Lompat ke isi

Zakaria bin Muhammad Amin

Halaman yang dilindungi
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Zakaria bin Muhammad Amin
Zakaria pada tahun 1986
LahirZakaria
Maret 1913
Bangkinang, Kampar, Hindia Belanda
Meninggal1 Januari 2006(2006-01-01) (umur 92)
Bengkalis, Riau, Indonesia
Pekerjaan
  • Ulama
  • politisi
  • penulis
Partai politikMasyumi (1943–1960)
PPP (1974–1986)
Suami/istri
Mariah binti Ahmad
(m. 1933; meninggal 1955)
(m. 1956)
Anak14
KerabatTuan Guru Haji Ahmad (ayah mertua)

Zakaria bin Muhammad Amin (7 Maret 1913 – 1 Januari 2006) adalah seorang ulama, politisi, dan penulis berkebangsaan Indonesia. Ia merupakan generasi pertama ulama karismatik di Kabupaten Bengkalis, dan merupakan orang pertama yang diangkat menjadi kepala administrasi keagamaan Islam di Bengkalis. Zakaria adalah menantu Tuan Guru Haji Ahmad, ulama pertama di Kabupaten Bengkalis.

Zakaria dibesarkan oleh bibinya dan melakukan perjalanan bersamanya ke Makkah pada tahun 1923. Zakaria memulai pendidikan di Tweede Inlandsche School pada tahun 1920 dan melanjutkan berguru ke para ulama Makkah pada tahun 1923 setelah menunaikan haji. Zakaria menjadi anggota Partai Masyumi sampai partai politik tersebut dilarang oleh Presiden Soekarno. Zakaria kemudian juga diangkat menjadi kepala pemerintahan agama Islam pertama di Bengkalis, kemudian menjabat sebagai Kepala Kementerian Agama. Sebagai penganut paham Sunni, Zakaria memiliki pandangan yang cenderung moderat terhadap keberadaan empat mazhab, dan teologi Khilafah.

Zakaria menikah dengan istri pertamanya, Mariah, yang merupakan putri dari Tuan Guru Haji Ahmad, pada tahun 1933 dan memiliki tujuh orang anak. Setelah Mariah meninggal dunia, Zakaria menikah dengan Siti Zainab seorang aktris dan penyanyi, dan memiliki tujuh orang anak. Pernikahan Zakaria dan Siti tetap bertahan hingga Zakaria meninggal dunia pada tahun 2006.

Kehidupan awal dan pendidikan

Zakaria bersama salah seorang kerabatnya di Malaysia pada bulan Desember 1969.

Zakaria bin Muhammad Amin dilahirkan pada bulan Maret 1913 di Bangkinang, Kampar. Ia adalah anak sulung dari pasangan Muhammad Amin dan istrinya Taraima.[1] Ayahnya bekerja sebagai pedagang, dan ibunya bekerja sebagai penjahit.[1] Zakaria mempunyai lima orang saudara, tiga di antaranya merupakan saudara tiri. Saudara kandungnya adalah Hasyim bin Muhammad Amin dan Ahmad bin Muhammad Amin, sementara saudara tirinya adalah Siti Mariam binti Muhammad Amin, Syarafiah Norwawi binti Muhammad Amin, dan Ahmad Sanusi bin Muhammad Amin.[2] Zakaria dan saudara-saudaranya bekerja sebagai petani dan pedagang, dan kemudian menjadi warga negara Malaysia pada tahun 1960-an.[2]

Zakaria menghabiskan masa kecilnya dengan menggembala kerbau di sawah, dan bermain gambus.[3][4] Ia mulai bersekolah pada tahun 1920 di Tweede Inlandsche School, sebuah sekolah negeri pada masa penjajahan Belanda di Bangkinang.[5] Bersama Fatimah, bibinya dari pihak ibu, Zakaria melakukan perjalanan ke Makkah pada tahun 1923.[5]

Setelah sampai di Makkah, ia kemudian menunaikan haji.[6] Zakaria melanjutkan pendidikannya dengan berguru kepada para ulama di Makkah seperti Ali Al-Maliki, Syekh Umar Al-Turki, Umar Hamdan, Ahmad Fathoni, dan Syekh Muhammad Amin Quthbi.[6] Ia kemudian mempelajari berbagai ilmu Islam seperti tafsir Al-Quran, hadis, tauhid, sastra Arab dengan menggunakan metode halaqah.[6] Sanadnya dapat dilacak hingga ke Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Syafi'i di Masjidilharam yang merupakan guru Ahmad Dahlan (pendiri dari Muhammadiyah) dan Hasyim Asy'ari (pendiri Nahdlatul Ulama).[6]

