadapi kesadran akan kematian mereka sendiri. Gagasan-gagasannya menjadi dasar utama bagi Teori Menajemen Teror (TMT) dan menjelajahi konflik eksistensial antara naluri bertahan hidup dan kesadaran akan kefanaan. Beliau bependapat bahwa teror yang ditimbulkan kesadaran akan berakhirnya hidup mendorong manusia untuk menghargai berbagai rancangan untuk melampau kematian, baik melalui janji-janji kehidupan abadi di akhirat, melalui pelangsungan hidup melalui rantai keturunan, melalui keanggotaan dalam gerakan politik yang dibayangkan akan bertahan lama, atau jejak pengaruh yang dibayangkan melalui berbagai kontribusi kreatif maupun ilmiah.[7] Ernest Becker, mengemukakan bahwa teror kematian adalah tema sentral yang mendasari pemikiran dan perilaku manusia. Beliau juga berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang unik karena memiliki kesadaran akan kematian, yaitu kemampuan untuk memahami bahwa mereka akan mati suatu hari nanti. kesadaran ini menciptakan teror eksistensial, yang menurutnya menjadi pendorong utama berbagai upaya manusia untuk memberi makna pada kehidupan.
Becker mengajarkan bahwa ketakutan,kecemasan, dan perjuangan manusia melawan kematian adalah bagian tak terpisahkan dari keberadaan manusia. Upaya manusia untuk menciptakan makna, melalui mekanisme pertahanan psikologis dan sistem kepahlawanan, adalah respon terhadap teror eksistensial ini. Namun, paradoks dalam perjuangan ini menunjukkan bahwa keinginan untuk yang terbaik sering kali menghasilkan yang terburuk. Dengan menghadapi kenyataan ini, Becker mengajak manusia untuk hidup dengan kesadaran penuh akan kefanaan, mencari makna yang autentik, dan merangkul kompleksitas keberadaan.
Berikut adalah penjabaran dari gagasan-gagasan Becker yang mendasari teror kematian dan bagaimana manusia meresponnya.[8]
Dunia yang menakutkan dan mengerikan
[sunting | sunting sumber]Becker memulai dengan pengamatan bahwa dunia ini adalah tempat yang mengerikan. Dalam perspektif biologis, kehidupan adalah siklus konsumsi dan penghancuran dimana satu organisme mencabik-cabik yang lain untuk bertahan hidup. Organisme hidup menggigit, mengoyak, dan mengunyah daging; memamah tanaman; dan dengan rakus menelan sari kehidupan. Dalam ekosistem seperti ini, manusia hidup di tengah ancaman bahaya dan ketidakpastian yang konstan. Dunia bukanlah tempat yang ramah, malainkan medan perjuangan untuk bertahan hidup, dimana kematian selalu menanti di ujung jalan.
Kebutuhan untuk mengendalikan kecemasan akan kematian
[sunting | sunting sumber]Kesadaran manusia yang unik menciptakan kecemasan mendalam tentang kefanaan. Manusia menyadari bahwa mereka muncul dari ketiadaan, memperoleh kesadaran diri, menciptakan identitas, merasakan cinta, kebahagiaan, dan keinginan yang mendalam, namun tetap harus menghadapi kematian. Becker berpendapat bahwa motivasi dasar perilaku manusia adalah kebutuhan biologis untuk menyangkal teror kematian ini. Ketakutan ontologis ini, yang meliputi kekaguman, kecemasan, dan ketidakberdayaan, adalah bagian yang wajar dari kontemplasi manusia terhadap kematian.
Becker berargumen bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk hidup yang memiliki kesadaran penuh tentang kefanaannya. Kesadaran ini menciptakan kecemasan eksistensial yang mendalam, karena manusia memahami bahwa; kematian tidak terhindarkan dan kehidupan bisa terasa tidak berarti jika tidak diberikan makna yang lebih besa
Mekanisme pertahanan kepribadian
[sunting | sunting sumber]Karena teror kematian terlalu dahsyat untuk dihadapi secara langsung, manusia menciptakan mekanisme pertahanan kepribadian. Becker mengacu pada konsep Wilhelm Reich tentang character armor, yaitu semacam pelindung psikologis yang memungkinkan manusia merasa aman dan berpura-pura bahwa dunia dapat dikelola. Dalam proses ini, manusia sering kali mengorbankan kesenangan hidup untuk membeli ilusi keabadian. mereka mengurung diri dalam benteng pertahanan karakter, menghindari risiko dan pengalaman hidup yang sebenarnya.
Untuk melawan ketidakberdayaan alami, manusia menciptakan sistem kepahlawanan sebagai garis pertahanan kedua. Sistem ini memungkinkan manusia merasa dapat melampaui kematian dengan berpartisipasi dalam sesuatu yang dianggap bernilai abadi, seperti membangun kuil, menulis buku, atau menciptakan keluarga. Becker menyebutkan bahwa tugas utama hidup manusia adalah menjadi heroik, melampaui kematian, dan mencari makna yang lebih besar. Budaya manusia, menurutnya adalah sistem simbolik yang rumit yang memberikan kerangka kerja bagi manusia untuk mencapai keabadian semu.
