Lompat ke isi

Masalah kejahatan (filsafat)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Masalah kejahatan)

Masalah kejahatan (bahasa Inggris: problem of evil) adalah pertanyaan filosofis tentang pertentangan antara keberadaan kejahatan dan penderitaan di dunia ini dengan keberadaan Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Baik, dan Maha Mengetahui.[1][2][3] Saat ini, terdapat perbedaan definisi mengenai konsep-konsep ini. Pemaparan masalah kejahatan yang paling terkenal dilajukan oleh filsuf Yunani Epikuros. Kemudian, argumen Epikuros dipopulerkan oleh filsuf David Hume.

Selain didiskusikan dalam bidang filsafat agama, masalah kejahatan juga merupakan topik yang penting dalam bidang teologi dan etika. Ada juga banyak diskursus tentang kejahatan dan masalah terkait di bidang filsafat lainnya, seperti etika sekuler,[4][5][6] dan etika evolusioner.[7][8] Namun seperti yang biasanya dipahami, masalah kejahatan diajukan dalam konteks teologis.[9][10]

Respons terhadap masalah kejahatan secara tradisional diberikan dalam tiga jenis: sanggahan, pembelaan, dan teodisi.

Masalah kejahatan secara umum dirumuskan dalam dua bentuk: masalah logis kejahatan (bahasa inggris: logical problem of evil) dan masalah eviden kejahatan (bahasa inggris: evidential problem of evil). Bentuk logis dari masalah kejahatan berusaha untuk menunjukkan bahwa keberadaan Tuhan dan kejahatan secara bersamaan tidaklah logis[11][12] Sementara itu, masalah eviden kejahatan berusaha untuk menunjukkan bahwa mengingat prevalensi kejahatan di dunia, kemungkinan besar dunia ini tidak diciptakan dan diatur oleh entitas yang Maha Kuasa, Maha Tahu dan Maha Baik.[13] Masalah kejahatan telah diperluas untuk mencakup kehidupan non-manusia, termasuk penderitaan spesies hewan non-manusia akibat kejahatan alam dan kekejaman manusia terhadap mereka.[14]

Kejahatan

[sunting | sunting sumber]

Secara luas, konsep kejahatan didefinisikan sebagai semua bentuk rasa sakit dan penderitaan.[15] Namun, definisi ini dianggap problematik. Marcus Singer mengatakan bahwa definisi kejahatan harus didasarkan pada pengetahuan bahwa: "Jika sesuatu itu benar-benar jahat, maka hal itu tidak perlu ada, dan jika suatu hal itu perlu ada, maka hal itu tidak mungkin jahat".[16]:186 Kemudian, menurut filsuf John Kemp, kejahatan tidak dapat dipahami dengan bersandar pada "skala hedonisme sederhana di mana kesenangan dianggap mempunyai nilai positif, dan rasa sakit mempunyai nilai negatif".[17][15] Institut Kedokteran Nasional Amerika mendeskripsikan rasa sakit sebagai hal yang sangat penting untuk kelangsungan kehidupan: "Tanpa rasa sakit, dunia akan menjadi tempat yang sangat berbahaya".[18][19]

Meskipun banyak argumen yang menentang kemahakuasaan Tuhan didasarkan pada definisi kejahatan secara luas, sebagian besar filsuf kontemporer yang tertarik dengan masalah kejahatan memusatkan perhatian utamanya pada definisi kejahatan dalam arti yang lebih kecil atau sempit.[20] Konsep sempit tentang kejahatan melibatkan pengutukan moral (pengutukan sebuah tindakan), dan hanya bisa diaplikasikan kepada agen moral yang mampu membuat keputusannya sendiri (seperti manusia), dan terhadap tindakan-tindakan yang mereka lakukan; hal ini memungkinkan keberadaan rasa sakit dan penderitaan tanpa perlu mengidentifikasinya sebagai kejahatan.[21]:322

