Tidak berimbang
Tidak berimbang dalam konteks pemberitaan di media massa, adalah suatu keadaan di mana berita dibuat dengan narasi yang berat sebelah terhadap suatu pihak (tendensius), hanya mengangkat sudut pandang dari sebagian pihak dan cenderung membela kepentingan salah satu pihak yang terkait dengan peristiwa yang diberitakan, alih-alih berpihak pada fakta dan kepentingan publik.[1]
Faktor
[sunting | sunting sumber]Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakberimbangan media massa dalam memberitakan suatu peristiwa, antara lain yang pertama seperti kepemilikan perusahaan media. Kekuatan pemilik modal yang menguasai media begitu besar pengaruhnya terhadap netralitas dan independensi suatu media.[2] Kedua adalah afiliasi pemilik perusahaan media dengan partai politik.[2] Hal ini dapat mempengaruhi kebijakan media sampai kepada proses pembuatan konten yang ada didalamnya. Intervensinya akan jauh hingga pada memasukkan agenda politik mereka dalam produk media seperti berita atau siaran televisi.[2] Yang terakhir atau ketiga, yaitu lemahnya pengawasan yang bisa menyebabkan penyiaran tidak netral dan tidak berimbang.[2]
Pelanggaran KEJ
[sunting | sunting sumber]Konten berita yang isinya tidak berimbang merupakan pelanggaran bagi kode etik jurnalistik. Apalagi jika diperparah dengan menambahkan bumbu-bumbu opini serta asumsi dari penulis yang menyudutkan dan menghakimi (prasangka) sebelum adanya fakta yang terkonfirmasi dari suatu kasus atau peristiwa.[1] Dengan memberitakan suatu peristiwa atau kasus dengan cara tidak berimbang, itu berarti pihak media telah melanggar Pasal 1 dan 3 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang berbunyi "wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk" dan "wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah".[3]
Contoh kasus
[sunting | sunting sumber]Ketidakberimbangan Media Massa dalam Pilkada Jakarta 2012
[sunting | sunting sumber]Pada pelaksanaan Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta yang digelar pada Rabu, 11 Juli 2012[4] AJI (Aliansi Jurnalis Independen) melakukan riset mengenai independensi media dalam peliputan Pemilukada DKI Jakarta 2012. Terdapat tiga kali periode dilakukannya riset, dengan riset yang pertama dilakukan dari tanggal 1-15 Juni 2024.[5] Selama periode kedua riset, dilakukan analisis terhadap 1.322 berita yang berlangsung dari tanggal 16-30 Juni 2012. Riset tersebut merupakan penelitian dengan pendekatan kuantitatif yang menggunakan teknik analisis isi sederhana dalam menganalisis data yang berasal dari 16 sampel media. Ke-16 media itu, meliputi empat media online (Detik.com, Kompas.com, Vivanews, dan Okezone), empat media cetak nasional (Kompas, Koran Tempo, Republika, dan Suara Pembaruan), empat media cetak lokal (Pos Kota, Warta Kota, Indopos, dan Koran Jakarta), dan empat televisi (RCTI, MetroTV, TvOne, dan JakTV). Hasil riset kedua ini menunjukkan penulisan berita yang hanya menggunakan angle/sudut pandang penulisan satu sisi menjelang Pilkada DKI meningkat, dibandingkan periode pertama.[6]
Daftar referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b DEDY (2 November 2017). "Media Sering Membuat Berita Tak Berimbang dan Menghakimi". Dewan Pers. Diakses tanggal 10 Desember 2024.
- ^ a b c d RG (2023-05-19). "Media Penyiaran Harus Berimbang, Proposional dan Relevan". Komisi Penyiaran Indonesia (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-12-10.
- ^ "Apa itu Kode Etik Jurnalistik, Berikut 11 Pasal yang Wajib Digunakan Jurnalis". Tempo. 2023-11-05. Diakses tanggal 2024-12-10.
- ^ "11 Juli 2012, Pemilu DKI Jakarta - Metro Tempo.co". web.archive.org. 2024-09-03. Diakses tanggal 2024-12-10.
- ^ Khoirunisa, Siti (27 Juni 2012). "Berita Pilkada DKI di Media Banyak Yang Tak Berimbang". Kompas. Diakses tanggal 10 Desember 2024.
- ^ "11 Juli 2012, Pemilu DKI Jakarta - Metro Tempo.co". web.archive.org. 2024-09-03. Diakses tanggal 2024-12-10.