Paradoks proyek heroik
[sunting | sunting sumber]Namun, Becker menunjukkan bahwa proyek-proyek heroik ini seringkali membawa paradoks. Upaya manusia untuk menghancurkan kejahatan demi mencapai citra diri yang heroik justru sering menimbulkan lebih banyak kejahatan. Konflik ideologis antarbudaya misalnya, adalah pertempuran antara berbagai proyek keabadian yang saling bertentangan. Akar kejahatan ini, menurut Becker bukanlah sifat hewani manusia, melainkan kebutuhan manusia untuk memperoleh harga diri, menyangkal kematian dan mencapai citra diri heroik.
Latar belakang evolusi
[sunting | sunting sumber]Para ahli teori manajemen teror menganggap Teori Manajemen Teror (TMT) sejalah dengan teori evolusi: Ketakutan yang masuk akal terhadap hal-hal berbahaya memiki fungsi adaptif yang membantu nenek moyang kita bertahan hidup dan mewariskan gen mereka. Namun, kecemasan eksistensial yang muncul secara umum dari konflik antara keinginan untuk hidup dan kesadaran akan kepastian kematian bukanlah sesuatu yang adaptif atau dipilih oleh evolusi.[9] TMT memandang kecemasan eksistensial ini sebagai produk sampingan yang tidak diinginkan dari dua kecenderungan manusia yang sangat adaptif, bukanlah sebagai adaptasi yang secara sengaja dipilih karena manfaatnya. Seperti halnya bipedalisme manusia yang memberikan keuntungan sekaligus kerugian, kecemasan akan kematian adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kecerdasan dan kesadaran kita terhadap bahaya.
Kecemasan akibat kepastian kematian berpotensi merusak fungsi adaptif manusia, sehingga memerlukan pengelolaan. TMT menyatakan bahwa umat manusia menggunakan kemampuan intelektual yang sama, yang menciptakan masalah ini, untuk membentuk kepercayaan dan nilai-nilai budaya yang memberikan perlindungan terhadap potensi kecemasan tersebut. TMT menunjukkan bahwa kepercayaan budaya ini (bahkan yang tidak menyenangkan dan menakutkan, seperti pengorbann manusia dalam ritual) membantu mengelola kecemasan terhadap kematian dengan cara yang mendorong keyakinan dan perilaku yang mendukung keberlangsungan dan fungsi kelompok.
Manusia pemburu-pengumpul menggunakan kemampuan kognitif mereka yang berkembang untuk memecahkan masalah praktis, seperti memenuhi kebutuhn dasar akan makanan, reproduksi, dan pembuatan alat. Seiring dengan berkembangnya kemampuan ini, kesadaran eksplisit akan kematian juga muncul. Namun, begitu kesadaran ini berkembang, potensi takut yang ditimbulkannya memberikan tekanan pada konsepsi awal tentang realitas. Setiap konsep yang ingin diterima secara luas oleh kelompok harus mampu mengelola rasa takut tersebut.
Pada awalnya, moralitas berkembang untuk memfasilitasi keberlangsungan hidup dalam kelompok. Bersama dengan bahasa, moralitas memiliki fungsi pragmatis yang memperpanjang kehidupan. Namun, perjuangan untuk menyangkal kepastian kematian memanfaatkan dan mengubah fungsi dari penemuan budaya ini. Sebagai contoh, Neanderthal mungkin mulai mengubur jenazah untuk menghindari bau tidak sedap, parasit membawa penyakit, atau ancaman dari pemangsa berbahaya. Namun, selama era Paleolitik Atas, praktik penguburan yang pragmatis ini tampaknya dipenuhi dengan lapisan ritual dan kepercayaan supernatural, yang ditunjukkan melalui dekorasi tubuh yang rumit dengan ribuan manik-manik atau penanda lainnya. Makanan dan kebutuhan lain juga dimasukkan ke dalam ruang pemakaman, yang menunjukkan adanya potensi sistem kepercayaan yang mencakup kehidupan setelah kematian. Banyak budaya manusia saat ini memperlakukan pemakaman sebagai acara budaya yang terutama dilihat melalui lensa moralitas dan bahasa, tanpa banyak memikirkan asal-uul praktis dari penguburan jenazah.
Sejarah evolusi menunjukkan bahwa "biaya mengabaikan ancaman lebih besar daripada biaya mengabaikan peluang untuk pengembangan diri."[10] Hal ini memperkuat konsep bahwa kebutuhan abstrak akan harga diri individu dan kelompok mungkin terus dipilih oleh evolusi, meskipun kadang-kadang membawa risiko terhadap kesehatan fisik dan kesejahteraan.
Harga diri dan eksistensi manusia
[sunting | sunting sumber]Harga diri menjadi inti dari Teori Manajemen Teror (TMT) dan merupakan aspek fundamental dalam paradigma utamanya. TMT secara mendasar berupaya menjelaskan penyebab dan akibat dari kebutuhan akan harga diri. TMT tidak hanya mencoba menjelaskan konsep harga diri tetapi juga alasan mengapa manusia membutuhkannya.
