Efek media bermusuhan : misinformasi dan disinformasi dalam era digital
Efek Media Bermusuhan sangat tidak baik bagi kehidupan politik dan sosial masyarakat. Di era digital saat ini, platform berita online dan media sosial telah menjadi sumber informasi utama bagi banyak orang. Namun, kemudahan dalam menyebarkan informasi juga membuka peluang bagi masalah besar, yakni misinformasi dan disinformasi . Misinformasi mengacu pada informasi yang salah atau tidak akurat tanpa adanya niat jahat, sementara disinformasi merujuk pada penyebaran informasi palsu dengan tujuan menipu atau memanipulasi. Kedua fenomena ini dapat menciptakan "media bermusuhan," di mana perbedaan pandangan politik atau sosial dapat memicu konflik lebih besar dan memperburuk polarisasi dalam masyarakat.[1]
Pengertian misinformasi dan disinformasi
[sunting | sunting sumber]Misinformasi adalah informasi yang salah atau keliru yang tersebar tanpa ada niat untuk menyesatkan. Sering kali, misinformasi disebarkan karena ketidaktahuan atau kelalaian dalam memverifikasi kebenaran suatu informasi[2][3]. Misalnya, seseorang yang membagikan artikel yang tidak benar karena mereka tidak tahu bahwa isinya salah.
Disinformasi adalah informasi yang sengaja disebarkan untuk mempengaruhi opini publik atau menggiring masyarakat menuju suatu tujuan tertentu. Disinformasi biasanya memiliki agenda politik, ekonomi, atau sosial di balik penyebarannya[4]. Contohnya adalah berita palsu yang dibuat dengan tujuan untuk merusak reputasi seseorang atau kelompok, atau mempengaruhi hasil pemilu.
Efek media bermusuhan dalam masyarakat
[sunting | sunting sumber]Fenomena media bermusuhan sering terjadi ketika media atau platform sosial mulai mendukung kelompok atau ideologi tertentu dan menyebarkan informasi yang menguntungkan pihak tersebut, sambil merendahkan pihak lawan. Dalam kondisi ini, media tidak berfungsi lagi sebagai sumber informasi yang netral, melainkan sebagai sarana untuk memperkuat posisi politik atau sosial tertentu. Hal ini dapat mengarah pada polarisasi, di mana masyarakat terbelah menjadi kelompok-kelompok yang saling berlawanan.
Misinformasi dan disinformasi memiliki dampak signifikan dalam menciptakan lingkungan media yang saling bertentangan. Misinformasi dapat memperburuk polarisasi dengan menyebarkan informasi yang salah, yang memperkuat pandangan ekstrem atau keliru dari suatu kelompok. Di sisi lain, disinformasi lebih berisiko karena informasi yang disebarkan dengan tujuan sengaja untuk memanipulasi opini publik dapat meningkatkan ketegangan sosial dan memperburuk perpecahan dalam masyarakat.
Permasalahan yang dihadapi
[sunting | sunting sumber]- Erosi kepercayaan terhadap media. Misinformasi dan disinformasi yang tersebar luas di media sosial dapat menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap media yang sah. Ketika masyarakat mulai meragukan kebenaran informasi yang disajikan oleh media tradisional atau media sosial, mereka cenderung mencari sumber informasi yang sesuai dengan pandangan mereka. Hal ini berpotensi memperburuk polarisasi dan menciptakan ruang gema (echo chamber). Akibatnya, upaya untuk menemukan kebenaran dan mencari solusi yang adil terhadap masalah sosial dan politik menjadi semakin sulit.
- Peningkatan ketegangan sosial dan politik. Penyebaran informasi yang salah atau menyesatkan dapat memperburuk ketegangan sosial, memperlebar perbedaan ideologi, dan meningkatkan permusuhan antar kelompok. Sebagai contoh, disinformasi yang berkaitan dengan isu-isu sensitif seperti ras, agama, atau politik dapat menyebabkan kekerasan sosial, kebencian, atau diskriminasi. Ketegangan politik seringkali dipicu oleh berita palsu yang menyesatkan tentang kandidat atau kebijakan tertentu, yang dapat memperdalam polarisasi dalam masyarakat.
- Krisis demokrasi dan pemilu. Dalam konteks politik, disinformasi sering digunakan untuk mempengaruhi pemilih, mengurangi tingkat partisipasi, atau mempengaruhi hasil pemilu. Penyebaran informasi yang salah mengenai calon atau kebijakan tertentu dapat menyebabkan pemilih membuat keputusan yang tidak didasarkan pada fakta yang akurat. Sebagai contoh, berita palsu yang menuduh seorang calon terlibat dalam skandal besar dapat merusak reputasi mereka tanpa dasar yang jelas. Fenomena ini dapat merusak integritas pemilu dan berisiko menurunkan kualitas demokrasi.
- Kesulitan dalam verifikasi informasi. Di dunia digital, khususnya media sosial, informasi dapat menyebar dengan cepat tanpa adanya mekanisme yang memadai untuk memverifikasi kebenarannya. Platform digital seperti Twitter dan Facebook sering menjadi saluran penyebaran informasi yang tidak terverifikasi, yang memperburuk masalah misinformasi dan disinformasi. Karena banyak orang tidak memiliki keterampilan yang cukup untuk memverifikasi informasi secara kritis, mereka cenderung mempercayai informasi yang mereka terima tanpa memeriksa kebenarannya terlebih dahulu.
