Visa haji
Visa haji adalah salah satu dokumen kelengkapan haji bagi jemaah haji. Kebijakan visa haji telah ditetapkan sejak masa Kesultanan Utsmaniyah. Kemudian dilanjutkan pemberiannya kepada jemaah haji yang bukan warga negara Arab Saudi. Penerbitannya dimulai sebulan sebelum hari-hari haji. Visa haji diterbitkan dengan persyaratan pemberkasan tertentu. Jumlahnya dibatasi hanya satu tiap seribu penduduk di satu negara.Pada tahun 1433 Hijriah, Pemerintah Arab Saudi menetapkan kebijakan E-Hajj yang membuat pelayanan penerbitan visa haji dilakukan secara elektronik. Pemerintah Arab Saudi menetapkan aturan khusus bagi visa haji untuk jemaah haji yang berasal dari Iran.
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Masa Kesultanan Utsmaniyah
[sunting | sunting sumber]Kesultanan Utsmaniyah menetapkan pemberian denda kepada jemaah haji yang tidak memiliki visa yang tidak disahkan oleh pemerintahannya. Pada tahun 1910, pemerintah Kesultanan Utsmaniyah menetapkan penyetoran sebanyak 20 piaster bagi jemaah haji tanpa paspor jalan yang di wilayah keberangkatannya tidak ada konsulat dari Kesultanan Utsmaniyah. Setoran ini diberikan kepada Kepala Biro Paspor di Jeddah. Sementara jemaah haji yang di daerahnya ada konsulat namun tidak diberi visa ataupun tidak mengesahkan paspor maka didenda sebanyak 40 piaster. Namun Pemerintah Kesultanan Utsmaniyah menggunakan uang denda yang telah dikumpulkan dari jemaah haji tersebut untuk perbaikan dan pemeliharaan air di Jeddah. Meskipun sebelumnya telah diadakan perundingan di Konstantinopel untuk mengembalikan uang denda tersebut kepada jemaah haji.[1]
Fungsi
[sunting | sunting sumber]Visa haji merupakan salah satu dokumen kelengkapan yang harus dipenuhi oleh jemaah haji agar dapat melaksanakan haji.[2] Fungsi visa haji untuk melaksanakan haji di wilayah negara Arab Saudi. Fungsi dasarnya sama dengan visa lainnya, yaitu sebagai syarat agar dapat memasuki wilayah Arab saudi.
Penerbitan
[sunting | sunting sumber]Persyaratan penerbitan
[sunting | sunting sumber]Sejak tahun 2002, Kementerian Kerajaan Arab Saudi menetapkan vaksinasi meningitis meningokokus sebagai syarat pkok pemberian visa haji. Persyaratan ini diwajibkan atas semua negara yang mengirimkan jemaah hajinya ke Arab Saudi.[3]
Waktu penerbitan
[sunting | sunting sumber]Penerbitan visa haji diadakan oleh Konsulat Arab Saudi. Waktu penerbitannya dimulai sebulan sebelum dimulainya hari-hari haji. Visa haji yang paling teakhir diterbitkan adalah tanggal 25 Zulkaidah tiap tahunnya.[4]
Tahapan penerbitan
[sunting | sunting sumber]Penerbitan visa haji untuk jemaah haji lebih rumit dibandingkan dengan visa ziarah. Kerumitannya berkaitan dengan persyaratan pemberkasan.[5] Penerbitan visa haji dalam sistem E-Hajj melalui beberapa tahapan. Tahapan awalnya adala penunjukan penanggung jawab yang tugasnya melakukan aktivasi visa haji. Kemudian dilanjutkan ke tahap penyiapan biaya jaminan pelayanan visa haji. Lalu dilanjutkan dengan pelaksanaan kontrak dan penetapan paket pelayanan. Setelah itu, barulah visa haji diterbitkan.[6]
Pembatasan penerbitan