Menurut Alfred Adler, inti dari masalah penyakit mental terletak pada rendahnya harga diri seseorang. Krisis harga diri ini mencapai puncaknya ketika seorang meragukan kemampuan untuk melampaui keterbatasan dirinya dan takdirnya, terutama dalam keraguan terhadap keabadian dan makna hidupnya yang abadi. Pada saat ini, individu merasa kehilangan keyakinan bahwa keberadaannya memiliki nilai kosmik yang mendalam. Dalam kondisi seperti itu, penyakit mental dapat dilihat sebagai manifestasi dari keterpurukan manusia dalam menghadapi dan menolak fakta fundamental tentang keterciptaannya sebagai makhluk yang terbatas. Dari sudut pandang ini, penyakit mental mencerminkan konflik eksistensial yang mendalam antara keinginan manusia untuk mencapai makna yang lebih tinggi dan keterbatasannya sebagai bagian dari realitas yang fana.[11]
Manusia, sebagai makhluk yang kompleks, seringkali mengelola ketakutannya dengan cara yang sangat terstruktur, terutama ketakutan yang berkaitan dengan harga diri, cinta, dan rasa hormat terhadap diri sendiri. Ketakutan ini berfungsi sebagai perlindungan terhadap integritas psikologis, karena kita cenderung merasa terancam oleh pengetahuan yang dapat merendahkan kita atau membuah kita merasa inferior, lemah, atau tidak bernilai. Sebagai contoh, kesadaran akan kematian dapat menciptakan kecemasan mendalam tentang ketidakberdayaan kita terhadap kehancuran fisik, sehingga manusia memanajemen teror ini dengan menekan atau menghindari pemikiran tersebut. Hal ini memungkinkan kita untuk mempertahankan rasa percaya diri dalam dunia yang tampak penuh ketidakpastian dan kompleksitas yang sulit dipahami.
Berbeda dengan binatang-binatang yang lebih rendah, yang dilindungi oleh insting dan persepsi yang sudah terprogram, manusia tidak dilengkapi dengan pertahanan persepsi yang lengkap terhadap dunia luar. Insting pada hewan bertindak sebagai sebuah program yang sederhana, memandu mereka melalui dunia yang terbatas dengan tujuang kelangsungan hidup mereka. Namun, manusia diciptakan dengan kemampuan untuk melampaui batasan-batasan tersebut. Mereka dapat menjelajah ke dalam dunia batin yang jauh lebih luas, mencakup masa lalu, masa depan, dan bahkan berbagai dimensi yang tidak dapat dirasakan oleh hewan. Manusia dapat merenungkan kematian, mengimajinasikan peristiwa yang terjadi milaran tahun lau, atau merancang masa depan yang tak terjangkau. Beban pengalaman eksistensial ini adalah sesuatu yang sangat mengerikan dan membuat manusia merasa terpisah dari dunia yang lebih sederhana yang ditemui oleh hewan.
Keberadaaan manusia terasa lebih rumit karena mereka harus mempertanyakan tubuh dan batin mereka sendiri. Tubuh manusia bukanlah sesuatu yang diterima begitu saja, melainkan sering kali dipandang sebagai masalah yang harus dijelaskan. Manusia tidak hanya merasa asing terhadap tubuhnya, tetapi juga terhadap dunia batin mereka, ingatan, dan mimpi. Mereka tidak sepenuhnya memahami siapa diri mereka, mengapa mereka dilahirkan, atau apa tujuan mereka di dunia ini. Keberadaan mereka menjadi misteri yang terus-menerus diteliti dan dipertanyakan. Seperti yang diungkapkan oleh Abraham Maslow, ada dualitas dalam diri manusia—mereka adalah makhluk ilahi dan juga makhluk yang sangat terbatas, yang menghadapi kecemasan dan kebingungan terkait dengan esensi eksistensial mereka. Becker bahkan menyebut manusia sebagai "tuhan dengan anus", mencerminkan paradoks yang ada dalam diri manusi: keinginan untuk menggapai yang agung sekaligus takut dengan kenyataan keberadaan mereka yang terbatas.
Situasi ini menciptakan ambivalensi yang mendalam dalam diri manusia, di mana mereka terpesona oleh potensi besar yang mereka miliki, namun pada saat yang sama, merasa ngeri dengan ketidaktahuan tentang diri mereka sendiri dan dunia yang lebih besar. Ketakutan akan ketidakberdayaan terhadap kematian dan pencarian untuk mengerti eksistensi mereka menambah beaban psikologis yang mereka tanggung. Ketakutan ini, meskipun tampaknya membatasi dan megekang, juga berfungsi sebagai pelindung yang menjaga harga diri mereka dan memberi mereka rasa aman dalam dunia yang penuh ketidakpastian. Namus, kenyataan bahwa manusia tidak dapat menghindar dari pertanyaan besar tentang eksistensi merka, meskipun dibalut dengan ilusi perlindungan ini, terus menjadi sumber kecemasan yang tak terelakkan.[12]
Kritik terhadap Teori Manajemen Teror (TMT)
[sunting | sunting sumber]Teori manajemen teror (TMT) telah menghadapi kritik dari berbagai sudut pandang, yaitu:[13]
- Penekanan rasa takut dan kecemasan dianggap tidak masuk akal dari sudut pandang evolusi
- Respon psikologis terhadap ancaman yang menakutkan lebih baik dijelaskan melalui psikologi kelompok dan teori pertahanan kolektif
- Respon tersebut dapat dijelaskan sebagai rasa takut akan ketidakpastian dan hal-hal yang tidak diketahui.
- Respon tersebut juga dapat dijelaskan sebagai pencarian makna hidup dan kematian.
- Hasil eksperimen yang mendukung TMT sulit untuk direplikasi.
