Hak atas sandang
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Desember 2022. |
Hak asasi manusia |
---|
Kategorisasi |
Instrumen utama |
Instrumen regional |
Hari Hak Asasi Manusia |
Hak atas sandang yang layak, walaupun seiring dengan kebutuhan primer lainnya, acap diabaikan bila tidak diremehkan. Pada saat seseorang merasa bahwa kebutuhan pangannya terpenuhi pada hari itu, maka tidak ada alasan untuk mengenakan pakaian yang patut, karena setidaknya pakaian yang apa adanya sudah cukup baginya meskipun pakaian yang dikenakannya berlubang atau sobek. Pakaian layak kerap tidak dipedulikan karena apabila sudah memenuhi kebutuhan pangan, maka yang selanjutnya menjadi prioritas adalah papan. Di sisi lain, untuk seseorang yang berkecukupan, pakaian justru menjadi simbol identitas bagi dirinya sehingga, pakaian pun menjadi salah satu poin penting untuk menunjang penampilan dan gaya hidupnya. Sementara, menurut instrumen hak asasi manusia, pakaian merupakan salah satu kebutuhan manusia selain makan dan tempat tinggal yang diperlukan untuk mempertahankan dan melanjutkan hidup. Kebutuhan tersebut secara naluriah akan diusahakan untuk dipenuhi di dalam keseharian hidup manusia sebagai hak asasinya. Pangan, sandang, dan papan mencakup kebutuhan materiel dan menjadi kebutuhan primer bagi manusia di sepanjang kehidupannya, setelah hak untuk hidup. Menurut Darsono, “Kebutuhan materiel sebagai kebutuhan primer bersifat mutlak bagi kelangsungan hidup manusia."[1]
Instrumen-instrumen hak asasi manusia mengakui hak atas sandang sebagai hak asasi manusia sebagai standar minimal hidup layak dan ini termaktub di dalam hak atas standar hidup yang layak.
Hak asasi manusia yang diketahui memiliki berbagai instrumen yang disepakati secara internasional mencakup pula hak atas sandang. Hak atas sandang yang biasanya serangkai dengan hak atas pangan dan hak atas papan—yang di Indonesia diatur di dalam hak atas perumahan sesuai hukum yang berlaku—dikenal sebagai kebutuhan pokok manusia (basic need).
Kebutuhan dasar yang meliputi hak atas pangan, sandang, dan papan, diakui sebagai hak asasi mendasar yang mesti dicukupi untuk memenuhi persyaratan agar seseorang tidak hidup di bawah garis kemiskinan.
Hak atas sandang tidak dimungkiri merupakan hak dasar yang semestinya dipenuhi demi kehidupan seseorang dan tidak bisa dicabut ataupun dilanggar oleh pihak mana pun. Kebutuhan primer yang melandasi seseorang dapat dikatakan hidup layak. Hak atas sandang yang layak lebih dari sekadar pemenuhan kebutuhan penampilan fisik semata. Pakaian yang dikenakan dapat menunjukkan identitas meskipun tidak sepenuhnya berlaku bagi semua orang. Pakaian memperlihatkan kesejahteraan yang mengenakannya, juga menambah rasa percaya diri, serta secara efektif meningkatkan kemampuan untuk menempatkan diri di masyarakat.
Pakaian sebagai Identitas
[sunting | sunting sumber]Identitas Kultur
[sunting | sunting sumber]Pakaian adat sendiri bisa dimodifikasi sesuai perkembangan zaman, meskipun tetap diatur sesuai pakem yang berlaku. Salah satu pakaian adat yang berkembang mengikuti zaman adalah batik. Batik pada masa lalu, benar-benar hanya patuh pada pakem yang berlaku sesuai aturan sejak zaman dulu. Meskipun ada beberapa corak batik yang hingga sekarang ini masih tidak diperbolehkan dikenakan oleh masyarakat selain keturunan raja-raja, tapi ada desain pakaian batik lain yang semakin modis sesuai dengan rancangan fesyen yang sedang tren. Model busana bercorak batik pun tidak melulu berbentuk kemeja, melainkan juga berbentuk gaun ala