Integrasi Eropa
Integrasi Eropa adalah proses integrasi industri, politik, hukum, ekonomi, sosial, dan budaya negara-negara di Eropa. Integrasi Eropa telah didorong oleh Uni Eropa dan Dewan Eropa.
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Setelah Perang Dunia II, iklim politik Eropa mendukung integrasi negara-negara Eropa yang demokratis, yang dipandang sebagai upaya untuk menghindari nasionalisme ekstrem yang telah memicu peperangan di Eropa sebelumnya.[1] Langkah pertama dimulai pada tahun 1947 dengan digulirkannya Rencana Marshall oleh Amerika Serikat. Amerika tidak ingin Eropa menjadi komunis dan mencoba melawannya dengan memperbaiki ekonomi Eropa. Maka didirikanlah Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi pada tahun 1948. Setelah Kongres Den Haag pada tahun 1948, Dewan Eropa didirikan pada tahun 1949 di bawah kepemimpinan Paul-Henri Spaak. Pada tahun 1951, Komunitas Batubara dan Baja Eropa (yang merupakan cikal bakal Uni Eropa) didirikan oleh Prancis, Jerman Barat, Belgia, Luksemburg, Belanda, dan Italia. Industri batu bara dan baja disasar karena kedua komoditas tersebut sangat diperlukan dalam peperangan, sehingga integrasi dimaksudkan untuk mengurangi kemungkinan negara-negara anggota saling berperang. Organisasi ini merupakan organisasi supranasional yang memiliki mahkamah yang dapat menegakkan aturan traktat (kini menjadi Mahkamah Eropa).
Pada tahun 1957, Traktat Roma ditandatangani. Traktat tersebut mendirikan Euratom dan Komunitas Ekonomi Eropa, yang juga menetapkan zona perdagangan bebas. Pada tahun 1962, dalam kasus Van Gend en Loos v Nederlandse Administratie der Belastingen, Mahkamah Eropa memastikan bahwa "Komunitas [Eropa] mendirikan tatanan hukum internasional yang baru dan untuk itu negara-negara (anggota) telah membatasi kedaulatannya, walaupun hanya dalam beberapa bidang dan subjek yang tidak hanya meliputi negara anggota tetapi juga warga negaranya."[2] Dalam kasus Costa v ENEL, diputuskan pula bila hukum nasional bertentangan dengan hukum Eropa, maka hukum Eropa lebih unggul. Akibatnya, hukum nasional yang tidak sesuai dengan hukum Eropa harus dicabut. Selain itu, Komunitas Ekonomi Eropa (dan kini Uni Eropa) dapat mengeluarkan regulasi dan direktif yang harus diikuti oleh negara anggota, sehingga mendorong proses integrasi dan harmonisasi.
Pendukung
[sunting | sunting sumber]Uni Eropa
[sunting | sunting sumber]Proses integrasi politik Uni Eropa mulai ditingkatkan setelah terjadinya Perang Dingin. Uni Eropa menetapkan dua kriteria yang masing-masing merupakan landasan kebijakan ekonomi dan kebijakan politik Uni Eropa. Kriteria ekonomi Uni Eropa ini dikenal dengan nama Kriteria Maastricht, sementara kriteria politik Uni Eropa dikenal dengan nama Kriteria Kopenhagen. Kriteria Maastricht ditetapkan pada tahun 1992, sementara Kriteria Kopenhagen ditetapkan pada tahun 1993. Tiap negara anggota Uni Eropa diwajibkan mematuhi melaksanakan dan memenuhi kedua kriteria tersebut. Penyusunan kedua kirteria ini meningkatkan permintaan negara-negara bekas Uni Soviet untuk bergabung ke dalam Uni Eropa. Penguatan integrasi politik Uni Eropa juga diikuti dengan penguatan ekonomi pasar. Negara-negara yang ingin bergabung dengan Uni Eropa kemudian mulai diseleksi secara ketat dengan dua kriteria Uni Eropa.[3]
Integrasi politik Uni Eropa juga dapat terbentuk sebagai akibat adanya kesamaan dalam sejarah, tradisi, budaya dan politik di negara-negara anggotanya. Politik Uni Eropa khususnya mampu mengalami integrasi akibat adanya hegemoni kekristenan dan hegemoni gereja. Selain itu, integrasi ini juga terbentuk melalui pahak sekularisme dan sentimen keagamaan.[4]
Dampak
[sunting | sunting sumber]Politik Uni Eropa
[sunting | sunting sumber]Politik Uni Eropa dibangun sebagai bentuk integrasi Eropa atas nilai-nilai demokrasi pada tiap negara anggota Uni Eropa. Rasa saling percaya menjadi prinsip utama yang disepakati bersama oleh anggota Uni Eropa dalam membangun dan memperkuat politiknya. Sejarah politik Uni Eropa dimulai sejak Uni Eropa didirikan. Politik Uni Eropa bertujuan untuk menciptakan keamanan bagi masyarakat Eropa dengan cara mengatasi semua masalah geopolitik yang dialaminya. Perhatian utamanya meliputi diplomasi, hukum internasional, negosiasi, dan multilateralisme. Politik Uni Eropa terbentuk sebagai usaha untuk menghapuskan tradisi perang secara militer dalam penyelesaian masalah antarnegara di Eropa.[5]
Di sisi lain, opini publik dari masyarakat di negara-negara anggota Uni Eropa tidak memberikan pengaruh langsung terhadap perpolitikan Uni Eropa. Namun opini publik mempengaruhi keputusan politik di Komisi Eropa dan Parlemen Eropa. Opini publik membatasi kekuasaan Parlemen Eropa yang kemudian ditandai dengan pengunduran diri oleh beberapa anggotanya pada tahun 1999. Keberadaan opini publik ini membuat terhambatnya tujuan politik Uni Eropa untuk membentuk integrasi Eropa.[6]
Referensi
[sunting | sunting sumber]Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ "The political consequences". European NAvigator. Diakses tanggal 5 September 2007.
- ^ Case 26/62, NV Algemene Transporten Expeditie Onderneming van Gend en Loos v Nederlandse Administratis der Belastingen [1963] ECR 1. See section B.
- ^ Arif 2014, hlm. 41.
- ^ Arif 2014, hlm. 47.
- ^ Azwar 2016, hlm. 86-87.
- ^ Azwar 2016, hlm. 88.
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]- Arif, Muhammad Qobidl 'Ainul (2014). Politik Islamophobia Eropa: Menguak Eksistensi Sentimental Anti-Islam dalam Isu Keanggotaan Turki. Sleman: Deepublish. ISBN 978-602-280-730-8.
- Azwar, Asrudin (2016). "Runtuhnya Integrasi Uni Eropa?" (PDF). Alternatif. 6 (2).