Argumen evolusi
[sunting | sunting sumber]Rasa takut dan kecemasan adalah respon psikologis yang berevolusi untuk membantu manusia menghindari bahaya. Mekanisme yang menekan rasa takut dan kecemasan, seperti yang diasumsikan dalam TMT, dianggap tidak mungkin berevolusi karena justru akan mengurangi peluang untuk bertahan hidup.[14]
Beberapa kritikus menyatakan bahwa TMT terlalu bergantung pada asumsi yang keliru tentang sifat dasar manusia yang berevolusi, yang berasal dari teori psikoanalisis.
Pendukung TMT berpendapat bahwa harga diri budaya yang melawan kecemasan akan kematian adalah hasil sampingan (spandrel atau eksaptasi) dari naluri bertahan hidup manusia yang dipengaruhi oleh kesadaran akan kematian yang muncul karena peningkatan kecerdasan. Menurut mereka, TMT tidak menekan respons terhadap bahaya langsung, melainkan mengatasi pengingat eksistensial tentang kematian.
Pendekatan ini dikenal sebagai "model pertahanan ganda", dimana pertahanan "proksimal" (dekat) dan "distal" (jauh) menghadapi ancaman dengan cara berbeda. Pertahanan proksimal lebih bersifat pragmatis karena melibatkan kesadaran yang lebih besar, sedangkan pertahanan distal lebih bersifat simbolis karena melibatkan pikiran bawah sadar.[13]
Namun, para kritikus berpendapat bahwa respons psikologis yang diamati tidak hanya dipicu oleh ancaman kematian, tetapi juga oleh ancaman bahaya atau rasa tidak aman secara umum.[14]
Psikologi koalisi dan pertahanan kolektif sebagai penjelasan alternatif
[sunting | sunting sumber]Teori Manajemen Teror (TMT) berpendapat bahwa manusia merespons isyarat tentang kematian dengan memperkuat pandangan dunia bersama. Namun, kritik menyatakan bahwa pertahanan terhadap pandangan dunia ini lebih baik dijelaskan melalui psikologi koalisi. Ketika menghadapi bahaya, manusia cenderung membangun pandangan dunia bersama dan orientasi yang mendukung norma untuk mendapatkan dukungan sosial serta membentuk koalisi dan aliansi.[14][15]
Pendukung TMT berargumen bahwa teori psikologi koalisi terlalu sederhana karena;
- Tidak dapat menjelaskan fakta bahwa hampir semua budaya memiliki dimensi supernatural.
- Tidak menjelaskan mengapa pandangan dunia budaya bersifat simbolis, melibatkan kesetiaan pada sistem makna abstrak tertentu maupun umum yang tidak terkait langsung dengan ancaman spesifik, alih-alih hanya berfokus pada ancaman adaptif spesifik yang diklaim menjadi asal-usul teori ini.
- Mengabaikan penjelasan TMT tentang proses ganda yang mendasari efek Mortality Salience (kesadaran akan kematian) tanpa menawarkan alternatif atau mencoba menjelaskan data yang relevan dengan analisi TMT.[13]
Teori psikologi koalisi didukung oleh penelitian statistik berskala besar yang menemukan bahwa konservatisme, tradisionalisme, dan respons lainnya yang dijelaskan oleh teori TMT terkait dengan bahaya kolektif, sementara bahaya individu memiliki efek yang sangat berbeda, bahkan sering kali bertentangan. Hubungan yang teramati dengan bahaya kolektif ini mendukung teori psikologi koalisi, tetapi bertentangan dengan interpretasi TMT, yang dianggap hanya secara eksplisit menangani bahaya individu.[16]
Kesetiaan terhadap sistem makna abstrak, baik yang spesifik maupun umum, seringkali tidak berhubungan langsung dengan ancaman tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa respons manusia tidak selalu berfokus pada ancaman adaptif spesifik yang seharusnya menjadi alasan evolusi respons tersebut. Kritik lain terhadap Teori Manajemen Teror (TMT) adalah pengabaian pada model proses ganda yang menjelaskan efek MS (Mortalily Salience) tanpa memberikan alternatif yang jelas atau mencoba menjelaskan data yang relevan.
Teori koalisi didukung oleh studi statistik besar yang menemukan bahwa konservatisme, tradisionalisme, dan respons lain yang digambarkan oleh TMT berhubungan dengan bahaya kolektif, sedangkan bahaya individu memiliki efek yang sangat berbeda dan seringkali bertolak belakang. Hubungan ini mendukung teori koalisi, sekaligus bertentangan dengan interpretasi TMT, yang dipahami hanya berurusan dengan bahaya individu.
Para teoretikus TMT telah menjelaskan bahwa teori koalisi mengabaikan model proses ganda TMT yang diperlihatkan dalam studi laboratorium. Dalam model ini, pertahanan proksimal dan distal menangani ancaman dengan cara berbeda:
- Pertahanan proksimal menangani ancaman secara lebih pragmatis melalui kesadaran yang lebih besar
- Pertahanan distal menangani ancaman secara lebih simbolis melalui proses pikiran bawah sadar.