barat yang umumnya rancangannya ditujukan untuk pesta formal. Contoh lain dari pakaian adat yang berkembang adalah pakaian adat pengantin Suku Jawa yang disesuaikan desainnya secara islami. Hal ini sendiri sudah merepresentasikan identitas pemakainya yang berusaha untuk mengambil jalan tengah dengan cara akulturasi dalam bentuk pakaian. Desain busana pengantin Jawa yang menyesuaikan kepercayaan sang mempelai merupakan bagian dari urban culture. Perpaduan antara adat Jawa dengan kaidah muslim terlihat mencolok dari kerudung yang dikenakan oleh mempelai wanita, di mana menurut adat Jawa, mempelai wanita bersanggulkan konde alih-alih mengenakan kerudung sebagai ornamen penghias kepala. Perubahan lain pun turut mengiringi pakaian pengantin Jawa Muslim yang disesuaikan di sana-sini sehingga walaupun ada perubahan, tetap tidak melanggar pakem masing-masing, terutama dengan konsep pakaian yang tertutup sehingga aurat tidak terbuka. Dalam hal ini, kebaya yang dikenakan pengantin sebisa mungkin tidak menggunakan bahan brokat yang biasanya menampakkan kulit. Atau, bila tetap menggunakan brokat yang tembus pandang sebagai kain untuk kebaya, maka mempelai mengenakan kaus lengan panjang yang tidak transparan di bawah kebaya berkain brokat tersebut. Menurut Dewi Meyrasyawati, busana pengantin Jawa Muslim telah menjadi profil sosial/identitas. Sebagaimana yang diungkapkannya di dalam jurnal, "Profil sosial ini adalah sebagai sebuah tren fesyen yang menggabungkan budaya lokal Jawa dan budaya masyarakat muslim perkotaan sehingga muncullah profil sosial atau identitas yang melekat pada busana pengantin Jawa Muslim tersebut."[2]
Identitas Agama
[sunting | sunting sumber]Pakaian merupakan salah satu media untuk mengekspresikan identitas budaya, agama, dan politik. Hijab, jilbab, dan bentuk lain dari kerudung yang dikenakan para muslimah, misalnya, dikenakan sebagai simbol identitas budaya selain sebagai simbol ketaatan pada agama, juga kesederhanaan dan kesopanan.
Identitas Profesi
[sunting | sunting sumber]Pakaian yang dikenakan oleh seseorang yang sehari-harinya bekerja sebagai kurir sepeda motor tentu berbeda dengan seseorang yang berprofesi sebagai pelukis. Kurir sepeda motor akan membutuhkan jaket, masker, sarung tangan sebagai kelengkapan pakaiannya untuk menghindari paparan sinar matahari langsung ke kulit agar kulitnya tidak terbakar, juga mengurangi paparan debu atau karbonmonoksida, serta sepatu yang layak agar setidaknya kaki tidak lecet. Bukan sebagai mode belaka, melainkan sebagai kelengkapan profesi.
Seseorang diharapkan mengenakan busana yang sesuai dengan profesinya bukan sekadar demi gengsi semata, melainkan juga untuk menunjukkan profesionalitas. Dalam jurnalnya, V. Naniek Risnawati menyampaikan anjuran agar para dosen dalam memberikan kuliah juga memperhatikan kompetensi kepribadian khususnya dalam hal berpenampilan di dalam pemberian perkuliahan di kelas agar tetap tampil secara profesional dan mempesona.[3] Mempesona, dalam hal ini, bukan sekadar untuk memikat para mahasiswa dan mahasiswi dalam hal tampilan fisik semata, melainkan juga agar para pendidik dapat meyakinkan peserta didiknya sesuai kompetensinya di bidang akademis yang bahkan dapat berimbas kepada meningkatnya minat belajar para peserta didik, “…penampilan yang merupakan pencerminan diri seorang dosen menimbulkan rasa percaya diri yang simpatik terhadap mahasiswa, sehingga tidak mengherankan penampilan dosen dalam memberikan perkuliahan perlu diperhatikan karena sangat mempengaruhi motivasi belajar mahasiswa.”