Dampak dari misinformasi dan disinformasi
[sunting | sunting sumber]- Merusak kualitas diskusi publik. Ketika media sosial dipenuhi dengan misinformasi dan disinformasi, kualitas diskusi publik cenderung menurun. Alih-alih fokus pada perdebatan yang sehat dan berbasis fakta, diskusi menjadi lebih emosional, dipengaruhi oleh informasi yang salah, dan sering kali berujung pada permusuhan. Polarisasi politik dapat semakin tajam, dengan masing-masing kelompok mempercayai versi informasi yang berbeda, yang bertentangan dengan pandangan kelompok lainnya.
- Menghancurkan kepercayaan pada Institusi. Misinformasi dan disinformasi tidak hanya merusak kepercayaan masyarakat terhadap media, tetapi juga terhadap institusi-institusi penting seperti pemerintah, lembaga pendidikan, dan lembaga peradilan. Penyebaran informasi yang salah mengenai kebijakan pemerintah atau keputusan hukum dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap integritas institusi-institusi tersebut.
- Kehilangan integritas berita dan jurnalisme. Media tradisional, yang umumnya berusaha mengikuti standar jurnalistik yang ketat, kini harus bersaing dengan media sosial yang tidak memiliki pengawasan editorial. Ketika berita palsu tersebar lebih cepat daripada fakta yang telah diverifikasi, masyarakat cenderung menjadi lebih skeptis terhadap semua sumber informasi. Kondisi ini dapat menurunkan nilai jurnalisme yang berbasis pada fakta dan bukti.
Upaya penanggulangan misinformasi dan disinformasi[5]
[sunting | sunting sumber]Untuk mengurangi dampak negatif misinformasi dan disinformasi, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, organisasi internasional, dan platform media sosial. Beberapa platform media sosial telah meluncurkan inisiatif untuk mengidentifikasi dan menandai konten yang salah, serta memperkenalkan program verifikasi fakta[6]. Selain itu, sejumlah organisasi juga mengkampanyekan pentingnya literasi media untuk membantu masyarakat memahami cara mengevaluasi dan memverifikasi informasi.
Namun, penanggulangan disinformasi dan misinformasi menghadapi berbagai tantangan[7]. Salah satu tantangan utama adalah volume konten yang sangat besar dan kecepatan penyebarannya, yang menyulitkan pengawasan secara efektif. Selain itu, kebebasan berekspresi menjadi isu yang sensitif, karena ada kekhawatiran bahwa upaya untuk membatasi penyebaran informasi yang salah dapat membatasi kebebasan berbicara dan opini.
Kesimpulan
[sunting | sunting sumber]Efek media bermusuhan, yang mencakup misinformasi dan disinformasi, memiliki dampak signifikan terhadap masyarakat digital saat ini. Penyebaran informasi yang salah, baik yang disengaja maupun tidak, dapat memperburuk polarisasi sosial, memengaruhi proses politik, dan mengurangi kepercayaan terhadap institusi publik. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurangi dampak negatif ini, tantangan yang dihadapi tetap besar, dan dibutuhkan pendekatan yang lebih komprehensif untuk menangani masalah ini secara efektif. Peningkatan kesadaran dan keterampilan literasi media di kalangan masyarakat dapat menjadi langkah kunci dalam mengurangi dampak negatif dari fenomena ini.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Borwankar, Sameer; Zheng, Jinyang; Kannan, Karthik (2022-08). "Crowdsourcing and Misinformation on Social Media". Academy of Management Proceedings. 2022 (1). doi:10.5465/ambpp.2022.15259abstract. ISSN 0065-0668.
- ^ Lewandowsky, Stephan; Ecker, Ullrich K. H.; Cook, John (2017-12). "Beyond misinformation: Understanding and coping with the "post-truth" era". Journal of Applied Research in Memory and Cognition. 6 (4): 353–369. doi:10.1016/j.jarmac.2017.07.008. ISSN 2211-369X.
- ^ Pennycook, Gordon; Bear, Adam; Collins, Evan T.; Rand, David G. (2020-11). "The Implied Truth Effect: Attaching Warnings to a Subset of Fake News Headlines Increases Perceived Accuracy of Headlines Without Warnings". Management Science. 66 (11): 4944–4957. doi:10.1287/mnsc.2019.3478. ISSN 0025-1909.
- ^ Gelfert, Axel (2018-03-15). "Fake News: A Definition". Informal Logic. 38 (1): 84–117. doi:10.22329/il.v38i1.5068. ISSN 2293-734X.
- ^ Torras i Calvo, Maria-Carme; Kuzmin, Evgeny (2013). Productive Partnerships to Promote Media and Information Literacy for Knowledge Societies: IFLA and UNESCO’s Collaborative Work. Cham: Springer International Publishing. hlm. 41–47. ISBN 978-3-319-03918-3.
- ^ "Modulating Internet Behaviours on Social Media Platforms". International Education and Culture Studies. 2024. doi:10.71002/iecs.v4n2p17. ISSN 2766-6778.
- ^ Zamith, Rodrigo; Westlund, Oscar (2022-07-18). "Digital Journalism and Epistemologies of News Production". Oxford Research Encyclopedia of Communication. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-022861-3.