Model ini mejelaskan perbedaan antara bahaya individu (lebih bersifat proksimal) dan bahaya kolektif (lebih bersifat distal)[17]
Temuan eksperimental sebelumnya dapat dijelaskan oleh fakta bahwa bahaya individu dan bahaya kolektif seringkali bercampur. Temuan bahwa respons yang diamati lebih berhubungan dengan bahaya kolektif daripada bahaya individu diprediksi oleh teori regality. Temuan ini sejalan dengan teori otoritarianisme, teori konflik kelompok realistis, dan teori modernisasi Ronald Inglehart, tetapi bertentangan dengan interpretasi TMT yang mengabaikan model pertahanan ganda distal/proksimal.[16]
Prevalensi kematian
[sunting | sunting sumber]Sejak hasil penelitian tentang mortality salience (kesadaran akan kematian) dan pertahanan pandangan dunia pertama kali dipublikasikan, beberapa penelti berpendapat bahwa efek yang diamati mungkin disebabkan oleh faktor lain selain kematian itu sendiri, seperti kecemasan, ketakutan, atau rangsangan negatif lainnya seperti rasa sakit. Manipulasi eksperimental dalam penelitian TMT kemungkinan memicu campuran berbagai jenis emosi negatif, termasuk ketakutan, kecemasan, kesedihan, dan kemarahan.[18]
Studi lain menemukan efek yang mirip dengan yang dihasilkan oleh mortality salience. Contohnya termasuk berpikir tentang pilihan pribadi yang sulit, menjawab pertanyaan terbuka tentang ketidakpastian, memikirkan perampokan, merasa terisolasi secara sosial, atau diberitahu bahwa hidup seseorang tidak memiliki makna. Dalam eksperimen kontrol, pikiran tentang kematian dibandingkan dengan situasi aversif lainnya, seperti: kegagalan menghadapi ujian penting, berbicara di depan umum dengan audiens besar, dikeluarkan dari kelompok, kelumpuhan, nyeri gigi, atau rasa sakit fisik yang intens.[13]
Teoris TMT berpendapat bahwa dalam kasus-kasus dimana kematian bukan subjek utama, pikiran tentang subjek tersebut tetap mudah dikaitkan dengan kematian melalui "hubungan linguistik atau pengalaman dengan mortalitas." Misalnya, menjadi korban perampokan dapat memicu pikiran tentang kekerasan dan ketidakamanan, karena banyak orang yang kehilangan nyawa saat mencoba melindungi properti atau keluarga mereka.
Penjelasan lain adalah hipotesis death-thought accessibility. dimana ancaman tertentu merusak aspek penting dari pandangan dunia atau harga diri seseorang yang berfungsi sebagai penyangga kecemasan, sehingga meningkatkan aksesibilitas pikiran tentang kematian. Sebagai contoh, satu studi menemukan peningkatan aksesibilitas pikiran tentang kematian ketika seseorang memikirkan hubungan yang antagonistik dengan figur keterikatan. Namun, fenomena ini membuat efek mortality salience sulit atau bahkan tidak mungkin diisolasi.[18]
Meskipun banyak teoris TMT mengklain bahwa respons afektif terhadap mortality salience ditekan dan dikeluarkan dari kesadaran, penelitian berikutnya menunjukkan sebaliknya. Respons afektif terhadap mortality salience ternyata dapat diamati secara jelas.[18]
Model pemeliharaan makna (meaning maintenance model/MMM)
[sunting | sunting sumber]Model pemeliharaan makna (MMM) awalnya diperkenalkan sebagai teori motivasi yang komprehesif, yang mengklaim mampu mencakup TMT dengan penjelasan alternatif atas temuan TMT. MMM berpendapat bahwa manusia secara otomatis memberikan makna pada segala sesuatu, dan ketika makna tersebut terganggu, hal ini memicu kecemasan. Sebagai respons, manusia berfokus pada "pemeliharaan makna untuk memulihkan rasa kesatuan simbolis mereka" yang sering melibatkan "peneguhan kompensatoris terhadap struktur makna alternatif."
Makna-makna ini, diantaranya, harus:
- Menyediakan dasar untuk memprediksi dan mengontrol lingkungan,
- Membantu seseorang mengatasi tragedi dan trauma,
- Memberikan simbolis "pengelabuan kematian" melalui keterikatan pada nilai abadi yang diberikan oleh budaya tersebut.
TMT menganggap pencarian makna sebagai mekanisme pertahanan, sedangkan teori manajemen makna menganggapnya sebagai motif utama karena manusia adalah makhluk yang mencari dan menciptakan makna dalam dunia penuh makna. Ketika seseorang dihadapkan pada mortality salience, baik TMT maupun MMM memprediksi peningkatan aktivitas yang mendukung budaya dan meningkatkan harga diri. Namun, alasannya berbeda:
- TMT menjelaskan ini sebagai bentuk penyangkalan terhadap kematian
- MMM mengarah pada penerimaan terhadap kematian
Teoritis TMT berpendapat bahwa MMM tidak menjelaskan mengapa berbagai orang memiliki preferensi pada makna yang berbeda, serta bagaimana berbagai jenis makna memiliki fungsi psikologis yang berbeda. Menurut teoris TMT, kecuali sesuatu merupakan elemen penting dari pandangan dunia atau harga diri seseorang yang berfungsi sebagai penyangga kecemasan, hal itu tidak akan memerlukan pemeliharaan makna yang luas.
Teoris TMT juga percaya bahwa MMM tidak dapat secara akurat mengklaim sebagai alternatif bagi TMT karena tidak mampu menjelaskan bukti-bukti luas yang mendukung TMT saat ini.