Kejahatan memiliki arti yang berbeda jika dilihat dari sudut pandang sistem kepercayaan yang berbeda, dan meskipun kejahatan dapat dilihat dari sudut pandang agama, kejahatan juga dapat dipahami dari sudut pandang alam atau sekuler, seperti kejahatan sosial, egoisme, kriminalitas, dan sosiopatologi.[22] Filsuf John Kekes menulis bahwa suatu tindakan dikatakan jahat jika memenuhi syarat sebagai berikut:

  1. tindakan tersebut menyebabkan kerugian yang parah;
  2. terdapat korban yang tidak bersalah;
  3. tindakan tersebut disengaja;
  4. tindakan didasari oleh motivasi jahat; dan
  5. tindakan itu tidak dapat dibenarkan secara moral.[23]

Pembelaan dan Teodesi

[sunting | sunting sumber]

Tanggapan terhadap masalah kejahatan kadang diklasifikasikan sebagai pembelaan atau teodisi.[2][3][24] Secara umum, pembelaan mengacu pada upaya untuk menanggapi masalah logis kejahatan.[3] Sebuah pembelaan tidak memerlukan penjelasan lengkap tentang kejahatan, tidak harus benar, dan tidak harus bisa ada; Namun, hanya perlu mungkin ada, karena adanya kemungkinan membatalkan logika ketidakmungkinan.[12]

Di sisi lain, teodisi lebih ambisius, karena mencoba memberikan pembenaran yang masuk akal – alasan yang cukup secara moral atau filosofis – untuk keberadaan Tuhan dan kejahatan secara bersamaan. Teodisi dimaksudkan untuk melemahkan argumen masalah eviden kejahatan yang menggunakan realitas kejahatan untuk menyatakan bahwa keberadaan Tuhan tidak mungkin.[3][25]

Dalam ilmu filsafat, masalah kejahatan didefinisikan sebagai masalah pertentangan antara eksistensi kejahatan dan penderitaan di dunia dengan keyakinan pada Tuhan yang Maha Kuasa, Maha Baik, dan Maha Tahu.[26][25][27][28][29]

Masalah kejahatan dapat dijelaskan secara empiris dan teoritis.[30] Dalam perspektif ini, secara empiris adalah sulit mempercayai konsep Tuhan yang penuh kasih ketika dihadapkan pada realitas kejahatan dan penderitaan di dunia ini, seperti wabah penyakit, peperangan, pembunuhan massal, atau bencana alam yang mana semua hal ini menyebabkan orang-orang yang tidak bersalah menjadi korbannya.[31][32][33] Secara teoritis, terdapat dua macam permasalahan yang umumnya dikaji oleh para sarjana, yaitu permasalahan logika dan permasalahan pembuktian.[30]

Salah satu pernyataan paling awal mengenai masalah kejahatan dapat ditemukan dalam teks-teks Buddhis awal. Dalam Majjhima Nikāya, Sang Buddha (abad ke-6 atau ke-5 SM) menyatakan bahwa jika Tuhan menciptakan makhluk hidup, maka karena rasa sakit dan penderitaan yang mereka alami dalam hidup, kemungkinan besar ia adalah Tuhan yang jahat.[34]

Masalah logis kejahatan

[sunting | sunting sumber]
Pernyataan paling awal mengenai masalah kejahatan sering dikaitkan dengan Epikuros, tetapi hal ini masih tidak pasti.

Masalah kejahatan kemungkinan besar pertama kali diajukan oleh filsuf Yunani Epikuros (341–270 SM).[35] Filsuf David Hume merangkum masalah kejahatan versi Epicurus sebagai berikut: “Apakah Tuhan berkehendak mencegah kejahatan, tetapi tidak mampu? Jika demikian, maka Ia tidaklah Maha Kuasa. Apakah Ia mampu untuk mencegah kejahatan, tetapi tidak berkehendak? Jika demikian, maka Ia mempunyai niat jahat. Apakah Ia mampu dan berkehendak untuk mencegah kejahatan? Jika demikian, mengapa terdapat kejahatan di dunia ini?"[36]

Argumen dari masalah logis kejahatan adalah sebagai berikut:

P1. Jika Tuhan yang Maha Kuasa, Maha Baik, dan Maha Tahu itu ada, maka kejahatan itu tidak ada.

P2. Terdapat kejahatan di dunia.

