Masalah Shandong
Masalah Shandong (Hanzi sederhana: 山东问题; Hanzi tradisional: 山東問題; Pinyin: Shāndōng wèntí, bahasa Jepang: 山東問題, Santō mondai[1]) adalah sengketa yang terkait dengan Pasal 156 Perjanjian Versailles 1919 yang berisi tentang status konsesi di Semenanjung Shandong.
Pada masa Perang Dunia I (1914–18), Tiongkok mendukung Sekutu dengan syarat agar Konsesi Teluk Kiautschou (yang dikendalikan oleh Jerman sebelum akhirnya diduduki Jepang tahun 1914) akan dikembalikan kepada Tiongkok. Namun, pada tahun 1915, Tiongkok terpaksa menyetujui tiga belas dari Dua Puluh Satu Permintaan Jepang, yang salah satunya mengakui kekuasaan Jepang di bekas wilayah Jerman. Britania Raya dan Prancis juga menjanjikan hal yang sama kepada Jepang. Pada akhir tahun 1918, Tiongkok menguatkan kembali penyerahan tersebut dan menerima pembayaran dari Jepang. Pasal 156 Perjanjian Versailles akhirnya menyerahkan wilayah Kiautschou dan hak-hak yang diperoleh Jerman dari perjanjian dengan Tiongkok tahun 1898 kepada Kekaisaran Jepang.[2]
Walaupun setuju dengan permintaan Jepang pada tahun 1915 dan 1918, Tiongkok mengutuk penyerahan wilayah Jerman kepada Jepang di Konferensi Perdamaian Paris 1919 dengan dukungan dari Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson. Duta Besar Tiongkok untuk Prancis Wellington Koo menyatakan bahwa Tiongkok tidak bisa melepaskan Shandong karena merupakan tempat kelahiran Kong Hu Cu, sama seperti orang Kristen tidak bisa melepaskan Yerusalem. Ia menuntut penepatan janji pengembalian Shandong kepada Tiongkok, tetapi upaya ini tidak berhasil. Akibatnya, rakyat Tiongkok pun marah dan berdemo pada 4 Mei 1919, sehingga memicu pergerakan yang disebut Gerakan Empat Mei.
Tiongkok juga menolak menandatangani Perjanjian Versailles, sehingga mereka harus membuat perjanjian perdamaian terpisah dengan Jerman pada tahun 1921. Sengketa Shandong ditengahi oleh Amerika Serikat pada tahun 1922 selama Konferensi Angkatan Laut Washington. Akhirnya wilayah Shandong dikembalikan kepada Tiongkok sesuai dengan Perjanjian Sembilan Negara. Namun, Jepang tetap mendominasi ekonomi dan perkeretaapian di wilayah tersebut.[3]
Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ "山東問題(読み)さんとうもんだい". kotobank.jp.
- ^ A. Whitney Griswold, The Far Eastern Policy of the United States (1938) hlm. 239-68
- ^ Griswold, The Far Eastern Policy of the United States (1938) hlm. 326-28
Bacaan lanjut
[sunting | sunting sumber]- Craft, Stephen G. "John Bassett Moore, Robert Lansing, and the Shandong Question," Pacific Historical Review (1997) 66#2 pp. 231–249 in JSTOR
- Elleman, Bruce A. Wilson and China: a revised history of the Shandong question (ME Sharpe, 2002)
- Fifield, Russell Hunt. Woodrow Wilson and the Far East: the diplomacy of the Shantung question (1952)
- Griswold, A. Whitney The Far Eastern Policy of the United States (1938) pp 239–68
- Kawamura, Noriko. "Wilsonian idealism and Japanese claims at the Paris Peace Conference," Pacific Historical Review (1997) 66$4 pp 503–526.
- MacMillan, Margaret. Paris 1919: Six months that changed the world (2001) pp 322–44.</ref>
- Pugach, Noel H. "American Friendship for China and the Shantung Question at the Washington Conference," Journal of American History (1977) 64#1 pp 67–86. in JSTOR