Pertahanan ofensif
[sunting | sunting sumber]Beberapa teoris berpendapat bahwa yang membuat orang tidak nyaman bukanlah gagasan tentang kematian atau ketiadaan, melainkan ketidakpastian yang terlibat didalamnya. Sebagai contoh, penelitian menunjukkan bahwa orang cenderung mengubah respons ketakutannya terhadap ketidakpastian menjadi pendekatan yang lebih antusias. Selain itu, peneliti lain membedakan antara ketakutan akan kematian dan ketakutan akan proses sekarat, dengan menyatakan bahwa ketakutan terhadap kematian seringkali berkaitan dengan ketakutan lain (misalnya, ketakutan akan rasa sakit) atau mencerminkan upaya menghindari ketidakpastian atau ketakutan terhadap hal yang tidak diketahui.
Teori TMT setuju bahwa ketidakpastian bisa membuat seseorang tidak nyaman dan dapat memicu respons pertahanan. Namun, mereka berpendapat bahwa ketidakberdayaan menghadapi kematian akan kemungkinan bahwa kematian adalah akhir dari keberadaan seseorang adalah hal yang paling mengganggu. Mereka juga mencatat bahwa manusia sebenarnya mencari beberapa bentuk ketidakpastian, dan ketidakpastian tidak selalu dianggap tidak menyenangkan.
Sebaliknya, ada bukti yang menunjukkan secara umum, ketidakpastian dan hal yang tidak diketahui merupakan ketakutan mendasar, kecuali jika ada cukup ketidakpastian kontekstual. Misalnya, kejutan (surprise) melibatkan ketidakpastian tetapihanya dianggap menyenangkan jika ada kepastian bahwa kejutan tersebut akan positif.
Meskipunn teoris TMT mengakui bahwa respons terhadap mortality salience seringkali melibatkan pendekatan yang lebih bersemangat terhadap pandangan dunia yang dianggap penting, mereka juga mencatat bahwa ada kasus mortality salience yang menghasilkan efek sebaliknya, yang tidak dapat dijelaskan oleh konsep pertahanan ofensif. Sebagai contoh, keika fitur negatif dari kelompok yang diidentifikasi oleh peserta dibuat menonjo, orang justru menjauhkan diri dari kelompok tersebut dalam konteks mortality salience.
Kegagalan replikasi
[sunting | sunting sumber]Selain kritik dari perspektif teoritis alternatif, upaya skala besar oleh Many Labs 4 untuk mereplikasi temuan yang dipublikasikan gagal mereplikasi efek mortality salience terhadap pertahanan pandangan dunia dalam kondisi apa pun. Penelitian ini merupakan replikasi multi-laboratorium dari Studi 1 oleh Greenberg et al. (1994). Dalam eksperimen ini, psikolog dari 21 laboratorium di seluruh Amerika Serikat melibatkan total 2.200 partisipan.
Sebagai tanggapan terhadap makalah Many Labs 4, Tom Pyszczynski, salah satu psikolog pendiri TMT, mengkritik penelitian tersebut karena:
- Ukuran sampel yang dianggap tidak memadai,
- Kegagalan mengikuti saran dari para peneliti asli,
- Penyimpangan dari protokol yang telah terdaftar sebelumnya.
Popularitas
[sunting | sunting sumber]Psikolog Yoel Inbar menjelaskan popularitas teori ini dalam satu periode tertentu:
"Saya tidak bisa menjelaskan kepada orang-orang yang tidak ada pada masa itu—sekitar tahun 2004 hingga 2008—betapa segalanya pada waktu itu berpusat pada teori manajemen teror. Ketika menghadiri konferensi SPSP, tampaknya separuh poster yang dipajang membahas tentang TMT. Teori ini benar-benar ada di mana-mana. Ada ledakan besar-besaran topik terkait teori ini. Namun, kemudian teori ini mulai meredup. Kini, anda hampir tidak melihatnya lagi. Itu juga aneh. Kami sangat terobsesi dengan teori ini selama 3-5 tahun, lalu kami berpindah ke hal lain." | |
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]- Teori gangguan penyangga kecemasan – Aplikasi teori manajemen teror
- Disonansi kognitif – Stres akibat kontradiksi antara keyakinan dan tindakan
- Kecemasan kematian – Kecemasan yang disebabkan oleh pikiran tentang kematian
- Pelarian dari Kematian – film dokumenter berdasarkan karya Ernest Becker dan teori manajemen teror
- Keunggulan mortalitas – Kesadaran tentang kematian
- Nekrofobia – Ketakutan terhadap organisme yang mati
- Memento mori – Pengingat artistik atau simbolis tentang keniscayaan kematian
- Teori motivasi perlindungan
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b Greenberg, J.; Pyszczynski, T.; Solomon, S. (1986). "The causes and consequences of a need for self-esteem: A terror management theory". Dalam R. F. Baumeister. Public Self and Private Self. New York: Springer-Verlag. hlm. 189–212.
- ^ a b Solomon, S.; Greenberg, J.; Pyszczynski, T. (1991). "A terror management theory of social behavior: The psychological functions of self-esteem and cultural worldviews". Advances in Experimental Social Psychology. 24 (93): 159.
- ^ Jonas, E.; Fischer, P. (2006). "Terror management and religion: evidence that intrinsic religiousness mitigates worldview defense following mortality salience". Journal of Personality and Social Psychology. 91 (3): 553–567. doi:10.1037/0022-3514.91.3.553. PMID 16938037.
- ^ Solomon, S.; Pyszczynski, T.; Greenberg, J. (2015). The Worm at the Core: On the Role of Death in Life. Random House.
- ^ "Terror Management Theory – Ernest Becker Foundation". ernestbecker.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-01-21.
- ^ Arrowood, Robert B.; Pope, J. Brian (2014). "Terror management theory: A theoretical perspective on origination, maintenance, and research".
