Ambalresmi, Ambal, Kebumen
Ambalresmi | |||||
---|---|---|---|---|---|
Negara | Indonesia | ||||
Provinsi | Jawa Tengah | ||||
Kabupaten | Kebumen | ||||
Kecamatan | Ambal | ||||
Kode pos | 54392 | ||||
Kode Kemendagri | 33.05.07.2004 | ||||
Luas | - | ||||
Jumlah penduduk | 3691 jiwa | ||||
|
Ambalresmi adalah merupakan sebuah desa di kecamatan Ambal, Kebumen, Jawa Tengah, Indonesia. Desa Ambalresmi merupakan daerah pusat perekonomian dan pemerintahan di Kecamatan Ambal bersama Desa Kenoyojayan. Desa Ambalresmi dibagi menjadi 7 Pedukuhan. Dahulu daerah ini merupakan sebuah Kadipaten selama kurang lebih 3,5 tahun.
Kesenian tradisional yang khas daerah ini antara lain Kepang Pur yang masih sejenis dengan tarian kuda lumping. Kemudian terdapat kesenian Janeng yang masih sejenis musik rebana. Makanan khas yang terkenal dari daerah ini adalah Sate Ambal dan Emping Melinjo yang renyah dan gurih. Budaya lainnya adalah Enthak-Enthik yang diadakan setiap bulan Maulid dan Sabanan yang diadakan setiap bulan Saban. Hampir semua budaya di daerah ini berhubungan dengan laut, hal tersebut dikarenakan wilayah Desa Ambalresmi terletak di daerah Urut Sewu yang merupakan wilayah bibir pantai Samudra Hindia. Desa ini juga mempunyai grup namanya Pansel yang dirintis oleh masyarakat Dukuh Kapung Wetan.
Idul Fitri di Desa Ambalresmi di rayakan selama hampir 2 minggu. Lomba pacuan kuda diadakan setiap tahun terutama saat Idul Fitri. Wisata yang ada di daerah ini berupa wisata laut, pasar malam, hiburan ketoprak, dll. Terdapat dua pemakaman kuno disebelah timur namanya Kranji dan di barat nama makamnya adalah Kalijo. Masyarakat setempat biasanya menyebut makam dengan sebutan "Stono". Di utara pasar juga terdapat sebuah makam yang sering di ziarahi yaitu Makam Mbah Jogoresmi.
Sebelum JLSS (Jalur Lintas Selatan Selatan) dibuka, pusat pemerintahan Desa Ambalresmi kerap bergeser setiap ada pergantian Kepala desa. Kapung Wetan yang letaknya di utara Pasar Ambal yang menjadikan daerah paling favorit untuk dikunjungi karena salah satu pedukuhan (pemukiman) tertua ada di area tersebut yang disebut dengan dusun/dukuh Jogoresmen. Konon dulu kabarnya banyak pendatang dari Mataram yang menetap di Desa Ambalresmi, bahkan termasuk pada jamannya Diponegoro. Di salah satu bekas rumah dinas Bupati masih dijumpai peninggalan2 Mataram. Desa Ambalresmi memiliki beberapa bahasa yang digunakan yaitu Ngapak Jogja-Solo, Ngapak Ndeso, dan Ngapak Banyumasan. Terdapat 2 Sekolah dasar di Desa Ambalresmi yakni SDN 1 Ambal dan SDN 2 Ambal. Kemudian juga terdapat SMPN 1 Ambal serta SMKN 1 Ambal.
Sejarah Ambalresmi
[sunting | sunting sumber]Desa Ambalresmi merupakan gabungan dari kata Ambal dan Resmi. "Ambal" merujuk pada sejarah Kadipaten Ambal yang pernah berdiri di daerah tersebut yang berarti "satu kali atau se ambal-an" karena Kadipaten Ambal berdiri hanya satu kali saja di masa Adipati Poerbanegoro (1830 - 1871 M), dan kata "Resmi" yang merupakan nama tokoh salah satu panglima perang Kerajaan Mataram yang bernama Ki Jagaresmi atau masyarakat lebih akrab dengan nama Mbah Jogoresmi, sesepuh dan pendiri kampung/dukuh Jogoresmen atau lidah orang Ambal sering terpeleset menjedai Jogosremen.