Pakaian sebagai Penanda Konstruksi Sosial
[sunting | sunting sumber]Di lingkungan masyarakat, dikenali adanya rumor yang merebak bahwa pakaian menjadi investasi dari para ibu yang ditanamkan khususnya kepada anak perempuan. Gagasan dan pemikiran yang erat pada benak masyarakat di mana “anak perempuan menjadi permata tersembunyi karena ia dapat didandani” mungkin merupakan suatu kesempatan, ataupun sebaliknya, tidak memberi kesempatan, pada para ibu untuk meraih penghargaan atas penampilan anak perempuannya yang tampak cantik, rapi, dan terurus. Walaupun kemudian, yang diidentifikasi oleh orang lain sebagai penampilan atau pertunjukan bukan hanya sang gadis kecil yang telah didandani tersebut, melainkan—dan yang lebih penting—prestasi ibunya. Lebih jauh lagi, gagasan itu menjadi representasi pernyataan tentang diri dan masyarakat terkait pakaian. Dalam bukunya, Prabasmoro mengemukakan bahwa para ibu cenderung melekatkan fungsi pakaian sebagai konstruksi sosial untuk menandakan keluarga mereka termasuk golongan berada dengan memakaikan baju yang rapi dan elok kepada anak-anaknya bahkan bersikap seolah reputasi mereka bergantung kepada pakaian anak-anak mereka tersebut, "Pada konteks tahun 1950-an (atau bahkan sekarang), para ibu menggantungkan reputasinya melalui penampilan atau prestasi anak-anaknya. Suatu artikel dari majalan bulanan Housekeeping, 13 Mei 1955, yang berjudul “The Good Wife’s Guide”, membuktikan kebutuhan para ibu untuk memastikan penampilan menarik anak-anaknya."[4]
Mendiskusikan gagasan mengenai pakaian juga berfaedah guna mengedepankan isu mengenai kelas ke permukaan. Gagasan untuk diakui sebagai identitas tertentu (passing) atau kelas tertentu (pakaian sebagai penanda kelas) menjadi sorotan di masyarakat. Kelas bukanlah semata-mata perkara penampilan atau pertunjukan melainkan sesuatu yang ditorehkan di bawah kulit dan tidak dapat diubah oleh penampilan atau pertunjukan atau penampilan di bawah permukaan. Berusaha untuk keluar dari kelas tempat seseorang berada menimbulkan risiko tinggi, “amnesia, rasa ditarik dari akarnya—dan terutama, mungkin, kehilangan keotentikan, ketidakmampuan untuk memahami kearifan, kekuatan, dan sumber-sumber akar mereka untuk menjalani perjalanan menuju kedewasaan."[5] Oleh karenanya, seseorang semestinya tidak boleh dipaksa untuk mengenakan pakaian yang akan membuat dirinya dikungkung oleh stigma sosial atau menjadikan dirinya mendapatkan diskriminasi. Pakaian tenaga kerja di bidang yang melibatkan pekerjaan teknis dan memerlukan aktivitas fisik yang berat serta lebih banyak bertugas di lapangan identik dengan seragam berwarna biru. Seragam berwarna biru digunakan agar pakaian tersebut tidak lekas tampak kotor, sehingga kemudian pada sejarahnya, tenaga kerja tersebut dikenal dengan sebutan pekerja kerah biru. Pekerja kerah biru kemudian diriwayatkan sering dibenturkan dengan tenaga kerja yang dijuluki pekerja kerah putih dengan tugas yang tidak terlalu sering melibatkan aktivitas fisik yang berat sehingga mendapatkan diskriminasi. Stigma terhadap tenaga kerja yang demikian, layaknya dihapuskan sehingga seragam untuk masing-masing bidang tidak lagi identik dengan warna biru atau putih belaka.
Pakaian sebagai Kebutuhan
[sunting | sunting sumber]Pakaian dari perspektif kebutuhan, tidak sekadar dipandang dari busana untuk menutupi tubuh agar bagian-bagian tubuh tidak terekpos, namun juga dilihat dari jenis pakaian seperti apa yang dibutuhkan untuk situasi tertentu. Pakaian untuk menghadiri resepsi pernikahan tentunya berbeda dari pakaian untuk berenang, misalnya. Kecuali apabila resepsi pernikahan tersebut bertema renang dan para tamu undangan justru diharapkan hadir mengenakan kode busana berenang sesuai permintaan kedua mempelai.
Bahan pakaian juga menjadi kebutuhan, bukan sekadar ditujukan sebagai material yang digunakan untuk memikat belaka. Para petugas keamanan membutuhkan pakaian berbahan kevlar alih-alih berbahan wol sebagai pelindung dari peluru. Di Indonesia tepatnya, yang mengenakan kevlar dari satuan TNI/Polri.