- ^ Becker, Ernest (Mei 2024). The Denial of Death (Penyangkalan Terhadap Kematian). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. XV. ISBN 9786231341952.
- ^ Becker, Ernest (Mei 2024). The Denial of Death (Penyangkalah Terhadap Kematian). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. XXI s/d XXIII. ISBN 978-623-134-195-2.
- ^ Landau, M. J.; Solomon, S.; Pyszczynski, T.; Greenberg, J. (2007). "On the compatibility of terror management theory and perspectives on human evolution" (PDF). Evolutionary Psychology. 5 (3): 476–519. doi:10.1177/147470490700500303
- ^ Koole, Sander L.; van den Berg, Agnes E. (2004). "Paradise Lost and Reclaimed". In Greenberg, Jeff; Koole, Sander L.; Pyszczynski, Tom (eds.). Handbook Of Experimental Existential Psychology. New York: Guilford Press. p. 91. ISBN 978-1-59385-040-1 . diakses kembali 2013-08-18.
- ^ Becker, Ernest (2024). The Denial of Death (Penyangkalan Terhadap Kematian). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 319. ISBN 978-623-134-195-2.
- ^ Becker, Ernest (2024). The Denial of Death (Penyangkalan Terhadap Kematian). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 83–85. ISBN 978-623-134-195-2.
- ^ a b c d Pyszczynski, T.; Greenberg, J.; Solomon, S.; Maxfield, M. (2006). "On the unique psychological import of the human awareness of mortality: Theme and variations". Psychological Inquiry. 17 (4): 328–356. doi:10.1080/10478400701369542. S2CID 143508018.
- ^ a b c Kirkpatrick, Lee; Carlos David Navarrete (2006). "Reports of My Death Anxiety Have Been Greatly Exaggerated: A Critique of Terror Management Theory from an Evolutionary Perspective". Psychological Inquiry. 17 (4): 288–298. CiteSeerX 10.1.1.574.4267. doi:10.1080/10478400701366969. S2CID 144262438.
- ^ Navarrete, D.C.; Fessler, D.M.T. (2005). "Normative bias and adaptive challenges: A relational approach to coalitional psychology and a critique of terror management theory". Evolutionary Psychology. 3: 297–325.
- ^ a b Fog, Agner (2023). "Psychological and cultural effects of different kinds of danger. An exploration based on survey data from 79 countries". Culture and Evolution. 20: 77–98. doi:10.1556/2055.2023.00029. S2CID 257998766.
- ^ Ullrich, Johannes; Cohrs, J. Christopher (2007). "Terrorism salience increases system justification: Experimental evidence". Social Justice Research. 20 (2): 117–139. doi:10.1007/s11211-007-0035-y. S2CID 145734264.
- ^ a b c Lambert, A. J.; et al. (2014). "Toward a greater understanding of the emotional dynamics of the mortality salience manipulation: Revisiting the "affect-free" claim of terror management research". Journal of Personality and Social Psychology. 106 (5): 655–678. doi:10.1037/a0036353. PMID 24749817.
Bibliografi
[sunting | sunting sumber]- (Inggris) Becker, Ernest (1973). The Denial of Death, The Free Press. ISBN 0-02-902380-7
- (Inggris) Pyszczynski, Thomas; Solomon, Sheldon; Greenberg, Jeff (2003). In the Wake of 9/11: The Psychology of Terror, American Psychological Association. ISBN 1-55798-954-0
- (Inggris) Solomon, Sheldon, Greenberg, J. & Pyszczynski, T. (1991) "A terror management theory of social behavior: The psychological functions of esteem and cultural worldviews", in M. P. Zanna (Ed.) Advances in Experimental Social Psychology, Volume 24, Academic Press, pp. 93–159. ISBN 0-12-015224-X
Bacaan lanjutan
[sunting | sunting sumber]- (Inggris) Curtis, V.; Biran, A. (2001). "Dirt, disgust, and disease: Is hygiene in our genes?". Perspectives in Biology and Medicine. 44 (1): 17–31. CiteSeerX 10.1.1.324.760 . doi:10.1353/pbm.2001.0001. PMID 11253302.
- (Inggris) Darwin, C. (1998) [1872]. The expression of the emotions in man and animals (edisi ke-3rd). London: Harper Collins.
- (Inggris) Florian, V.; Mikulincer, M. (1997). "Fear of death and the judgment of social transgressions: a multidimensional test of terror". Journal of Personality and Social Psychology. 73 (2): 369–80. doi:10.1037/0022-3514.73.2.369. ISSN 0022-3514. PMID 9248054.
- (Inggris) Goldenberg, J.L.; Pyszczynski, T.; Greenberg, J.; Solomon, S.; Kluck, B.; Cornwell, R. (2001). "I am not an animal: Mortality salience, disgust, and the denial of human creatureliness". Journal of Experimental Psychology. 130 (3): 427–435. doi:10.1037/0096-3445.130.3.427. PMID 11561918.
- (Inggris) Greenberg, J.; Pyszczynski, T.; Solomon, S.; Rosenblatt, A.; Veeder, M.; Kirkland, S. (1990). "Evidence for terror management theory. II: The effects of mortality salience on reactions to those who threaten or bolster the cultural worldview" (Fee required). Journal of Personality and Social Psychology. 58 (2): 308–318. CiteSeerX 10.1.1.454.2378 . doi:10.1037/0022-3514.58.2.308. ISSN 0022-3514. 13817, 35400000600727.0100 (INIST-CNRS). Diakses tanggal 2007-07-27.