Jika merunut pada terbentuknya pemukiman di daerah urut sewu atau daerah Ambal, sebagaimana disebutkan dalam Babad Banyumas dimulai ketika terjadinya huru hara Perang Paregreg jaman Majapahit antara putra dan menantu Hayam Wuruk, Wikramawardhana, menantu Hayam Wuruk (suami dari Kusumawardhani, putri Hayamwuruk dari permaisuri) melawan Bhre Wirabhumi, putra dari selir Hayam Wuruk yang berkeraton di Balai Abangan (Blambangan), Banyuwangi.
Pada periode itu terjadi eksodus (perpindahan penduduk) besar-besaran bangsawan Majapahit yang akhirnya mendiami wilayah urut sewu.Migrasi besar-besaran ini kemudian terjadi lagi ketika peralihan kekuasaan Kerajaan Majapahit ke Kerajaan Demak, Candrasengkala: sirna ilang kretaning bhumi, sirna: 0, ilang: 0, kreta: 4, bhumi: 1 atau tahun 1400 saka atau sekitar 1478 Masehi. Sehingga jika merunut versi ini, menjadi masuk akal ketika Dewan Wali Songo di Demak sampai memerintahkan pada Sunan Kalijaga untuk mendampingi dan mengirimkan pembimbing untuk dakwah di daerah perdikan Mataram hingga urut sewu. Sebagaimana disebutkan dalam Atlas Walisongo karya Pak Agus Sunyoto, Ketua Lesbumi PBNU, Sunan Kalijaga memerintahkan salah satu putranya yang bernama Panembahan Hadi atau Sunan Adi untuk berdakwah di daerah tersebut sekaligus menjadi penasihat rohani penguasa Mataram awal masa Panembahan Senopati, versi ini bisa dirunut dari kompek makam santri di daerah Dung Wot, Desa Pucangan, Kecamatan Ambal.
Kemudian pada masa Kerajaan Mataram dibawah Sultan Agung, dibelahan pulau Jawa bagian barat, pasca dikalahkan dan diusir oleh Fatahillah dari Sunda Kelapa (Jakarta), Portugis masih berusaha masuk pulau Jawa melalui jalur laut selatan (Samudra Hindia) hingga mereka mendirikan benteng di Segara Anakan, Nusa Kambangan, Cilacap. Sultan Agung (sebagai Raja Mataram penerus peradaban Kerajaan Islam Demak & Pajang) menugaskan 4 orang perwira dari kesatuan Wiratamtama Mataram yang bernama: Ki Jaga Resmi, Ki Jaga Laut, Ki Jaga Playa, dan Ki Jaga Praya untuk mengamankan daerah Segara Anakan, Cilacap dari Portugis. Empat orang perwira ini akhirnya mendiami daerah di sepanjang urut sewu, Ki Jaga laut menjadi sesepuh di Kampung Laut, Cilacap dan Ki Jaga Resmi menjadi sesepuh di daerah Ambal Resmi, dengan komplek pedusunan yang dinamakan Jogoresmi atau Jogoresmen atau Jogosremen, +/- 1 km disebelah utara Pasar Ambal. Jadi penamaan Resmi dari Ambal Resmi diambil dari nama Ki Jagaresmi. Makam beliau ada disebelah utara komplek pasar Ambal, mengingatkan dengan konsep lay out komplek pemakaman raja-raja Mataram Kotagede yang terletak di dekat pasar di sebelah masjid.