C1. Oleh karena itu, Tuhan yang Maha Kuasa, Maha Baik, dan Maha Tahu itu tidak ada.

Argumen ini berbentuk modus tollens: Jika premis (P1) benar, maka kesimpulan (C1) adalah benar. Untuk menunjukkan bahwa premis pertama masuk akal, versi selanjutnya memperluas premis tersebut, seperti contoh yang lebih modern ini:[37]

P1a. Tuhan itu ada.

P1b. Tuhan itu Maha Kuasa, Maha Baik, dan Maha Tahu.

P1c. Tuhan Yang Maha Kuasa memiliki segala kekuatan untuk mencegah terjadinya kejahatan.

P1d. Tuhan Yang Maha Baik ingin mencegah segala kejahatan.

P1e. Tuhan Yang Maha Tahu mengetahui segala cara kejahatan dapat terjadi, dan Ia mengetahui segala cara untuk mencegah kejahatan yang dapat terjadi.

P1f. Tuhan yang Maha Tahu segala cara kejahatan dapat terjadi, Maha Kuasa untuk mencegah adanya segala kejahatan, dan Maha Baik untuk berkeinginan mencegah segala kejahatan, akan mencegah terjadinya kejahatan tersebut.

P1. Jika Tuhan itu Maha Kuasa, Maha Baik, dan Maha Tahu, maka tidak ada kejahatan.

P2. Kejahatan itu ada (kontradiksi logis).

Kedua argumen di atas menyajikan dua bentuk masalah logis kejahatan. Keduanya berusaha untuk menunjukkan bahwa premis-premis Maha dari Tuhan berujung pada kontradiksi logis yang tidak semuanya benar. Sebagian besar perdebatan filosofis mengenai hal ini beranggapan bahwa Tuhan ingin mencegah semua kejahatan dan oleh karena itu tidak dapat hidup berdampingan dengan kejahatan apa pun (premis P1d dan P1f), namun terdapat tanggapan terhadap setiap premis (seperti tanggapan Plantinga terhadap P1c), dengan pembelaan dari teisme (misalnya, St. Augustine dan Leibniz) yang berpendapat bahwa Tuhan bisa ada dan membiarkan kejahatan jika terdapat alasan yang baik.

Jika Tuhan tidak memiliki salah satu dari sifat-sifat ini – ke-Maha Tahu-an, ke-Maha Kuasa-an, atau ke-Maha Baik-an – maka masalah logika kejahatan dapat diatasi. Teologi proses dan teisme terbuka adalah perspektif-perspektif modern yang membatasi kemahakuasaan atau kemahatahuan Tuhan (sebagaimana didefinisikan dalam teologi tradisional) berdasarkan kehendak bebas orang lain.

Masalah eviden kejahatan

[sunting | sunting sumber]

Masalah eviden kejahatan (juga disebut sebagai masalah probabilistik atau induktif) berupaya menunjukkan bahwa, walaupun eksistensi kejahatan dan keberadaan Tuhan secara bersamaan memang bisa terjadi; Akan tetapi, eksistensi kejahatan dan keberadaan Tuhan teisme kemungkinan besar tidak bisa terjadi.[42] Baik versi absolut maupun versi relatif dari masalah eviden kejahatan diuraikan di bawah ini:

Versi filsuf William L. Rowe:

  1. Terdapat contoh-contoh penderitaan hebat yang seharusnya dapat dicegah oleh Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Tahu tanpa harus kehilangan kebaikan yang lebih besar, membiarkan kejahatan yang sama buruknya, atau kejahatan yang lebih buruk.
  2. Tuhan yang Maha Tahu dan Maha Baik akan mencegah terjadinya semua penderitaan hebat, kecuali jika ia tidak dapat melakukannya tanpa kehilangan kebaikan yang lebih besar, membiarkan kejahatan yang sama buruknya, atau kejahatan yang lebih buruk.
  3. (Maka) Tuhan yang Maha Kuasa, Maha Tahu, dan Maha Baik tidak ada.[3]

Filsuf Paul Draper menguraikan sebuah versi masalah eviden kejahatan sebagai berikut:

  1. Kejahatan yang tidak beralasan itu ada.
  2. Hipotesis ketidakpedulian (yaitu hipotesis yang mengemukakan bahwa adanya Tuhan yang tidak peduli terhadap kejahatan yang tidak beralasan) adalah penjelasan yang lebih bagus untuk Premis (1) daripada adanya Tuhan yang Maha Kuasa, Maha Tahu, dan Maha Baik.
  3. Maka, bukti lebih condong bahwa Tuhan yang Maha Kuasa, Maha Tahu, dan Maha Baik itu tidak ada.[38]

Teisme skeptis adalah sebuah versi teisme yang menentang premis-premis dalam argumen ini.

Mengikuti Epikuros, filsuf David Hume juga mendiskusikan masalah kejahatan dalam karya-karyanya, An Inquiry Concerning Human Understanding dan Dialogues Concerning Natural Religion. Hume tidak bermaksud untuk membuktikan bahwa Tuhan itu tidak ada. Namun, ia berargumen bahwa meskipun memungkinkan untuk mendamaikan pertentangan antara keberadaan kejahatan dan keberadaan Tuhan, hal ini menyisakan masalah signifikan yang tetap tidak terjawab oleh teisme. Yaitu prevalensi kejahatan dan penderitaan yang parah dan ada dimana-mana di dunia ini tidak dapat dijelaskan dan dibenarkan. Menurutnya, hipotesis yang paling dapat diterima oleh akal sehat adalah bahwa "sumber dari segala sesuatu" bersikap acuh tak acuh baik terhadap kebaikan maupun kejahatan, sama halnya terhadap suhu panas dan suhu dingin. Alam adalah buta dan tidak peduli tentang hal-hal seperti itu dan tidak ada dasar untuk mengasumsikan bahwa dunia ini telah diciptakan untuk kebahagiaan dan kenyamanan manusia atau hewan.[39]

Masalah kejahatan dan penderitaan hewan

[sunting | sunting sumber]
Contoh kejahatan alam yang dikemukakan oleh William L. Rowe: “Di suatu hutan yang jauh, petir menyambar sebuah pohon yang kemudian mengakibatkan kebakaran hutan. Di dalam kobaran api tersebut terdapat seekor anak rusa yang terperangkap, ia terbakar dan terbaring dalam penderitaan yang sangat parah selama beberapa hari sampai ia mati."[40] Rowe juga mengutip contoh kejahatan manusia terhadap seorang anak yang tidak bersalah, sehingga ia menjadi korban kekerasan dan menderita karenanya.[40]

Masalah kejahatan juga diaplikasikan di luar penderitaan manusia. Hal ini mencakup penderitaan hewan akibat kekejaman, penyakit, dan kejahatan alam.[41] Salah satu versi dari masalah ini adalah hewan menderita akibat kejahatan alam, seperti kekerasan dan ketakutan yang disebabkan oleh predator dan bencana alam sepanjang sejarah evolusi.[42] Versi ini disebut sebagai masalah kejahatan Darwinian,[43][44] merujuk pada seorang naturalis dan ahli biologi Charles Darwin yang menulis pada tahun 1856: "Betapa hebatnya buku yang ditulis oleh pendeta Iblis tentang perbuatan alam yang salah dan sangat kejam!". Dalam otobiografinya, ia menulis: "Entitas yang begitu kuat dan penuh pengetahuan seperti Tuhan yang dapat menciptakan alam semesta, adalah Maha Kuasa dan Maha Tahu. Akan tetapi, ini bertentangan dengan pemahaman kita jika kita menganggap bahwa kebaikanNya adalah tidak terbatas, karena keuntungan apa yang ingin dicapai dari penderitaan jutaan hewan yang tidak ada habisnya sepanjang waktu? Argumen yang sangat lama tentang keberadaan penderitaan yang menentang argumen perancangan cerdas keberadaan Tuhan menurut saya merupakan argumen yang kuat".[45][46]