Hak atas sandang yang layak diatur dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights), Pasal 25 ayat (1) menyatakan bahwa: "Everyone has the right to a standard of living adequate for health and well being of himself and of his family, including food, clothing, housing and medical care and necessary social services, and the right to security in the event of unemployment, sickness, disability, widowhood, old age or other lack of livelihood in circumstances beyond his control. Melalui pernyataan tersebut dapat dijadikan standar bahwa hak-hak yang patut dimiliki setiap orang hingga bisa dikatakan memiliki taraf hidup yang layak untuk kesehatan dan kesejahteraan diri dan keluarganya adalah bila kebutuhan hak atas pangan, sandang, dan papan terpenuhi, selain layanan sosial yang penting dan kesehatan lainnya.[6]
Pakaian sebagai Mode
[sunting | sunting sumber]Mode dan gaya hidup pilihan seseorang untuk untuk dikenakan dan dijalani sesungguhnya meliputi busana, aksesoris, selera makan dan minum, moda transportasi, hiburan, tontonan, aktivitas yang dilakukan saat menghabiskan waktu luang, barang-barang produksi maupun konsumsi, dan sebagainya. Dalam penelitian oleh Tri Yulia Trisnawati, dikemukakan bahwa Alex Thio menyatakan, “fashion is a great though brief enthusiasm among relatively large number of people for a particular innovation.” Jadi sebenarnya fashion bisa mencakup apa saja yang diikuti oleh banyak orang dan menjadi tren. Fashion juga berkaitan dengan unsur novelty atau kebaruan, oleh karena itu fashion cenderung berumur pendek dan dan tidak bersifat kekal.[7]
Pakaian menjadi suatu media untuk memproyeksikan pilihan mode yang dikehendaki seseorang untuk ditampilkan dan dilihat oleh orang lain. Aquarini Priyatna Prabasmoro dalam buku Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop mengemukakan tentang kelayakan pakaian yang dikenakan, “Keharusan untuk memakai pakaian “dengan tepat” atau “dengan layak” tidak dapat dianggap semata-mata sebagai persoalan disiplin ber-fashion melainkan harus ditanggdaapi secara serius sebagai pelanggaran hak seseorang untuk menyatakan ungkapan pribadinya sebagai Diri melalui pernyataan fashion-nya. Apa “yang seharusnya” atau “yang layak” mengimplikasi bahwa dengan marka itu seseorang membuat keputusan apa yang diyakininya sebagai seharusnya dan layak bagi keseluruhan kelompoknya."[8]
Menurut Chaney di buku Lifestyle: Sebuah Pengantar Komprehensif yang dikutip oleh Hendariningrum dan Susilo, dalam masyarakat modern, gaya hidup membantu mendefinisikan mengenai sikap, nilai-nilai, kekayaan, serta posisi sosial seseorang.[9] Hal ini berkotonasi dengan individualisme, ekspresi diri, serta kesadaran diri untuk bergaya, dalam hal ini pakaian berperan penting sebagai salah satu komponen yang terlihat lebih mencolok dibandingkan unsur yang lainnya. Apalagi, tren dalam berbusana menjadi ikon utama dalam gaya hidup masyarakat yang semakin banyak ditampilkan di ruang publik. Menurut Erving Goffman dalam Ritzer, berbagai penggunaan ruang, barang-barang, bahasa tubuh, ritual interaksi sosial, tampil untuk memfasilitasi kehidupan sosial sehari-hari.
Pakaian yang menjadi bagian dari gaya hidup tidak terlepas dari penampilan yang semata ditambah nilainya agar tampak estetis. Di era daring, estetika dalam berpakaian ini didukung dengan maraknya aplikasi dan situs yang mendukung penggunanya untuk mengekspresikan diri dan dilihat oleh banyak orang di sepenjuru dunia. Pun teknologi dan industri kecantikan yang kian mutakhir, semakin meyakinkan seseorang untuk lebih mampu mengaktualisasikan diri dalam hal penampilan serta membentuk citranya di dunia maya. Ekspresi diri di aplikasi dan situs daring serta teknologi kecantikan menjadi bagian dari gaya hidup. Citra seseorang terbentuk melalui respons dari warganet yang memperhatikan sosoknya melalui layar. Eksistensi menjadi gaya hidup seseorang. Kemudian demi eksistensi, pakaian sebagai bagian industri mode, berperan penting sebagai media untuk dikenal di riuhnya ruang publik. Maka pada hal ini, industri pakaian menunjukkan tajinya di hiruk-pikuk dunia daring di mana seseorang yang berusaha untuk eksis, akan melakukan segalanya untuk meningkatkan keelokan pakaiannya. Pakaian yang elok, di dalam industri kecantikan, menuntut agar pemakainya juga elok. Ini berimbas pula pada gaya hidup untuk hidup sehat agar mendapatkan hasil akhir yang sempurna pada penampilan diri seseorang sehingga merasa pantas untuk mengenakan pakaian yang dianggap elok tersebut. Dengan hasil akhir tampilan fisik dengan tubuh prima demi mengenakan pakaian elok, segala industri terkait gaya hidup sehat beserta segala unsur di dalamnya, akan turut terpengaruh juga, salah satunya sepatu olahraga yang bisa saja dipakai oleh seseorang untuk lari pagi demi mendapatkan tubuh prima atau ukuran dan bentuk tubuh ideal sehingga bisa mengenakan pakaian indah dan cocok untuk siluet tubuh yang diidamkannya. Sepatu olahraga itu sendiri, juga bagian dari hak seseorang atas pakaian yang layak. Pakaian dan industri kecantikan menjadi dua bidang yang tidak dimungkiri, erat kaitannya, khususnya bagi seseorang yang membentuk citranya dengan cara mereyakasa tubuh dan penampilan untuk dapat tampil mempesona.
