Kasus Kedung Ombo
Kasus Kedung Ombo adalah peristiwa penolakan penggusuran dan pemindahan lokasi permukiman oleh warga karena tanahnya akan dijadikan Waduk Kedungombo. Penolakan warga ini diakibatkan kecilnya jumlah ganti rugi yang diberikan.
Kronologi
[sunting | sunting sumber]Untuk keperluan pembangunan Waduk Kedungombo, sebanyak 5.391 keluarga yang tinggal di 37 desa di Sragen, Boyolali, dan Grobogan dinyatakan harus dipindah. Sebagaimana kebijakan pemerintah Indonesia saat itu, warga diberi opsi untuk bertransmigrasi ke luar Jawa atau pindah ke lokasi lain yang tidak terancam tergenang oleh waduk. Menteri Dalam Negeri, Soepardjo Roestam menyatakan bahwa ganti rugi yang diberikan adalah sebesar Rp 3.000 / m2, padahal warga dipaksa hanya menerima Rp 250 / m2. Penurunan besaran ganti rugi tersebut salah satunya diduga karena adanya pemotongan tidak resmi dari aparat desa, dengan alasan sebagai sumbangan untuk penduduk yang kelaparan.[1] Sehingga, sampai waduk mulai diisi pada bulan Januari 1989, masih terdapat 190 keluarga yang belum bersedia untuk pindah karena tidak setuju dengan ganti rugi yang diberikan. Romo Mangun, Romo Sandyawan, dan K.H. Hamam Jafar kemudian mendampingi warga yang masih bertahan, dengan membangun sekolah darurat dan membuat rakit untuk mempermudah mobilitas warga. Pada tanggal 1 Agustus 1989, warga akhirnya harus menyelamatkan diri dengan menggunakan peralatan seadanya. Akibatnya, lima orang warga meninggal dalam peristiwa tersebut.[1]
Pada bulan April 1991, sejumlah warga pun mendatangi kantor Bank Dunia di Jakarta, dan meminta agar Bank Dunia meninjau kembali besaran ganti rugi yang diberikan. Pada tahun 1991 juga, ABRI membangun 320 rumah berukuran 54 m2 di Kedungmulyo untuk warga yang masih bertahan tinggal di tepi waduk. Setahun kemudian, pemerintah mulai memberikan pelatihan penanaman bawang merah kepada warga yang belum setuju dengan besaran ganti rugi yang diberikan.[1]
Pada bulan April 1994, proyek pembangunan Waduk Kedungombo pun disorot oleh parlemen Jepang, yang kemudian meminta agar ODA bertanggung jawab atas proyek-proyeknya di negara berkembang. Pemerintah Jepang lalu menyimpulkan bahwa pemberian kredit ke luar Jepang harus didasarkan pada pertimbangan hak asasi manusia dan lingkungan. Hingga tahun 1998, persoalan mengenai ganti rugi pembangunan waduk ini dapat dikatakan belum selesai. Pada tahun 1999, sejumlah warga bahkan mendatangi rumah milik mantan presiden Soeharto di Solo, yakni Ndalem Kalitan, untuk menyampaikan tuntutan mereka mengenai ganti rugi.[1]
Pada tahun 2001, warga menuntut Gubernur Jawa Tengah untuk membuka kembali persoalan ini dan melakukan negosiasi ulang mengenai besaran ganti rugi. Tetapi, pemerintah bersikeras bahwa persoalan ganti rugi untuk pembangunan Waduk Kedungombo telah selesai. Pemerintah juga menyatakan telah menitipkan ganti rugi untuk keluarga yang menuntut di pengadilan negeri setempat.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c d Sinaro, Radhi (2007). Menyimak Bendungan di Indonesia (1910-2006) (dalam bahasa Indonesia). Tangerang Selatan: Bentara Adhi Cipta. ISBN 978-979-3945-23-1.
- Dua Kado Hakim Agung Buat Kedung Ombo: Tinjauan Putusan-Putusan Mahkamah Agung Tentang Kasus Kedung Ombo, Abdul Hakim G. Nusantara dan Indonesia Budiman Tanuredjo, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 1997
- Seputar Kedung Ombo, Stanley, ELSAM, 1994
Pranala luar
[sunting | sunting sumber]- (Indonesia) "Warga Eks Kedung Ombo di Bengkulu Hidup Miskin" Diarsipkan 2006-06-26 di Wayback Machine. (kliping nakertrans.go.id)
- (Indonesia) "Yang Terlupakan dari Kasus Kedung Ombo", Kompas
- (Indonesia) "Pemprov Jawa Tengah Didesak Selesaikan Masalah Kedung Ombo", Kompas
- (Indonesia) "Warga Kedung Ombo Labrak Komnas HAM" Diarsipkan 2007-03-11 di Wayback Machine., Bernas