Setelah menyelesaikan studinya di Makkah, Zakaria pindah ke Temerloh, Pahang, dan melanjutkan studi ilmu agama Islam selama enam tahun kepada Muhammad Saleh. Zakaria tetap melanjutkan studi agamanya hingga Saleh meninggal dunia pada tahun 1929.[6] Zakaria kemudian mempelajari Matan Jurumiyah, sebuah buku sains berbahasa Arab.[6] Ia kemudian pindah ke Kuala Lipis, sebuah distrik di Pahang, hingga terjadi banjir pada akhir tahun 1929.[6]

Setelah Kuala Lipis terendam banjir, Zakaria bersama teman-temannya pindah ke Bengkalis, ibu kota Kabupaten Bengkalis, Riau.[6] Ia kemudian melanjutkan studi keagamaan Islam dengan berguru kepada Tuan Guru Haji Ahmad, ulama pertama di Kabupaten Bengkalis.[7] Pada tahun 1933, Zakaria menikahi putri Ahmad yaitu Mariah. Setelah menikah, mereka berdua pindah ke Bagan Datuk, Perak.[7]

Karier militer

Pada masa pendudukan Jepang di Hindia Belanda, ia memimpin gerakan perlawanan bersama Abdullah Nur dan kaum nasionalis di Bengkalis.[8] Pada Agresi Militer Belanda II, Zakaria memimpin gerakan perlawanan di Bengkalis sebagai kapten.[9] Setelah gerakan perlawanan tersebut berpindah ke Dumai, Zakaria kembali bergabung dan terus memimpin perlawanan. Atas jasa-jasanya dalam memimpin perlawanan tersebut, Zakaria kemudian menerima gelar mayor tituler.[10]

Karier ilmiah

Zakaria (urutan keenam dari kiri) pada bulan Desember 1969

Pada usia 16 tahun, Zakaria memulai kariernya sebagai khatib dan guru di Masjid Parit Bangkong di Parit Bangkong,Bengkalis.[7] Pada tahun 1930, satu tahun setelah kembali dari Malaya Britania, ia mulai menulis dua buku: Balqurramhi fi Sunniyyati Qunut Subhi (1930), dan Kumpulan Khutbah Jumat dan Hari Raya Sebanyak Dua Belas Judul Khutbah (1939).[11] Kedua buku ini membahas tentang pendapat Zakaria mengenai isu Salat yang menjadi bahan perbincangan akademis saat itu.[12]

Pada tahun 1937, Zakaria bersama Tuan Guru Haji Ahmad mendirikan sebuah pesantren bernama Al-Kahiriyah. Pesantren ini merupakan pesantren pertama di Kabupaten Bengkalis.[7] Al-Khairiyah kemudian sukses karena banyaknya santri yang datang dari berbagai daerah di Riau, belajar di sana.[10] Ia terus berdakwah dan mengajar muridnya di Al-Khairiyah dan di berbagai masjid di Bengkalis.[9] Setelah Jepang menduduki Hindia Belanda pada tahun 1942, Al-Khairiyah ditutup.[9]

Pada tahun 1948, ia diangkat menjadi kepala pemerintahan agama Islam pertama di Bengkalis.[9] Pada tahun 1950 hingga 1972, ia menjabat sebagai Kepala Kementerian Agama di Bengkalis, dan merupakan orang pertama yang menduduki jabatan tersebut.[9] Ia kemudian menjadi juri kompetisi Musabaqah Tilawatil Quran tingkat kabupaten di Bengkalis, mulai tahun 1964.[9]

Zakaria bersama putranya, Gamal, dan staf MDTA Mahbatul Ulum pada tahun ca 1980-an

Pada tanggal 17 Juli 1963, Zakaria mendirikan sebuah sekolah Islam tingkat anak dan remaja yang diberi nama MDTA Mahbatul Ulum.[9] Pada awal pembangunannya, sekolah ini memiliki enam ruang kelas. Masing-masing ruang kelas mengajarkan ilmu keislaman, yaitu nahwu ṣaraf, fikih, tauhid, akhlaq, hadis, tarikh, dan tafsir Al-Quran. Metode pendidikannya bersifat klasik.[13] Mahbatul Ulum mendidik para siswanya untuk menjadi khatib. Di samping sebagai tempat pendidikan, Mahbatul Ulum juga menjadi tempat perayaan untuk acara kegamaan di Bengkalis.[14]