Bahkan Prof. Thomas C. O’Guinn, dkk. dalam karya mereka, Advertising and Integrated Brand Promotion (2003), menyatakan bahwa “Twenty-first century society is all about celebrity” di mana hal ini membuktikan bahwa pada hakikatnya, semua yang diperhatikan oleh masyarakat abad ke-21 adalah mengenai selebritas. Bukan sekadar selebritas yang telah terkenal melalui dunia pertelevisian, namun juga yang tersohor di beragam platform daring. O’Guinn merefleksikan bahwa di abad 21, semua orang menjadi sosok yang menonton dan ditonton dalam berbagai platform dunia maya. Semua individu memiliki kesempatan untuk menjadi sorotan sebagaimana dirinya menyoroti orang lain di dalam jaringan internet. Setiap orang bisa menjadi populer. Karya maestro yang diciptakan oleh masyarakat abad ke-21 untuk dipertunjukkan kepada orang lain adalah diri mereka sendiri. Menurut Chaney di dalam Hendariningrum dan Susilo, penampakan luar menjadi salah satu situs yang penting bagi gaya hidup. Hal-hal permukaan akan menjadi lebih penting daripada substansi. Gaya dan desain menjadi lebih penting daripada fungsi. Gaya menggantikan subtansi. Kulit akan mengalahkan isi. Pemasaran penampakan luar, penampilan, hal-hal yang bersifat permukaan atau kulit akan menjadi bisnis besar gaya hidup.
Fesyen yang terutama dalam hal ini busana, merupakan sisi kehidupan masyarakat yang saat ini sedemikian penting sebagai salah satu indikator bagi muncul dan berkembangnya gaya hidup.
Pakaian merupakan objek yang oleh sebagian besar orang dianggap bisa menyampaikan sesuatu sebagaimana yang dikemukakan oleh Barthes mengenai “the language of fashion,” bahwa setiap bentuk fesyen pasti mengandung pesan tertentu yang kemudian ingin disampaikan oleh pemakainya. Hal ini ini dianggap benar dan diakui oleh sebagian besar orang. Fesyen merupakan objek yang dianggap bisa menyampaikan makna dan maksud-maksud tertentu dari pemakainya. Oleh karena itu dengan pakaian yang dikenakan diharapkan orang bisa menilai tanda-tanda yang ditampilkan dengan pakaian yang dikenakannya.
Pakaian menjadi objek yang sarat dengan gaya hidup seseorang, terutama dalam hal ini, dengan tujuan mengekspreikan citra diri tanpa menyampaikannya secara verbal. Seorang individu mengenakan sehelai pakaian bukan sekadar karena use value belaka, tapi lebih berdasarkan adanya nilai ataupun citra yang hendak dituju pada saat mengenakan suatu busana. Misalkan ingin memberikan citra sebagai pria maskulin, pemuda yang santai, gadis yang imut, ataupun wanita yang anggun. Seseorang memilih baju dengan alasan demikian karena tujuan yang ingin dicapainya adalah semata sign value alih-alih use value.[10]
Pakaian sebagai Proyeksi Kepribadian
[sunting | sunting sumber]Pakaian yang dikenakan dalam keseharian, dapat saja merefleksikan kepribadian seseorang. Di dalam kehidupan sosial, seseorang bisa dengan segera menilai penampilan yang tampak di luar saat pertama berinteraksi dengan orang lain sebelum mengintepretasikan kepribadiannya. Tampilan luar biasanya menjadi salah satu hal yang dinilai seseorang pada orang lain, bahkan di saat pertemuan pertama. Semata-mata karena penampilan fisiklah yang terlihat menonjol dibandingkan hal lainnya, bahkan meskipun sekadar sekilas pandang. Dalam hal ini, pakaian menjadi objek yang paling mencolok untuk diamati dari seseorang. Setidaknya, seseorang akan dinilai tampak dan tampil rapi atau lusuh—memperhatikan penampilan atau serampangan—hanya dari dilihat sepintas saja. Setelah mengenal seseorang cukup lama, pilihan pakaian dalam kesehariannya juga dapat menunjukkan citra dirinya. Sementara, keseharian dalam berpakaian tidak semata yang dikenakan di rumah atau di saat bersantai saja. Apa yang dipakai di dalam tempat tinggal bisa berbeda dari yang dikenakan di luar dengan penyesuaian tujuan dan kebutuhan. Lebih-lebih, desain