Drittwirkung
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Oktober 2022. |
Drittwirkung (bahasa Indonesia: efek terhadap orang ketiga) adalah sebuah doktrin hukum yang menyatakan bahwa individu dapat menuntut individu atau kelompok lain apabila terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia mereka yang dijamin oleh undang-undang dasar negara. Konsep ini berasal dari Jerman dan semenjak itu telah diadopsi oleh yurisdiksi-yurisdiksi lain, termasuk Mahkamah Eropa untuk Hak Asasi Manusia dalam perkara X and Y v. The Netherlands.[1]
Drittwirkung dapat dibagi menjadi dua, yaitu mittelbare (langsung) dan unmittelbare (tidak langsung). Mittelbare Drittwirkung berarti bahwa hak asasi manusia dapat langsung diterapkan dalam hubungan perdata, dan pengadilan-pengadilan akan mempertimbangkan HAM dalam perkara-perkaranya.[2] Sementara itu, unmittelbare berarti bahwa hak asasi manusia dapat diterapkan langsung oleh pihak perorangan untuk menuntut pihak lain di pengadilan.[3]
Drittwirkung terkait dengan konsep "kewajiban untuk melindungi" bagi negara, yang berarti negara memiliki kewajiban positif untuk melindungi hak asasi manusia, termasuk dengan menindak pihak-pihak perorangan yang melakukan pelanggaran HAM.[4]
Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ Kamber 2017, hlm. 37.
- ^ Kamber 2017, hlm. 37-38.
- ^ Clapham 1993.
- ^ Kamber 2017, hlm. 38.
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]- Clapham, Andrew (1993). Human Rights in the Private Sphere. Oxford.
- Kamber, Kresimir (2017). Prosecuting Human Rights Offences: Rethinking the Sword Function of Human Rights Law. Brill.