Pada tahun 1977, lantai sekolah Mahbatul Ulum direnovasi dengan bantuan biaya dari Bupati Bengkalis, Himron Saheman. Biaya renovasinya sebanyak Rp 350.000.[14] Pada tahun 1986, sekolah ini mengalami renovasi kedua pada dinding dan loteng atas bantuan Gubernur Riau, Imam Munandar, dengan biaya Rp 9.600.000.[14] Pada tahun 1989, dilakukan renovasi ketiga pada dinding kelas dengan bantuan program Abri Masuk Desa oleh Presiden Soeharto.[14] Melalui Proyek Bantuan Sarana Pendidikan Dana Pendapatan Asli Daerah dari tahun 1990 hingga 1991, empat kelas tambahan dan musala dibangun di sekolah tersebut.[11]

Karier politik

Zakaria adalah anggota Partai Masyumi sampai partai politik tersebut dilarang pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Presiden Soekarno, karena mendukung Pemberontakan PRRI.[15] Ia pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Bengkalis.[16] Ketika Sumatera Tengah menjadi kubu PRRI, Zakaria menjadi salah satu delegasi Bengkalis pada konferensi DPRDS Riau tanggal 7 Agustus 1955 yang menandatangani petisi agar eks Karesidenan Riau dipisahkan dari Sumatera Tengah.[17] Petisi ini kemudian berhasil terwujud karena pada tanggal 9 Agustus 1957, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957, yang menjadikan Sumatera Tengah terbagi menjadi tiga provinsi, Riau, Jambi dan Sumatera Barat.[18]

Zakaria bersama Fadlah Sulaiman, Bupati Bengkalis pada tahun ca 1990-an

Dari tahun 1974 hingga 1986, ia bekerja sebagai anggota dewan, mewakili Partai Persatuan Pembangunan.[9] Zakaria juga pernah bekerja sebagai pengurus Nahdlatul Ulama di Kabupaten Bengkalis.[9]

Kematian

Laporan berita kematian Zakaria, yang salah menyebutkan bahwa usianya 94 tahun

Zakaria meninggal dunia di kediamannya di Kelapapati, Bengkalis, pada tanggal 1 Januari 2006 pukul 06.30 WIB (UTC+07:00). Zakaria meninggal dunia pada usia 92 tahun karena diabetes.[19] Ia dimakamkan di Taman Makam Islam Harapan di Kelapapati, Bengkalis.[19]

Penghargaan

Zakaria tetap menjadi salah satu ulama karismatik generasi pertama di Bengkalis.[1] Pada tahun 2023, ia bersama dua belas orang lainnya dianugerahi penghargaan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Riau sebagai Pahlawan Daerah Provinsi Riau atas kontribusinya terhadap pendidikan Riau dan perannya sebagai tokoh keagamaan Riau.[20][21]

Penghargaan tersebut diserahkan usai acara Rapat Paripurna DPRD Provinsi Riau dalam rangka Hari Jadi ke-66 Provinsi Riau di gedung DPRD Provinsi Riau, pada 9 Agustus 2023. Penyerahan tersebut dihadiri Gubernur Riau, Syamsuar bersama Wakil Gubernur Riau, Edy Natar Nasution.[21]

Pandangan

Zakaria menghadiri sebuah acara publik yang diselenggarakan pada tahun 1990-an.

Pandangan politik

Zakaria adalah seorang konservatif, dan menganut paham Ahlus Sunnah Wal Jamaah, sebuah pandangan politik Nahdlatul Ulama yang berlandaskan bentuk Islam Sunni.[22] Selama menjadi anggota dewan Partai Persatuan Pembangunan di masa Orde Baru, Zakaria sering ditawari posisi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), namun dia menolak dan mengatakan bahwa tujuannya terjun ke dunia politik hanya untuk membantu partai-partai Islam dalam kampanyenya.[15] Ketika teman-temannya seperti Abdullah Nur dan Ustaz Mil bergabung dengan Golkar, ia menolak mengikuti karena merasa hal itu bertentangan dengan pandangannya.[15] Zakaria tetap menjalin persahabatan dengan kedua temannya tersebut, meski dirinya tidak direkrut oleh pemerintah untuk mengurus Majelis Ulama Indonesia seperti kedua temannya.[23]