dan bahan pakaian bisa berbeda sesuai fungsinya. Di rumah, seseorang mungkin nyaman hanya mengenakan busana kasual layaknya daster berbahan katun atau kaus dipadukan celana pendek, yang tentu saja tidak mungkin dikenakan untuk menghadiri resepsi pernikahan di gedung megah dengan kode busana bertema formal yang mengharuskan para tamu setidaknya mengenakan kemeja lengan panjang dan celana panjang bagi pria atau gaun formal bagi wanita. Seperti halnya saat pergi ke luar rumah, seseorang pada umumnya mengenakan pakaian yang sesuai dengan acara atau tujuannya. Kepribadian seseorang pun bisa terlihat dari pakaian yang dikenakan untuk acara tertentu di tempat yang di luar kebiasaan untuk didatanginya. Kepribadian masing-masing individu yang berbeda, dapat mempengaruhi keputusan yang diambil mengenai pakaian bahkan walaupun menghadiri acara yang sama dengan kode busana yang sama pula. Belum lagi bila memiliki warna kesukaan yang berbeda, maka pakaian yang dikenakan tidak akan serupa di samping adanya perbedaan pilihan desain, pola, corak, jenis bahan, dan lainnya. Sebab itulah tidak bisa disangkal, pemilihan busana untuk apa pun yang dipakai, tidak lepas dari karakter seseorang. Setiap pilihan menjadi gaya individu dalam mengekspresikan diri, dan dengan gaya, seseorang bisa menunjukkan siapa jati dirinya. Pakaian yang dipilih, bisa menjadi karya seni yang unik dan tiada ternilai saat dikenakan sesuai dengan watak yang memakainya. Masing-masing individu secara visual menampilkan apa yang tak kasatmata di dalam dirinya kepada orang lain. Pakaian memainkan peran yang penting untuk bisa membantu seseorang memvisualisasikan diri. Seseorang tamu wanita di suatu resepsi pernikahan yang memilih untuk mengenakan kebaya modern berwarna toska dipadu dengan celana berbahan jins tidaklah mengherankan bila memiliki watak yang tidak mirip dengan seorang pria yang mengenakan setelan jas lengkap berwarna biru tua. Menurut V. Naniek Risnawati, “busana mengandung arti semua pakaian yang digunakan bagi seseorang mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki yang dapat mencerminkan kepribadian diri dan menampilkan citra diri…cara berbusana yang rapi dan serasi dapat menentukan identitas, kepribadian maupun watak seseorang.”[3]
Gaya pakaian, dandanan rambut, segala macam aksesoris yang menempel, selera musik, atau pilihan-pilihan kegiatan yang dilakukan, adalah bagian dari pertunjukan identitas dan kepribadian diri. Pakaian adalah kesempatan bagi seseorang untuk mengekspresikan identitas diri dan kepribadiannya untuk dilihat oleh orang lain. Entah dirinya ingin dipandang sebagai orang kebanyakan ataupun orang yang unik dengan selera berbeda daripada yang lain, bahkan hingga di titik menggunakan gaya-gaya tertentu yang lain daripada yang lain. sebagai simbol identitas diri mereka. Sebagaimana menurut Willis, “They use style in the symbolic work to express and develop their understanding of themselves as unique person, to signifying who they are and they think they are.”[11]
Orang lain dengan serta merta dapat melihat kesan, nilai, maksud, makna, tujuan, dan pesan tertentu yang lekat pada seseorang melalui pakaian yang dikenakan. Demikian pula menurut Retno Hendariningrum dan Edy Susilo, “Benda-benda seperti baju dan aksesori yang dikenakan bukanlah sekadar penutup tubuh dan hiasan, lebih dari itu juga menjadi sebuah alat komunikasi untuk menyampaikan identitas pribadi.”[12] Busana sebagai salah satu unsur penampilan sangat mempengaruhi kepribadian seseorang, busana yang tepat, rapi, memberi keindahan, keserasian, serta keselarasan dapat menampilkan citra diri positif seseorang. Kepribadian seseorang dapat dilihat dari tata cara berbusana dan berdandan, jenis dan warna pakaian yang dikenakan, serta tata krama yang sopan mencerminkan kepribadian seseorang.
