Hokkien Medan
Bahasa Hokkien Medan | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Dituturkan di | Indonesia | ||||||||
Wilayah | Medan, Kisaran, Rantau Prapat, Tebing Tinggi, Tanjungbalai, Binjai, Jakarta dan kota-kota sekitar di Sumatera Utara. | ||||||||
Etnis | Orang Hokkien, Tionghoa Medan pada umumnya. | ||||||||
Penutur | |||||||||
| |||||||||
Kode bahasa | |||||||||
ISO 639-3 | – | ||||||||
Linguasfer | 79-AAA-jek | ||||||||
| |||||||||
Portal Bahasa | |||||||||
Hokkien Medan adalah variasi lokal dari Bahasa Hokkien yang dipakai antara Tionghoa Medan, Sumatera Utara, Indonesia. Bahasa tersebut merupakan lingua franca di kota Medan dan juga kota-kota sekitar Sumatera Utara. Hokkien Medan juga digunakan oleh komunitas perantau asal Medan seperti di Jakarta. Hokkien Medan dianggap sebagai subdialek dari Hokkien Ciangciu (漳州), khususnya subdialek Haiteng (海澄) namun sudah menyerap banyak kata dari bahasa Tiociu, Melayu Deli dan Bahasa Indonesia.
Hokkien Medan pada umumnya adalah dialek lisan, yang diturunkan secara lisan dan jarang ditulis dalam ortografi Hokkien sastra. Terlebih lagi, rezim Orde Baru menerapkan penekanan dan melarang aksara Tionghoa dan tradisi Tionghoa di muka umum.[1] Walaupun demikian, sejalan berkembangnya media sosial, Hokkien Medan sering ditulis dengan Ejaan Yang Disempurnakan, dan mengabaikan tanda nada sekaligus.[2]
Kemiripan dengan Hokkien Penang
[sunting | sunting sumber]Bila membandingkan Hokkien Medan dengan dialek Hokkien yang digunakan di negara lain seperti Malaysia dan Singapura, Hokkien medan kurang lebih dapat dimengerti. Bagaimanapun juga, Hokkien Medan paling mirip dengan Hokkien Penang. Sebegitu miripnya kedua dialek tersebut sehingga sangat sulit bagi kaum awam membedakannya, kecuali bila pengguna Hokkien medan tidak banyak mencampur kata serapan Melayu Deli dan Bahasa Indonesia dalam penuturannya.
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Asal muasal penutur Hokkien medan secara linguistik dapat ditelusur balik ke Hokkien Penang[3] dan Kedah.[4] Petanda awal datangnya Tionghoa ke Medan terbukti dalam penemuan arkeologi di Pulau Kampai[5] and Kota China[6], menunjukkan kehadiran pedagang Tionghoa sedini abad ke-12 masehi. Ketika John Anderson dikirim untuk misi diplomatis ke pesisir timur Sumatera pada tahun 1823, ia mencatat adanya orang Tionghoa dalam jumlah sangat kecil di tanah Deli,[7] dan sekitar 50 sampai 100 orang Tionghoa di Asahan.[8] Perdagangan antara pesisir timur Sumatera dengan Penang dan Melaka sudah terjalin dan berkembang pada masa itu.
Bangkitnya Deli sebagai eksportir utama tembakau membawa influks Kuli Tionghoa dari Penang. Pada tahun 1880, Kuli Tionghoa di Sumatera Timur telah mencapai angka 53,806.[9] Pentingnya peran Penang bagi ekonomi Deli dan pengaruh kaum elit Babanyonya Penang dan Lima Kongsi Besar tidak dapat dipungkiri. Cheah Choo Yew (1841-1931) ialah salah satu pelopor dari Cheah Kongsi yang berkelahiran Langkat, Sumatera Timur. Khoo Cheow Teong (1840-1916) ialah cicitnya Koh Lay Huan (Kapitan Cina Penang yang pertama) dan cucu dari Khoo Wat Seng (perintis Khoo Kongsi). Ia menjabat sebagai Kapitan Cina di Asahan selama 26 tahun. Saudagar ternama Penang Cheong Fatt Tze juga merupakan saudara sekampung dari Kapitan Cina Medan Tjong A Fie dan Tjong Yong Hian, dan ketiganya memonopolisir berbagai komoditi utama di Sumatera Timur. Hubungan kebudayaan antara Penang dan Medan melampaui jarak. Kita dapat menemukan banyak kesamaan seperti tradisi pemujaan Datuk dan kuliner Peranakan yang sama.