Legenda Kadipaten Ambal (Bagelen)
[sunting | sunting sumber]Legenda berdirinya kadipaten Ambal sebagaimana kisah rakyat yang masyhur, di masyarakat Ambal dimulai dari adanya huru hara seorang pimpinan rampok sakti yang bernama Puja Gamawijaya. Kesaktian rampok sakti ini terdengar hingga Kesultanan Mataram Ngayogyakarta, dimana VOC atau Belanda saat itu sudah turut campur di pemerintahan Keraton Jogja. Belanda ketika itu sangat was-was dengan huru hara rampok di urut sewu ini (sepanjang pantai pesisir selatan Jawa). Terlebih lagi pada periode waktu itu tengah terjadi kisruh konflik perebutan kekuasaan antara Sultan Hamengku Buwono II ke Hamengku Buwono III. Puja Gamawijaya menjadi momok yang menakutkan karena konon dia menguasai sejenis ilmu rawarontek, sehingga ia kebal dengan berbagai jenis senjata, bahkan tatkala kepalanya terpenggal pun dia masih hidup, dan pulih kembali seperti sedia kala.
Untuk mengatasi huru hara rampok sakti ini, Belanda dan Mataram Jogja mengadakan sayembara, barangsiapa yang mampu mengalahkan Puja Gamawijaya maka akan diberi kekuasaan menjadi Adipati di wilayah Bagelen dan Urut Sewu. Di antara peserta sayembara tersebut ada yang bernama Raden Mangunprawira, yang mana salah satu versi menyebutkan bahwasanya beliau adalah putra dari selir Hamengkubuwono III (jika mengacu pada referensi ini, beliau masih kerabat dekat dengan Pangeran Diponegoro). Untuk mengalahkan rampok sakti, Raden Mangunprawira berusaha mengetahui sumber kesaktian dari Puja Gamawijaya, beliau pun meminta bantuan pada Lurah (kepala desa) Sijeruk, yang bernama Wargantaka. Wargantaka dan Puja Gamawijaya merupakan saudara seperguruan, murid dari Ki Gamawikangka.
Ki Lurah Wargantaka akhirnya memerintahkan putranya yang bernama Andaga untuk membantu Raden Mangunprawira mengalahkan Puja Gamawijaya. Dikisahkan dalam cerita rakyat setempat, akhirnya diketahui kelemahan dari rampok sakti Puja Gamawijaya yaitu dengan dipukulkan buah pepaya (gandul dlm bahasa setempat) ke tengkuk Puja Gamawijaya. Akhirnya matilah si rampok sakti tersebut, kepalanya dipenggal ditancapkan di utara Pasar Bocor sebagai peringatan bagi warga. Raden Mangunprawira diangkat sebagai Adipati seumur hidup membawahi wilayah Bagelen (Puworejo, Kebumen, Sebagian: Cilacap – Banyumas – Banjarnegara), dengan gelar KPAA Poerbonegoro. Dalam salah satu versi sastra lisan, dikarenakan masa pemerintahan Kadipaten Ambal hanya sekali, yaitu dimasa Adipati Purbanegara saja atau dalam bahasa jawa disebut “merintah namung se Ambal-an” (memerintah hanya sekali) maka daerah tersebut dinamakan Ambal. Sepeninggal Adipati Purbanegara, pengelolaan administrasi wilayah Ambal dipindahkan ke Kebumian atau Kebumen dibawah trah Kolopaking yang akhirnya digeser oleh Trah Aroengbinang. Bekas komplek Istana Adipati Ambal (minus pendopo) masih bisa dikunjungi di dekat kantor Kecamatan Ambal, tepatnya di depan rumah Ki Dalang Basuki Hendroprayitno. Adapun makam Adipati Ambal terletak di desa Bener Wetan, Kecamatan Ambal.
Batas-batas Wilayah
[sunting | sunting sumber]- Utara: Desa Kenoyojayan dan Desa Ambalkliwonan
- Selatan: Samudra Hindia
- Barat: Desa Kenoyojayan
- Timur: Desa Kaibonpetangkuran
Pembagian Wilayah
[sunting | sunting sumber]- Dukuh Kapung Wetan
- Dukuh Kapung Kulon
- Dukuh Jogoresmen Kulon
- Dukuh Jogoresmen Wetan
- Dukuh Alun-alun
- Dukuh Kebonan
- Dukuh Manisjangan