Pakaian yang menjadi bagian dari fesyen dapat dimanfaatkan sebagai proyeksi dan ekspresi diri, serta media komunikasi dari seseorang yang mengenakannya kepada orang lain. Di dalam jurnal “Fashion sebagai Bentuk Ekspresi Diri dalam Komunikasi,” Tri Yulia Trisnawati menyatakan bahwa pakaian sebagai fesyen dapat memberikan implikasi bagi penggunaan fesyen itu sendiri di dalam kaitannya dengan bagaimana orang bisa mengkomunikasikan nilai, status, kepribadian, karakter, identitas, emosi, dan perasaan kepada orang lain. Ciri dan identitas pribadi seseorang menjadi sesuatu yang sangat penting untuk ditunjukkan pada saat hidup dalam bermasyarakat, di mana individualitas pada hakikatnya menjadi tolak ukur penilaian ataupun tafsiran terkait sebuah hubungan maupun interaksi antarmanusia. Karena fesyen dapat dimanfaatkan untuk mengekspresikan sesuatu yang tidak tersampaikan maupun tidak terucap secara verbal inilah, maka fesyen juga sering kali dimanfaatkan untuk dapat memperlihatkan dan menunjukkan identitas personal dari seorang individu. Hanya dengan melihat seseorang mengenakan jenis pakaian tertentu maka, orang lain akan bisa menilai dan menafsirkan karakter, kepribadian, maupun citra dirinya.[13]
Pakaian bukan semata kain yang dijahit atau dipintal menggunakan benang dengan tujuan sekadar sebagai penutup tubuh, akan tetapi juga memiliki kode-kode, petunjuk-petunjuk, penanda, ataupun tanda-tanda karena pakaian memformulasikan makna. Sehingga, pada hakikatnya, pakaian membawa dan mengantarkan sebuah pesan. Oleh karena itu fesyen (yang dalam hal ini, pakaian) menjadi simbol-simbol nonverbal yang ingin disampaikan oleh pemakainya sebagaimana yang diungkapkan Barnard di dalam jurnal Trinawati, “fashion and clothing are form of nonverbal communication in that they do not use spoken or written words.”[14] Contohnya saja celana pendek yang menjadi penanda kesantaian, sehingga sering kali dikenakan untuk aktivitas yang santai seperti di rumah atau di pantai atau aktivitas bermain-main lainnya, dan tidak dipakai untuk menghadiri rapat resmi di kantor secara luring. Contoh lainnya bisa dilihat melalui pakaian seragam sekolah atasan putih beremblem badge Merah Putih SD berlatar warna kemerahan di saku kiri disertai bawahan—baik celana ataupun rok—merah dilengkapi dasi merah dan topi merah putih berlogo Tut Wuri Handayani di bagian depan, menandakan bahwa yang mengenakannya adalah murid SD di Indonesia. Beda lagi dari baju seragam sekolah atasan kemeja putih beremblem OSIS berlatar warna kuning di saku kiri dibarengi bawahan biru tua yang dipadukan dasi biru tua dan topi biru tua berlogo Tut Wuri Handayani di bagian depan berlatar putih, menjadi kode dan tanda bahwa sang pemakainya adalah siswa SMP di Indonesia. Tanda-tanda, penanda, petunjuk, dan kode-kode tersebut memberikan probabilitas bahwa pakaian membawa dan mengantarkan makna serta fungsi sebagaimana halnya bahasa, “the language of fashion.”
Komunikasi nonverbal merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari komunikasi verbal. Pesan-pesan nonverbal sering kali mengikuti proses komunikasi verbal. Menurut Leathers di dalam jurnal “Fashion sebagai Bentuk Ekspresi Diri dalam Komunikasi”, komunikasi nonverbal dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian, termasuk di dalamnya adalah pesan nonverbal visual di mana hal ini mencakup kinetik ataupun gerak tubuh, proksemik ataupun pemanfaatan ruang personal dan ruangan hubungan sosial, artifaktual seperti busana, kosmetik, dan lainnya; pesan nonverbal auditif di mana hal ini mencakup paraliguistik; serta pesan nonverbal nonvisual nonauditif atau dalam hal ini pesan yang disampaikan bukanlah berupa kata-kata, bahkan tidak terlihat, juga tidak terdengar di mana hal ini mencakup sentuhan maupun penciuman.[15] Pakaian pada fungsinya kemudian dimanfaatkan sebagai pembawa pesan dari seseorang yang mengenakannya. Busana dikenakan lebih dikarenakan adanya nilai-nilai tanda dan kode yang terkandung di dalamnya. Busana yang dikenakan seseorang diperlihatkan untuk menyampaikan pesan tanpa bahasa verbal dan mengungkapkan maksud.
Fesyen merupakan pesan artifaktual yang ditampakkan melalui penampilan tubuh. Pakaian akan tampak begitu orang saling berhadapan. Bahkan ketika keduanya belum saling menyapa sekalipun. Menurut Kefgan dan Touchie, “pakaian menyampaikan pesan, pakaian terlihat sebelum suara terdengar…pakaian selalu berhubungan dengan perilaku tertentu.”[16] Hal ini sering kali tampak dalam kehidupan sehari-hari, di mana kita sering kali menilai orang dari penampilan fisiknya, terutama yang diperlihatkan dari bagaimana cara dia berbusana.
