Terhimpit hendak di atas, terkurung hendak di luar
Terhimpit hendak di atas, terkurung hendak di luar adalah pameo dari bahasa Minang yang menggambarkan sikap seseorang yang galir. Ungkapan ini adalah bentuk paradoks semantik yang dikenal dalam peribahasa Minangkabau, yakni berupa pertentangan makna dan pernyataan yang tidak masuk akal.[1]
Budayawan A.A. Navis menjelaskan pameo ini mengajarkan agar setiap orang cerdik mengatasi persoalan yang sulit.[2][3] Maksudnya, orang hendaklah berusaha keluar dari kesulitan, berusaha sedapat-dapatnya lepas dari hukuman. Kalau hukuman itu harus dilaksanakan, berusahalah agar hukuman itu seringan-ringannya.[4]
Di sisi lain, ungkapan ini dapat dilihat sebagai pragmatisme orang Minang. Cendekiawan Ahmad Syafii Maarif menyebutnya sebagai bentuk kecerdikan sekaligus kelicikan. Pengalaman empiris manusia mengatakan bahwa orang yang terhimpit tentu di bawah, tidak mungkin di atas, terkurung pasti di dalam, tidak mungkin di luar. Namun, orang Minang dengan imajinasi kreatifnya membuyarkan pengalaman empiris tersebut.[5]
Pameo ini juga muncul bersama pemeo "berjalan berdua ingin di tengah, berjalan sendiri ingin dahulu".[6][7]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ T; Faruk H. T. (1999). Hilangnya pesona dunia: Sitti Nurbaya, budaya Minang, struktur sosial kolonial. Yayasan Untuk Indonesia. ISBN 978-979-8681-16-5.
- ^ A.A. Navis (1984). Alam terkembang jadi guru: adat dan kebudayaan Minangkabau. Grafiti Pers.
- ^ Sjafnir Abu Nain (2006). Sirih pinang adat Minangkabau: pengetahuan adat Minangkabau tematis. Sentra Budaya.
- ^ Edwar Djamaris (2002). Pengantar sastra rakyat Minangkabau. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 978-979-461-395-5.
- ^ Ahmad Syafii Maarif (2019). Menerobos Kemelut. IRCiSoD. ISBN 978-623-7378-17-4.
- ^ Yunus St. Majolelo (1981). Pepatah petitih Minangkabau. Mutiara.
- ^ Indo A. B. Dt Madjo (1999). Kato pusako: papatah, patitih, mamang, pantun ajaran, dan filsafat Minangkabau. Kerja sama Majelis Pembina Adat Alam Minangkabau dan PT Rora Karya.