Pandangan keagamaan

Zakaria adalah seorang Muslim yang taat dan merupakan penganut mazhab Syāfiʿī.[22] Namun, ia juga mengakui keberadaan empat Imam Madzhab lainnya (Hanafi, Hanbali, dan Maliki). Pandangan Zakaria terhadap teologi Islam seperti khilafah cenderung moderat, tidak memaksakan pendapatnya kepada orang lain, dan lebih mengutamakan pembahasan masalah persaudaraan dalam Islam.[15] Ia memberikan contoh bahwa empat orang Imam Mazhab tidak pernah menyatakan pendapatnya paling benar, dan menyarankan untuk membuang pendapatnya jika ada pendapat lain yang lebih benar.[15]

Keluarga

Zakaria bersama keluarga dan kerabatnya

Zakaria menikah dengan istri pertamanya Mariah binti Ahmad pada tahun 1933. Mariah adalah putri Tuan Guru Haji Ahmad dan Rohimah binti Sani, guru Zakaria.[2] Pernikahan mereka bertahan hingga kematian Mariah pada tahun 1955, karena sakit pasca peristiwa Agresi Militer Belanda II.[2] Pasangan itu memiliki tujuh anak: Nashruddin Zakaria, Aminah Zakaria, Zaharah Zakaria, Ulfah Zakaria, Azra'ie Zakaria, Hanim Zakaria, dan Syakrani Zakaria.[2]

Zakaria menikah dengan istri keduanya yang bernama Siti Zainab binti Kimpal pada tahun 1956. Istri keduanya berusia lebih muda 22 tahun dibandingkan dirinya.[5] Zainab adalah seorang aktris dan penyanyi Indonesia dari perkumpulan sandiwara Ratu Asia.[24] Pernikahan mereka tetap bertahan hingga Zakaria meninggal dunia pada tahun 2006 karena diabetes.[5] Pasangan itu memiliki tujuh anak: Zulkarnain Zakaria, Nukman Zakaria, Rinie Yuslina Fairuz Zakaria, Gamal Abdul Nasir Zakaria, Rita Puspa Zakaria, Nida Suryani Zakaria, dan Sri Purnama Zakaria.[5] Salah satu putranya, Gamal, saat ini menjadi seorang dosen pendidikan Arab dan Islam di Universiti Brunei Darussalam di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam.[25]

Referensi

  1. ^ a b c Amrizal & Al-Bantany 2020, hlm. 143.
  2. ^ a b c d e Amrizal & Al-Bantany 2020, hlm. 146.
  3. ^ Perdana, Arsa Raya (2007). "Indonesia's Weekly News Magazine". Tempo. Indonesia. hlm. 66–67. 
  4. ^ Amrizal & Al-Bantany 2020, hlm. 142–143.
  5. ^ a b c d e Amrizal & Al-Bantany 2020, hlm. 147.
  6. ^ a b c d e f g h Amrizal & Al-Bantany 2020, hlm. 148.
  7. ^ a b c d Amrizal & Al-Bantany 2020, hlm. 149.
  8. ^ Pahlefi 2022, hlm. 158.
  9. ^ a b c d e f g h i Amrizal & Al-Bantany 2020, hlm. 150.
  10. ^ a b Pahlefi 2022, hlm. 135.
  11. ^ a b Amrizal & Al-Bantany 2020, hlm. 152.
  12. ^ Amrizal & Al-Bantany 2020, hlm. 153.
  13. ^ Amrizal & Al-Bantany 2020, hlm. 154.
  14. ^ a b c d Amrizal & Al-Bantany 2020, hlm. 151.
  15. ^ a b c d e Amrizal & Al-Bantany 2020, hlm. 156.
  16. ^ Pahlefi 2022, hlm. 186–187.
  17. ^ Pahlefi 2022, hlm. 187.
  18. ^ Pahlefi 2022, hlm. 188.
  19. ^ a b Amrizal & Al-Bantany 2020, hlm. 158.
  20. ^ Nasution 2023.
  21. ^ a b MC PROV RIAU (10 Agustus 2023). "Hari Jadi ke-66 Provinsi Riau, 12 Tokoh Pejuang Daerah Dapat Penghargaan". InfoPublik. Diakses tanggal 2023-09-05. 
  22. ^ a b Amrizal & Al-Bantany 2020, hlm. 155.
  23. ^ Amrizal & Al-Bantany 2020, hlm. 157.
  24. ^ Soelin 1951.
  25. ^ Al-Bantany 2021, hlm. 93–94.

Sumber