Versi kedua dari masalah kejahatan yang diterapkan pada hewan sebagian disebabkan oleh manusia, misalnya karena kekejaman terhadap hewan atau ketika mereka ditembak atau disembelih. Versi masalah kejahatan ini telah digunakan oleh para sarjana termasuk John Hick untuk menentang respon dan pembelaan terhadap masalah kejahatan seperti penderitaan sebagai sarana untuk mencapai kesempurnaan moral dan kebaikan yang lebih besar. Penentangan terhadap pembelaan terhadap masalah kejahatan didasarkan pada pemahaman bahwa hewan adalah korban yang tidak bersalah dan tidak berdaya, namun dapat merasakan rasa sakit dan penderitaan.[47][48][49] Sarjana Michael Almeida mengatakan penderitaan hewan adalah sebuah versi masalah kejahatan yang "mungkin paling serius".[50]

Argumen Teistik

[sunting | sunting sumber]

Masalah kejahatan merupakan masalah yang serius bagi agama samawi seperti Kristen, Islam, dan Yahudi yang percaya kepada Tuhan yang Maha Kuasa, Maha Tahu, dan Maha Baik;[51][52] Namun, pertanyaan mengapa kejahatan itu ada juga telah dipelajari dalam agama-agama non-teistik atau politeistik, seperti Buddhisme, Hinduisme, dan Jainisme.[25][53] Masalah kejahatan sudah menarik perhatian beberapa filsuf dan teolog untuk menjawabnya. Berikut beberapa tokoh yang membahas tentang masalah kejahatan.

Ibnu Qayyim

[sunting | sunting sumber]

Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, dalam bukunya "Syifa 'ul 'Alil", pernah membahas tentang masalah kejahatan. Dalam menjawab masalah kejahatan, Ibnu Qayyim memberi tiga alasan. Pertama, kejahatan sebagai ujian. Ibnu Qayyim menjelaskan:

"Allah Subhanahu wa ta'ala memberi tahu bahwa Dia telah menciptakan langit, bumi, dan seisinya dengan tujuan untuk menguji kita, siapa di antara kita yang lebih baik amalnya"[54]

Dalil untuk ini ada banyak di Al-Qur'an.[55][56][57] Dalam Islam, ujian-ujian yang akan manusia dapatkan hanyalah ujian yang dapat mereka tanggung.[58][59] Selain itu, ujian-ujian yang dialami manusia dapat menghapus dosa mereka,[60] bahkan dapat mengantarkan mereka ke surga jika mereka sabar.[61] Kedua, kejahatan sebagai jalan kepada kebaikan lainnya. Ibnu Qayyim menjelaskan:

"Seandainya tidak ada ujian dan cobaan, niscaya tidak akan tampak keutamaan dari kesabaran, keridhaan, tawakal, jihad, keberanian, kelembutan, dan maaf... ...Sebaik-baik dan seagung-agungnya pemberian adalah iman dan pahalanya. Iman itu tidak akan terealisasi kecuali melalui ujian dan cobaan."[54]

Di sini, Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa ujian dan cobaan dapat menunjukkan sifat-sifat kebaikan lainnya, seperti kesabaran, tawakal, keberanian, dan sebagainya. Namun, bukan berarti manusia harus sabar dan tidak melakukan apapun ketika musibah atau kejahatan menimpa mereka. Dalam Islam, manusia dituntun untuk selalu bekerja keras[62][63] dan di sinilah letak sifat kebaikannya. Begitu pula dalam menghadapi kejahatan; Dalam Islam, manusia diperintahkan untuk melawan kejahatan[64] dan sesungguhnya, perbuatan manusia, baik yang baik maupun yang buruk, akan mendapatkan balasannya.[65][66][67] Ketiga, kejahatan sebagai bentuk kehikmahan Tuhan. Ibnu Qayyim menjelaskan:

"Pengendalian dan kebijakan Allah Subhanahu wa ta'ala itu senantiasa berputar di poros keadilan, hikmat, dan kemaslahatan. Dan semuanya itu adalah baik, yang karenanya Allah Azza wa Jalla layak mendapatkan pujian dan sanjungan atas kesucian-Nya dari berbagai keburukan dan kejahatan. Dan keburukan itu sama sekali tidak mengarah kepada-Nya... ...Terlalu suci dan tinggi bagi Allah Subhanahu wa ta'ala untuk dinisbatkan keburukan dan kejahatan kepada-Nya, dan semua yang dinisbatkan kepada-Nya adalah baik. Sesuatu itu disebut buruk, karena terputusnya penisbatan kepada-Nya. Seandainya sesuatu yang buruk itu dinisbatkan kepada-Nya, maka ia tidak akan pernah menjadi buruk"[54]

