Cokelat proses Belanda
Kakao Proses Belanda | |
---|---|
Nama lain | Kakao Belanda |
Jenis | Kakao |
Tempat asal | Belanda |
Dibuat oleh | Coenraad Johannes van Houten |
Bahan utama | Bubuk kakao dengan bahan alkali |
Sunting kotak info • L • B |
Bubuk Kakao Proses Belanda atau Dutch Cocoa adalah kakao yang diproses dengan agen alkali agen untuk mengubah warnanya dan menghasilkan rasa yang lebih lembut dibandingkan "kakao alami" yang diekstrak dengan proses Broma.[1] Proses ini menjadi dasar dari pembuatan cokelat modern, yang juga digunakan dalam pembuatan es krim, minuman cokelat panas, dan kue-kue.
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Proses Belanda dikembangkan di awal abad ke-19 oleh pembuat cokelat Belanda bernama Coenraad Johannes van Houten, yang ayahnya, Carparus yang berkontribusi dalam pengembangan metode pemisahan lemak lemak dari biji cokelat dengan mesin pres hidrolik sekitar 1828 dan membuat dasar pembuatan bubuk kakao. Pengembangan ini memperluas penggunaan kakao yang sebelumnya digunakan sebagian besar sebagai minuman di Eropa pada saat itu.
Rasa dan kegunaannya dalam masakan
[sunting | sunting sumber]Bubuk kakao belanda memiliki tingkat pH netral dan tidak memiliki keasaman seperti kakao alami, sehingga pada resep-resep yang menggunakan sodium bicarbonate (yang lebih dikenal sebagai soda kue, natrium bikarbonat, atau bicnat) sebagai bahan pengembang—yang menggunakan keasaman kakao itu sendiri untuk mengaktifkannya—buttermilk (sisa proses pembuatan mentega), yoghurt atau susu asam yang seharusnya digantikan susu dalam resep tersebut, atau sedikit krim tartar dapat digunakan untuk memberikan keasaman yang diperlukan dalam resep tersebut. Pada resep yang menggunakan bubuk kakao belanda dan baking powder sebagai pengembang, tidak perlu ditambahkan keasaman lagi.[2]
Proses kakao belanda:[1]
- Menurunkan tingkat keasaman
- Meningkatkan daya larut
- Mengubah warna
- Melembutkan rasa
Turunnya kadar antioksidan dan flavonol
[sunting | sunting sumber]Dibandingkan dengan proses lainnya, kakao yang diproses belanda mengandung flavonol (antioksidan)[3] yang lebih rendah. Pengaruh proses ini terhadap nilai gizi kakao masih diperdebatkan. Professor Irmgard Bitsch dari Institut für Ernährungswissenschaft, Justus-Liebig-University Giessen mengklaim bahwa berkurangnya kandungan antioksidan karena proses ini tidak bersifat signifikan dan masih cukup banyak polifenol dan procyanidins yang terkandung dalam bubuk kakao.[4] Satu studi menemukan bahwa 60% antioksidan asli pada kakao alami hancur karena proses belanda ringan dan 90% hancur karena proses belanda yang intens.[5] Walaupun demikian, bubuk kakao alami memiliki kandungan antioksidan yang tinggi sehingga bahkan penurunan 60% pada kandungan antioksidannya masih menjadikannya makanan yang kaya dengan antioksidan.[6]
Lihat juga
[sunting | sunting sumber]Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b "Art of Darkness II: Cocoa : Good Eats". Food Network. 2009-11-16. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-09-17. Diakses tanggal 2013-05-27.
- ^ "Cocoa Powder". Joyofbaking.com. Diakses tanggal 2013-05-27.
- ^ "Chocolate Terms". Thenibble.com. Diakses tanggal 2013-05-27.
- ^ "Kakao und Schokolade: Die geheimen Gesundmacher". medizinauskunft.de. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-05-14. Diakses tanggal 2016-10-01.
- ^ "New study re-emphasizes natural cocoa powder has high antioxidant content". Eurekalert.org. 2008-10-08. Diakses tanggal 2013-05-27.
- ^ Crozier, S. J.; Preston, A. G.; Hurst, J. W.; Payne, M. J.; Mann, J.; Hainly, L.; Miller, D. L. (2011). "Cacao seeds are a "Super Fruit": A comparative analysis of various fruit powders and products". Chemistry Central Journal. Chem Cent J. 2011; 5: 5. 5: 5. doi:10.1186/1752-153X-5-5. PMC 3038885 . PMID 21299842.