Karolus Cho Shin-chol
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Oktober 2022. |
Karolus Cho Shin-chol (1795-1839) adalah seorang martir Katolik Korea yang lahir di Hoeyang, Gangwon-do, dan keluarganya penganut pagan. Dia kehilangan ibunya ketika dia berusia lima tahun, dan ayahnya menghambur-hamburkan semua kekayaan keluarga. Dalam beberapa tahun, pada suatu waktu Karolus dengan kemiskinannya pergi ke sebuah kuil Buddha untuk hidup secukupnya. Suatu hari dia diminta untuk bekerja sebagai seorang hamba bagi para utusan yang akan melakukan perjalanan ke Peking. Karolus menerima tawaran itu. Pada saat itu, dia berusia 23 tahun. Dia orang yang jujur, tidak egois, dan berani, sehingga dia dihormati oleh kawan-kawannya dan juga dianggap sebagai hamba para utusan yang paling menonjol. Dengan sejumlah uang yang dia dapatkan dari perjalanan ke Peking, dia membantu ayahnya dan saudara-saudaranya.
Sementara itu, Agustinus Yu Chin-gil dan Paulus Chong Ha-sang melihat dia dan mereka memutuskan untuk meminta dia menjadi seorang Katolik. Pertama kali dia merasa ragu-ragu, namun kemudian dia menjadi seorang Katolik yang penuh semangat. Ketika Karolus berada di Peking, dia pergi mengunjungi Uskup Peking dan para misionaris lainnya bersama dengan Agustinus dan Paulus. Dia dibaptis dan menerima sakramen Krisma dari para misionaris di Peking dan juga menerima Ekaristi Kudus dari mereka.
Berdasarkan catatan Vatikan, setelah kembali ke Korea, Karolus, bekerja keras bagi Gereja. Dia orang yang rendah hati, baik, dan suka berderma, dan dia menjadi teladan yang baik bagi umat lainnya, dan juga mempertobatkan banyak orang. Dia membawa sedikitnya sepuluh orang kepada Gereja. Seseorang yang paling sulit dipertobatkan yaitu istrinya. Karolus tidak pernah berhenti untuk membujuk dia, dan akhirnya istrinya menjadi seorang Katolik yang luar biasa. Istrinya meninggal dengan bahagia sebagai seorang Katolik. Kemudian, Karolus menikah lagi dengan seorang wanita Katolik lainnya dan melanjutkan karyanya dari dan menuju Peking. Setelah para misionaris datang ke Korea, Karolus ikut membantu mereka, secara khusus membantu Pastor Maubant, Karolus menemani Pastor Maubant dalam kunjungan misinya sebagai seorang asisten dan kadang-kadang sebagai penerjemah.
Karolus pernah berkata bahwa dia ingin mengikuti Jalan Salib. Ketika perjalanan pulang dari Peking, pada musim semi tahun 1839, dia bermimpi bahwa dia melihat Yesus yang berada di antara Rasul Petrus dan Paulus di Gunung Tabor. Dia mendengar bahwa Yesus menjanjikan dia mahkota kemartiran. Juga Karolus mengalami mimpi lainnya yang mirip dengan mimpi itu. Ketika dia pulang ke rumah, dia menyadari bahwa mimpinya itu adalah petunjuk dari Tuhan, dan dia memutuskan pikirannya untuk menjadi seorang martir.
Ketika dia sedang tidak di rumah, polisi menangkap keluarganya dan semua orang yang tinggal di rumahnya, termasuk anak-anak. Setelah dia kembali ke rumah, dia pergi ke markas polisi dan berkata bahwa dia adalah pemilik rumah di mana orang-orang itu telah ditangkap. Sehingga, Karolus juga ditangkap dan dipenjarakan.
Di rumahnya, polisi menemukan banyak buku-buku Katolik, rosario, medali, dan benda-benda rohani, yang semuanya itu dibawa Karolus dari Peking. Kepala polisi bertanya kepada Karolus di mana dia mendapatkan semua benda-benda rohani itu. Karolus berkata bahwa benda-benda rohani itu dibeli ketika dia berada di Peking. Namun Karolus menolak untuk memberitahukan dari siapa dia mendapatkan benda-benda itu, sehingga kepala polisi itu memelintir tangan dan kakinya, menggantung dia dan juga memukuli dia.
Kerika Uskup Imbert ditangkap, Karolus disiksa dengan lebih kejam lagi dan diperintahkan supaya dia memberitahukan keberadaan dua misionaris lainnya yaitu Pastor Maubant dan Pastor Chastan. Kepala polisi juga membawa masuk Uskup Imbert dan menanyai mereka bersama-sama. Karolus dipelintir, digesek dengan menggunakan tali, tulang keringnya dipukul dengan menggunakan gada yang tajam. Namun, Karolus tetap diam. Kepala polisi berkata: “Tubuhnya hanyalah seperti potongan kayu atau besi.” Setelah Pastor Maubant dan Pastor Chastan ditangkap, dia dikirimkan ke pengadilan yang lebih tinggi bersama dengan para misionaris. Di sana dia dipukuli lagi dalam tiga penyiksaan yang berbeda.
Beberapa saat sebelum Karolus dibawa ke tempat eksekusi, dia meminta salah seorang penjaga penjara untuk menyampaikan pesan terakhirnya, dia berkata supaya keluarganya mengikuti dia ke Surga.
Karolus di bawa ke sebelah luar Pintu Gerbang Kecil Barat, dan dia dipenggal pada tanggal 26 September 1839, bersama dengan delapan orang Katolik lainnya. Dia berusia 45 tahun.[1]