Dalam hal ini, Ibnu Qayyim membawa salah satu sifat Tuhan dalam agama islam — yaitu Maha Bijaksana — untuk menjawab masalah kejahatan. Dengan demikian, Ibnu Qayyim menolak pembatasan sifat Tuhan hanya kepada tiga sifat, padahal (dalam Islam) Tuhan memiliki sifat lainnya, seperti Maha Bijaksana dan Maha Adil. Maksud dari argumen ini, yaitu segala perbuatan Tuhan pasti ada hikmahnya. Dengan demikian, "kejahatan murni", ketika dinisbatkan kepada Tuhan, tidak mungkin ada.

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Tuling, Kari H. (2020). "Part 1: Is God the Creator and Source of All Being – Including Evil?". Dalam Tuling, Kari H. Thinking about God: Jewish Views. JPS Essential Judaism Series. Lincoln and Philadelphia: University of Nebraska Press/Jewish Publication Society. hlm. 3–64. doi:10.2307/j.ctv13796z1.5. ISBN 978-0-8276-1848-0. LCCN 2019042781. 
  2. ^ a b The Stanford Encyclopedia of Philosophy, "The Problem of Evil", Michael Tooley
  3. ^ a b c d e The Internet Encyclopedia of Philosophy, "The Evidential Problem of Evil", Nick Trakakis
  4. ^ Nicholas J. Rengger, Moral Evil and International Relations, in SAIS Review 25:1, Winter/Spring 2005, pp. 3–16
  5. ^ Peter Kivy, Melville's Billy and the Secular Problem of Evil: the Worm in the Bud, in The Monist (1980), 63
  6. ^ Kekes, John (1990). Facing Evil. Princeton: Princeton UP. ISBN 978-0-691-07370-5. 
  7. ^ Timothy Anders, The Evolution of Evil (2000)
  8. ^ Becker, Lawrence C.; Becker, Charlotte B. (2013). Encyclopedia of Ethics. Routledge. hlm. 147–149. ISBN 978-1-135-35096-3. 
  9. ^ The Stanford Encyclopedia of Philosophy, "The Problem of Evil", Michael Tooley
  10. ^ The Internet Encyclopedia of Philosophy, "The Evidential Problem of Evil", Nick Trakakis
  11. ^ The Stanford Encyclopedia of Philosophy, "The Problem of Evil", Michael Tooley
  12. ^ a b The Internet Encyclopedia of Philosophy, "The Logical Problem of Evil", James R. Beebe
  13. ^ The Internet Encyclopedia of Philosophy, "The Evidential Problem of Evil", Nick Trakakis
  14. ^ Peter van Inwagen (2008). The Problem of Evil. Oxford University Press. hlm. 120, 123–126, context: 120–133. ISBN 978-0-19-954397-7. 
  15. ^ a b Calder, Todd (26 November 2013). "The Concept of Evil". Stanford Encyclopedia of Philosophy. Stanford University. Diakses tanggal 17 January 2021. 
  16. ^ Marcus G. Singer, Marcus G. Singer (April 2004). "The Concept of Evil". Philosophy. Cambridge University Press. 79 (308): 185–214. doi:10.1017/S0031819104000233. JSTOR 3751971. 
  17. ^ Kemp, John (25 February 2009). "Pain and Evil". Philosophy. 29 (108): 13. doi:10.1017/S0031819100022105. Diakses tanggal 8 January 2021. 
  18. ^ Committee on Advancing Pain Research, Care, and Education, Institute of Medicine (US). "Relieving Pain in America: A Blueprint for Transforming Prevention, Care, Education, and Research". NCBI Bookshelf. National Academies Press (US). Diakses tanggal 21 February 2021. 
  19. ^ "Reviews". The Humane Review. E. Bell. 2 (5–8): 374. 1901. 