Russel Jones, dalam artikelnya 'The Chiangchew Hokkiens, the true pioneers in Nanyang' mengambil upaya untuk memastikan kehadiran awal Hokkien Zhangzhou, bukan hanya di Penang, tetapi juga di Melaka, Batavia dan kepulauan sekitarnya.[10] Terlebih lagi, kemiripan kata serapan bahasa Melayu (batu, mana, binatang, tapi), Hokkienisasi istilah Melayu (Lokun, Sukak) dan juga dialek Kedah (gatai) dalam Hokkien Penang yang telah menjadi integral dalam kosakata Hokkien Medan membuktikan silsilah linguistik.
Medan Hokkien juga cukup dipengaruhi oleh Bahasa Tiochiu, oleh sebab kehadiran kuli Tiociu yang dominan pada zaman emas tembakau. Peristiwa invasi Jepang, revolusi Sumatera Timur dan rezim Orde Baru memupuskan kekerabatan lintas selat antara kedua kota. Sejak itu, kedua dialek tersebut bercabang dan berevolusi bersendiri, dimana Hokkien Penang lebih dipengaruhi oleh bahasa Mandarin dan Inggris, dan Hokkien Medan sangat dipengaruhi oleh Bahasa Indonesia.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Suryadinata, L. (1976). Indonesian Policies toward the Chinese Minority under the New Order. Asian Survey, 16(8), 770–787. https://doi.org/10.2307/2643578
- ^ "KUMPULAN KALIMAT DENGAN BAHASA HOKKIEN". Diakses tanggal 2023-10-13.
- ^ "2. Penang and the Big Five in Regional Context", Penang Chinese Commerce in the 19th Century, ISEAS Publishing, hlm. 14–46, 2015-12-31, diakses tanggal 2023-10-13
- ^ Wilson, H. E.; Khoo, Gilbert; Lo, Dorothy (1980). "Asian Transformation. A History of South-East, South and East Asia". Pacific Affairs. 53 (2): 306. doi:10.2307/2757476. ISSN 0030-851X.
- ^ Dussubieux, Laure; Soedewo, Ery (2018). "The glass beads of Kampai Island, Sumatra". Archaeological and Anthropological Sciences (dalam bahasa Inggris). 10 (5): 1129–1139. doi:10.1007/s12520-016-0438-5. ISSN 1866-9557.
- ^ McKinnon, E. E. (1977). "Research at Kota Cina, a Sung-Yüan period trading site in East Sumatra". Archipel. 14 (1): 19–32. doi:10.3406/arch.1977.1355.
- ^ Anderson, John (1826). Mission to the east coast of Sumatra, in 1823, under the direction of the Government of Prince of Wales Island. United Kingdom: Edinburgh : Blackwood ; London : Cadell. hlm. 296.
- ^ Anderson, John (1826). Mission to the east coast of Sumatra, in 1823, under the direction of the Government of Prince of Wales Island. United Kingdom: Edinburgh : Blackwood ; London : Cadell. p. 318
- ^ Anthony Reid, An Indonesian Frontier: Acehnese & Other Histories of Sumatra (Singapore: Singapore University Press, 2005), p. 223.
- ^ Jones, R. (2009). The Chiangchew Hokkiens, the True Pioneers in the Nanyang. Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, 82(2 (297)), 46. http://www.jstor.org/stable/41493748