Namun demikian, tidak semua orang membaca fesyen dengan cara yang sama, ada perbedaan gender, usia, kelas, dan ras. Akan tetapi semua yang berbagi kode-kode fesyen yang sama akan menginterprestasikan tanda-tanda itu relatif sama pula. Menurut Yasraf Amir Piliang, fashion—yang dalam hal ini bertedensi kepada pakaian—menjadi ciri, identitas, watak, serta kepribadian dari yang mengenakannya. Lebih lanjut Piliang mengemukakan, "Konsumerisme dan gaya hidup menjadikan prestise citra, perbedaan sebagai suatu kebutuhan (need), kesemuan dan artifisial yang ada di baliknya dianggap sebagai kebenaran."[17]
Meskipun demikian, belum ada standar untuk apa yang disebut dengan “minimum” atau “layak” atas kepantasan pakaian yang dikenakan sebagai bagian dari hak asasi manusia. Aturan mengenai pakaian yang layak dikenakan sebagai bagian dari hak asasi manusia memang sudah ada, namun standar kelayakan itu sendiri belum ada.
Referensi
[sunting | sunting sumber]Catatan Kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ Darsono 2007, hlm. 115.
- ^ Meyrasyawati 2013, hlm. 100
- ^ a b Risnawati 2012, hlm. 10.
- ^ Prabasmoro 2006, hlm. 405.
- ^ Kuhn 1995, hlm. 98.
- ^ Brownlie 2010, hlm. 59.
- ^ Thio 1987, hlm. 36.
- ^ Prabasmoro 2006, hlm. 400
- ^ Chaney 2004 dalam Hendariningrum & Susilo 2008, hlm. 26
- ^ Trisnawati 2011, hlm. 38-39.
- ^ Willis 1990 dalam Trisnawati 2011, hlm. 42.
- ^ Hendariningrum 2008, hlm. 25.
- ^ Trisnawati 2011, hlm. 37.
- ^ Barnard 1996 dalam Trisnawati 2011, hlm. 39.
- ^ Leathers dalam Trisnawati 2011, hlm. 40.
- ^ Kefgan dalam Trisnawati 2011, hlm. 40.
- ^ Piliang 1998 dalam Trisnawati 2011, hlm. 39.
Daftar Pustaka
[sunting | sunting sumber]Buku
[sunting | sunting sumber]- Brownlie, Ian & Guy S. Goodwin-Gill (2010). Brownlie’s Documents on Human Rights, 6th Edition. New York: Oxford University Press. ISBN 9780199564040.
- Chaney, David (2004). Lifestyle: Sebuah Pengantar Komprehensif Diarsipkan 2021-08-02 di Wayback Machine.. Yogyakarta: Jalasutra. ISBN 9793684100.
- Darsono (2007). Karl Marx: Ekonomi Politik dan Aksi-Revolusi Karl Marx: Ekonomi Politik dan Aksi-Revolusi. Jakarta: Diadit Media. ISBN 9793957425 Diarsipkan 2023-08-13 di Wayback Machine..
- Kuhn, Annette (1995). Family Secrets Acts of Memory and Imagination Diarsipkan 2021-08-02 di Wayback Machine. Family Secrets Acts of Memory and Imagination Diarsipkan 2023-02-17 di Wayback Machine. Family Secrets Acts of Memory and Imagination. London: Verso. ISBN 0860916294.
- Prabasmoro, Aquarini Priyatna (2006). Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop Diarsipkan 2021-08-02 di Wayback Machine. Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop Diarsipkan 2021-08-04 di Wayback Machine. Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra. ISBN 9793684550.
Jurnal
[sunting | sunting sumber]- Hendariningrum, Retno & M. Edy Susilo (2008). “Fashion dan Gaya Hidup: Identitas dan Komunikasi” Diarsipkan 2022-04-08 di Wayback Machine.. Jurnal Ilmu Komunikasi. 6: 25-32.
- Meyrasyawati, Dewi (2013). “Fesyen dan Identitas: Simbolisasi Budaya dan Agama dalam Busana Pengantin Jawa Muslim di Surabaya” Diarsipkan 2022-07-08 di Wayback Machine.. Makara Seri Sosial Humaniora. 17(2): 99-108.
- Risnawati, V. Naniek (2012). “Perlunya Penampilan Dosen dalam Memberikan Kuliah” Diarsipkan 2021-07-31 di Wayback Machine.. Jurnal Stie Semarang. 4(1): 10-18.
- Trisnawati, Tri Yulia (2011). “Fashion sebagai Bentuk Ekspresi Diri dalam Komunikasi” Diarsipkan 2021-07-31 di Wayback Machine.. The Messenger. 3(1): 36-47.