  20. ^ Calder, Todd C. (2007). "Is the Privation Theory of Evil Dead?". American Philosophical Quarterly. 44 (4): 371–381. JSTOR 20464387. 
  21. ^ Garrard, Eve (April 2002). "Evil as an Explanatory Concept" (PDF). The Monist. Oxford University Press. 85 (2): 320–336. doi:10.5840/monist200285219. JSTOR 27903775. 
  22. ^ Rorty, Amélie Oksenberg. Introduction. The Many Faces of Evil: Historical Perspectives. Ed. Amélie Oksenberg Rorty. London: Routledge, 2001. xi–xviii.[tanpa ISBN]
  23. ^ Kekes, John (2017). "29, The Secular Problem of Evil". Dalam Bar-Am, Nimrod; Gattei, Stefano. Encouraging Openness: Essays for Joseph Agassi on the Occasion of His 90th Birthday. Springer. hlm. 351. ISBN 9783319576695. 
  24. ^ Honderich, Ted (2005). "theodicy". The Oxford Companion to Philosophy. ISBN 978-0-19-926479-7. 
  25. ^ a b c Harvey, Peter (2013). An Introduction to Buddhism: Teachings, History and Practices. Cambridge University Press. hlm. 37, 141. ISBN 978-0-521-85942-4. 
  26. ^ The Internet Encyclopedia of Philosophy, "The Evidential Problem of Evil", Nick Trakakis
  27. ^ Gregory A. Boyd (2003), Is God to Blame? (InterVarsity Press), ISBN 978-0830823949, pp. 55–58
  28. ^ Peter van Inwagen (2008). The Problem of Evil. Oxford University Press. hlm. 6–10, 22, 26–30. ISBN 978-0-19-954397-7. 
  29. ^ Edwards, Linda (2001). A Brief Guide to Beliefs: Ideas, Theologies, Mysteries, and MovementsPerlu mendaftar (gratis). Westminster John Knox Press. hlm. 59. ISBN 978-0-664-22259-8. 
  30. ^ a b The Internet Encyclopedia of Philosophy, "The Evidential Problem of Evil", Nick Trakakis
  31. ^ Swinton, John (2007). Raging with Compassion: Pastoral Responses to the Problem of Evil. Wm. B. Eerdmans. hlm. 33–35, 119, 143. ISBN 978-0-8028-2997-9. 
  32. ^ Neiman, Susan (2004). Evil in Modern Thought: An Alternative History of Philosophy. Princeton University Press. hlm. 119–120, 318–322. ISBN 978-0691117928. 
  33. ^ Micha de Winter (2012). Socialization and Civil Society. Springer. hlm. 69–70. ISBN 978-94-6209-092-7. 
  34. ^ Westerhoff, Jan. “Creation in Buddhism” in Oliver, Simon. The Oxford Handbook of Creation, Oxford University Press, Oxford, forthcoming
  35. ^ The formulation may have been wrongly attributed to Epicurus by Lactantius, who, from his Christian perspective, regarded Epicurus as an atheist. According to Mark Joseph Larrimore, (2001), The Problem of Evil, pp. xix–xxi. Wiley-Blackwell. According to Reinhold F. Glei, it is settled that the argument of theodicy is from an academical source which is not only not epicurean, but even anti-epicurean. Reinhold F. Glei, Et invidus et inbecillus. Das angebliche Epikurfragment bei Laktanz, De ira dei 13, 20–21, in: Vigiliae Christianae 42 (1988), pp. 47–58
  36. ^ Hickson, Michael W. (2014). "A Brief History of Problems of Evil". Dalam McBrayer, Justin P.; Howard-Snyder, Daniel. The Blackwell Companion to The Problem of Evil. Hoboken, New Jersey: Wiley-Blackwell. hlm. 6–7. ISBN 978-1-118-60797-8. 
  37. ^ The Internet Encyclopedia of Philosophy, "The Evidential Problem of Evil", Nick Trakakis