[sunting | sunting sumber]Visa haji merupakan visa yang paling banyak diterbitkan di Arab Saudi. Namun karena keterbatasan kapasitas Masjidil Haram dan Kota Makkah dalam penyediaan infrastruktur, maka jumlah penerima visa haji dibatasi tiap tahunnya.[4] Ketentuan pemberian visa haji adalah sistem kuota dengan tiap seribu penduduk dari satu negara asal jemaah haji hanya memperoleh satu visa haji.[7]
Pengelolaan
[sunting | sunting sumber]Sistem E-Hajj
[sunting | sunting sumber]Pemerintah Arab Saudi menetapkan kebijakan E-Hajj yang membahas penetapan pengubahan seluruh transaksi pelayanan manual menjadi pelayanan secara elektronik.[6] Kebijakan ini ditetapkan dalam Keputusan Dewan Menteri No. 386 Tanggal 22 Dzulhijjah 1433 Hijriah Tentang Persetujuan Proyek Pendirian Jalur Elektronik Untuk Pelayanan Jemaah Haji Luar.[8] Dalam sistem E-Hajj, kelengkapan paket pelayanan haji menentukan isi dari visa haji yang diterbitkan. Pelayanan ini meliputi perumahan, katering dan transportasi. Penetapan pelayanan ini dilakukan ketika jemaah haji masih berada di negaranya masing-masing. Kebijakan ini membuat jemaah haji telah mengetahui informasi mengenai semua pelayanan yang akan diterimanya sebelum keberangkatan haji. Pihak pengawasan visa haji juga dipermudah dalam pengecekan kesesuaian data pelayanan jemaah haji karena tercatat dalam sistem elektronik. Kebijakan ini bertujuan mengurangi pelanggaran dalam pemberian layanan bagi jemaah haji.[6]
Aturan khusus
[sunting | sunting sumber]Penerbitan visa haji memiliki pengecualian dari Pemerintah Arab Saudi atas jemaah haji dari negara Iran. Kedua ini telah memutuskan hubungan diplomatik sehingga aturan penerbitan visa harus mengikuti aturan internasional. Dalam aturan internasional, visa harus diterbitkan oleh negara lain sebagai pihak ketiga. Pemerintah Arab Saudi menyetujui hal ini. Namun, Pemerintah Iran menginginkan agar visa haji hanya diterbitkan oleh Kedutaan Swiss di Teheran. Pemerintah Iran menolak penerbitan visa haji oleh warga negaranya dengan cara pergi ke negara lain.[9]
Referensi
[sunting | sunting sumber]Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ Putuhena, M. Shaleh (2012). Fathorrahman dan Mustari, ed. Historiografi Haji Indonesia. Yogyakarta: LKis Yogyakarta. hlm. 213. ISBN 978-979-255-264-5.
- ^ Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (2020). Tuntunan Manasik Haji dan Umroh (PDF). Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia. hlm. 6.
- ^ Pratiwi, Puji (2020). Dzawafi, Agus Ali, ed. Dinamika Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Aborsi dan Penggunaan Vaksin Meningitis dalam Merespons Perubahan Sosial. Serang: Penerbit A-Empat. hlm. 8. ISBN 978-602-0846-60-6.
- ^ a b Amhar, Fahmi (1997). Buku Pintar Calon Haji. Depok: Gema Insani. hlm. 154. ISBN 979-561-391-X.
- ^ Kusumaningtyas, Menur (2019). "Haji Backpacker: Peluang dan Tantangan". MALIA: Jurnal Ekonomi Islam. 11 (1): 42. ISSN 2477-8338.
- ^ a b c Hamid 2020, hlm. 130.
- ^ Murad Wilfred, Hoffman (2000). Jalan Menuju Mekah. Jakarta: Gema Insani Press. hlm. 34. ISBN 979-561-648-X.
- ^ Hamid 2020, hlm. 129.
- ^ Redjosari, Slamet Muliono (2020). Islam dan Stigma Radikalisme. Surabaya: Airlangga University Press. hlm. 119. ISBN 978-602-473-655-2.
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]- Hamid, Noor (2020). Hasyim, Wahid, ed. Manajemen Haji dan Umrah: Mengelola Perjalanan Tamu Allah ke Tanah Suci (PDF). Bantul: Semesta Aksara. ISBN 978-623-7108-66-5.