- (Inggris) Greenberg, J.; Solomon, S.; Pyszczynski, T. (1997). "Terror management theory of self-esteem and cultural worldviews: Empirical assessments and conceptual refinements". Advances in Experimental Social Psychology. 29 (S 61): 139. doi:10.1016/s0065-2601(08)60016-7.
- (Inggris) Hansen, J; Winzeler, S; Topolinski, S (2010). "When death makes you smoke: a terror management perspective on the effectiveness of cigarette on-pack warnings". Journal of Experimental Social Psychology. 46: 226–228. doi:10.1016/j.jesp.2009.09.007.
- (Inggris) Hirschberger, G.; Florian, V.; Mikulincer, M. (2003). "Striving for romantic intimacy following partner complaint or partner criticism: A terror management perspective". Journal of Social and Personal Relationships. 20 (5): 675–687. doi:10.1177/02654075030205006.
- (Inggris) Judis, J.B. (August 27, 2007). "Death grip: How political psychology explains Bush's ghastly success". New Republic.
- (Inggris) Lazarus, R.S. (1991). Emotion and adaptation. New York: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-506994-5.
- (Inggris) Mikulincer, M.; Florian, V.; Hirschberger, G. (2003). "The existential function of close relationships: Introducing death into the science of love". Personality and Social Psychology Review. 7 (1): 20–40. doi:10.1207/S15327957PSPR0701_2. PMID 12584055.
- (Inggris) Pyszczynski, T.; Greenberg, J.; Solomon, S. (1997). "Why do we need what we need? A terror management perspective on the roots of human social motivation". Psychological Inquiry. 8 (1): 1–20. doi:10.1207/s15327965pli0801_1.
- Pyszczynski, T.; Greenberg, J.; Solomon, S. (1999). "A dual process model of defense against conscious and unconscious death-related thoughts: An extension of terror management theory". Psychological Review. 106 (4): 835–845. doi:10.1037/0033-295X.106.4.835. PMID 10560330.
- Rosenblatt, A.; Greenberg, J.; Solomon, S.; Pyszczynski, T.; Lyon, D. (1989). "Evidence for terror management theory: I. The effects of mortality salience on reactions to those who violate or uphold cultural values". Journal of Personality and Social Psychology. 57 (4): 681–90. CiteSeerX 10.1.1.457.5862 . doi:10.1037/0022-3514.57.4.681. ISSN 0022-3514. PMID 2795438.
- Royzman, E.B.; Sabini, J. (2001). "Something it takes to be an emotion: The interesting case of disgust". Journal for the Theory of Social Behaviour. 31 (1): 29–59. doi:10.1111/1468-5914.00145.
- Shehryar, O.; Hunt, D.M. (2005). "A terror management perspective on the persuasiveness of fear appeals". Journal of Consumer Psychology. 15 (4): 275–287. doi:10.1207/s15327663jcp1504_2.
- Simon, L.; Arndt, J.; Greenberg, J.; Pyszczynski, T.; Solomon, S. (1998). "Terror management and meaning: Evidence that the opportunity to defend the worldview in response to mortality salience increases the meaningfulness of life in the mildly depressed". Journal of Personality. 66 (3359–382): 359–382. doi:10.1111/1467-6494.00016. hdl:10150/187250 . PMID 9615422.
- Simon, L.; Greenberg, J.; Harmon-Jones, E.; Solomon, S.; Pyszczynski, T.; Arndt, J.; Abend, T. (1997). "Terror management and Cognitive-Experiential Self-Theory: Evidence that terror management occurs in the experiential system". Journal of Personality and Social Psychology. 72 (5): 1132–1146. doi:10.1037/0022-3514.72.5.1132. PMID 9150588.
- Greenberg, J.; Koole, S. L.; Pyszczynski, T. (2004). Handbook of experimental existential psychology. Guilford Press. ISBN 978-1-59385-040-1.
- (Inggris) Cohen, Florette; Solomon, Sheldon; Maxfield, Molly; Pyszczynski, Tom; Greenberg, Jeff (2004). "Fatal Attraction". Psychological Science. SAGE Publications. 15 (12): 846–851. doi:10.1111/j.0956-7976.2004.00765.x. ISSN 0956-7976. PMID 15563330.
- (Inggris) Van Tilburg, W. A. P.; Igou, E. R (2011). "On the meaningfulness of existence: When life salience boosts adherence to worldviews". European Journal of Social Psychology (Submitted manuscript). 41 (6): 740–750. doi:10.1002/ejsp.819. hdl:10344/5416 .
- (Inggris) Gutierrez, C. (2006). "Consumer attraction to luxury brand products: Social affiliation in terror management theory".
Membahas TMT secara panjang lebar
- (Inggris) Griffin, R. (2007). Fascism & Modernism. New York: Palgrave Macmillan. ISBN 978-1-4039-8783-9.
TMT dan harga diri
- (Inggris) Schmeichel, B.J.; Gailliot, M.T.; Filardo, E.A.; McGregor, I.; Gitter, S.; Baumeister, R.F. (2009). "Terror management theory and self esteem revisited: The roles of implicit and explicit self-esteem in mortality salience effects". Journal of Personality and Social Psychology. 96 (5): 1077–1087. doi:10.1037/a0015091. PMID 19379037.