  38. ^ Draper, Paul (1989). "Pain and Pleasure: An Evidential Problem for Theists". Noûs. 23 (3): 331–350. doi:10.2307/2215486. JSTOR 2215486. 
  39. ^ Russell, Paul; Kraal, Anders (2021). Zalta, Edward N., ed. Hume on Religion (edisi ke-Winter 2021). Metaphysics Research Lab, Stanford University. 
  40. ^ a b Rowe, William L. (1979). "The Problem of Evil and Some Varieties of Atheism". American Philosophical Quarterly. 16: 336–337. 
  41. ^ Peter van Inwagen (2008). The Problem of Evil. Oxford University Press. hlm. 120, 123–126, context: 120–133. ISBN 978-0-19-954397-7. 
  42. ^ Nicola Hoggard Creegan (2013). Animal Suffering and the Problem of Evil. Oxford University Press. hlm. 44–55. ISBN 978-0-19-993185-9. 
  43. ^ Murray, Michael (2008). Nature Red in Tooth and Claw: Theism and the Problem of Animal SufferingPerlu mendaftar (gratis). Oxford University Press. hlm. 8. ISBN 978-0-19-155327-1. 
  44. ^ Almeida, Michael J. (2012). Freedom, God, and Worlds. Oxford University Press. hlm. 193–194. ISBN 978-0-19-964002-7. 
  45. ^ Murray, Michael (2008). Nature Red in Tooth and Claw: Theism and the Problem of Animal SufferingPerlu mendaftar (gratis). Oxford University Press. hlm. 2. ISBN 978-0-19-155327-1. , cites letter to J. D. Hooker (Darwin Correspondence Project, "Letter no. 1924," accessed on 9 May 2021, https://www.darwinproject.ac.uk/letter/DCP-LETT-1924.xml)
  46. ^ Darwin, Charles (1958). Barlow, Nora, ed. The Autobiography of Charles Darwin 1809–1882. With the original omissions restored. Edited and with appendix and notes by his granddaughter Nora Barlow. darwin-online.org.uk. London: Collins. hlm. 90. Diakses tanggal 2021-05-09. 
  47. ^ Peter van Inwagen (2008). The Problem of Evil. Oxford University Press. hlm. 120, 123–126, context: 120–133. ISBN 978-0-19-954397-7. 
  48. ^ Allen, Diogenes (1990). Marilyn McCord Adams and Robert Merrihew Adams, ed. The Problem of Evil. Oxford University Press. hlm. 204–206. ISBN 978-0-19-824866-8. 
  49. ^ Rowe, William L. (2007). William L. Rowe on Philosophy of Religion: Selected Writings. Ashgate. hlm. 61–64 (the fawn's suffering example). ISBN 978-0-7546-5558-9. 
  50. ^ Almeida, Michael J. (2012). Freedom, God, and Worlds. Oxford University Press. hlm. 193–194. ISBN 978-0-19-964002-7. 
  51. ^ Hume, David. Dialogues Concerning Natural Religion. Project Gutenberg. 
  52. ^ Brians, Paul. "Problem of Evil". Washington State University. 
  53. ^ Herman, Arthur L. (2000). The problem of evil and Indian thought (edisi ke-2. ed., repr). Delhi: Motilal Banarsidass. ISBN 978-81-208-0753-2. 
  54. ^ a b c Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim (2000). Qadha dan Qadar: Ulasan Tuntas Masalah Takdir. Jakarta: Pustaka Azzam. hlm. 409–410. 533–541. 599. 
  55. ^ Al-Qur'an, 67:2
  56. ^ Al-Qur'an, 29:35
  57. ^ Al-Qur'an, 2:214
  58. ^ Al-Qur'an, 2:186
  59. ^ Al-Qur'an, 94:5-6
  60. ^ "Sahih al-Bukhari 5642". 
  61. ^ Al-Qur'an, 76:12
  62. ^ Al-Qur'an, 94:7
  63. ^ Al-Qur'an, 13:11
  64. ^ "Sahih Muslim 49". 
  65. ^ Al-Qur'an, 45:21
  66. ^ Al-Qur'an, 31:16
  67. ^ Al-Qur'an, 53:31