Anak menurut Islam
Anak menurut Islam merupakan anugrah dari Allah yang menjadi kesenangan, perhiasan dunia dan pelipur lara bagi keluarga dan masyarakat. Dalam ajaran Islam, anak dibedakan menjadi anak laki-laki dan anak perempuan. Perolehan anak menurut Islam melalui persetubuhan antara suami dan istri. Setiap anak menurut syariat Islam memiliki hak yang wajib dipenuhi dengan prinsip keadilan dan kesetaraan. Dalam ajaran Islam, salah satu hal yang mustahil bagi Allah ialah memiliki anak.
Kedudukan
[sunting | sunting sumber]Di dalam ajaran Islam, anak memiliki kedudukan yang penting dan istimewa dalam keluarga dan masyarakat. Kedudukan ini dinyatakan dalam Surah Al-Isra' ayat 70. Pada Surah Ali Imran ayat 15 dijelaskan bahwa anak merupakan anugrah dari Allah dan menjafi kesenangan yang terbesar. Anak menjadi perhiasan dunia menurut Surah Al-Kahf ayat 46. Sedangkan pada Surah Al-Furqan ayat 74, anak dinyatakan sebagai pelipur lara.[1]
Jenis
[sunting | sunting sumber]Surah Asy-Syura ayat 49 menjelaskan bahwa anak perempuan dan anak laki-laki sebagai suatu pemberian yang dikehendaki penciptaannya oleh Allah.[2]
Perolehan
[sunting | sunting sumber]Surah Asy-Syura awal ayat 49 menjelaskan bahwa anak merupakan karunia yang diberikan oleh Allah.[2] Pada Surah Al-Baqarah ayat 187 terdapat perintah Allah kepada suami untuk melakukan persetubuhan terhadap istri. Setelah itu, Allah memerintahkan untuk mencari sesuatu yang telah Allah tetapkan atas perintah awal. Sebagian ulama menafsirkan bahwa sesuatu yang dicari adalah anak. Beberapa ulama yang berpendapat demikian ialah Ibnu Abbas, Al-Hakam bin Abi al-'Ash, Mujahid bin Jabir, Ikrimah bin Abu Jahal, Hasan Al-Bashri, Adh-Dhahhak dan As-Suddi.[3]
Pemberian hak
[sunting | sunting sumber]Dalam ajaran Islam, hak anak wajib diberikan dengan prinsip keadilan dan kesetaraan. Di dalam syariat Islam terdapat larangan melakukan diskriminasi terhadap hak anak karena perbedaan jenis kelamin.[4]
Kemustahilan
[sunting | sunting sumber]Dalam Surah Al-Ikhlas ayat 3, Allah menyatakan bahwa Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Pernyataan ini menandakan bahwa Allah mustahil memiliki anak yang menandakan kekurangan dari sifat ketuhanan. Kekurangan dari memiliki anak ialah menimbulkan makna bahwa Allah memiliki sekutu dalam kesempurnaan-Nya. Ayat ini telah menafikan kekurangan tersebut terhadap Allah.[5]
Referensi
[sunting | sunting sumber]Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ Universitas Al-Azhar dan UNICEF 2022, hlm. 2.
- ^ a b Al-Jauziyah 2014, hlm. 31.
- ^ Al-Jauziyah 2014, hlm. 17.
- ^ Universitas Al-Azhar dan UNICEF 2022, hlm. 3.
- ^ Abdus Salam, Al-'Izz (Maret 2021). Jawaban Pertanyaan Rumit dalam Islam. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar. hlm. 183. ISBN 978-979-592-922-2.
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]- Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim (2014). Menyambut Buah Hati: Bekal Menyiapkan Anak Saleh pada Masa Golden Ages. Jakarta Timur: Ummul Qura.
- Universitas Al-Azhar dan UNICEF (2022). Mutaqin, Zezen Zaenal, ed. Hak dan Perlindungan Anak dalam Islam: Pandangan Islam tentang perlindungan anak dari kekerasan dan tindakan-tindakan berbahaya [Al-Manẓūr Al-Islāmī li Ḥimāyah Al-Aṭfāl min Al-‘Unf wa AlMumārasāt Al-Ḍārah] (PDF). Diterjemahkan oleh Kaharuddin, Novriantoni. Jakarta: UNICEF Indonesia.