Mendam Berahi
Sebuah galai Melayu abad ke-16. Ini bukan Mendam Berahi, tapi gambaran ini menggambarkan seperti apa ghali Melayu saat itu.
| |
Sejarah | |
---|---|
Kesultanan Melaka | |
Nama | Mendam Berahi |
Asal nama | Mabuk asmara,[1] keinginan terpendam, hasrat yang terpendam[2] |
Ciri-ciri umum | |
Kelas dan jenis | Ghali/galai |
Panjang | 180 ft (54,9 m)[3] |
Lebar | 36 ft (11,0 m)[3] |
Senjata | 7 laras meriam |
Mendam Berahi merupakan sebuah kapal legenda berjenis galai kerajaan (bahasa Melayu Klasik: Ghali kenaikan raja) yang diyakini digunakan pada masa Kesultanan Melaka pada awal abad ke-16. Kapal ini sebenarnya hanyalah kapal fiksi karena hanya tercatat dalam literatur wiracarita Hikayat Hang Tuah, dan jenis kapal itu, ghali, baru ada setelah 1530-an.
Etimologi
[sunting | sunting sumber]Nama Mendam Berahi aslinya bukan berasal dari bahasa Melayu, melainkan berasal dari kata bahasa Jawa dan Sunda mendem birahi. Mungkin juga berasal dari kata bahasa Kawi (Jawa Kuno) dan kata bahasa Jawa mendam brahi,[4] yang berarti mabuk asmara.[1]
Historiografi dan keaslian
[sunting | sunting sumber]Mendam Berahi hanya disebut dalam Hikayat Hang Tuah, dan manuskrip Melayu lain tidak pernah menyinggung keberadaannya.[5][6] Catatan Portugis sezaman menunjukkan bahwa galai muncul di armada lokal pada akhir tahun 1530-an, sebelumnya kapal andalan armada Melayu adalah lancaran. Baru pada tahun 1560-an penggunaan ghali semakin meluas, kebanyakan digunakan oleh orang Aceh, bukan Melayu. Kata “ghali” sendiri merupakan kata serapan dari bahasa Portugis, sehingga keberadaan ghali pada masa kejayaan kesultanan Melaka merupakan anakronisme.[7][8][6] Penduduk asli semenanjung Melayu tidak menggunakan kapal besar. Dalam peperangan laut, orang Melayu menggunakan lancaran dan banting, digerakkan oleh dayung dada (dayung pendek) dan 2 tiang layar, dengan 2 kemudi (satu di kedua sisi lambung kapal). Orang Melayu tidak terbiasa mengarungi samudra, mereka hanya melakukan pelayaran pesisir menyusuri pantai semenanjung Melayu.[9] Menurut Afonso de Albuquerque, saat Portugis menyerang Kesultanan Melaka pada tahun 1511 orang Melayu dari Melaka menggunakan lancaran (lanchara) dengan jumlah tidak disebutkan dan dua puluh penjajap (pangajaoa) untuk melawan Portugis.[10][11]
Orang-orang Melaka tidak menghadapi Portugis dalam pertempuran terbuka di laut antara kapal dengan kapal pada pertemuan mereka tahun 1509 seperti yang diklaim dalam Hikayat Hang Tuah, tetapi menangkap Portugis saat tidak siap dengan menggunakan penyamaran, pengkhianatan, dan penyergapan untuk menangkap delegasi Portugis.[12]
Catatan mengenai kapal ini hanya terdapat dalam Hikayat Hang Tuah, catatan Melayu lain seperti Sejarah Melayu tidak mencatatnya.[7] Malah catatan Portugis tidak mencatat Mendam Berahi, meskipun rujukan kepada satu kapal besar dapat dilihat dalam Suma Oriental karya Tomé Pires, di mana beliau menyebut tentang "flagship" (kapal utama) Melaka yang membawa banyak bombard. Kapal ini, bagaimanapun, tidak mesti Mendam Berahi, bisa jadi ia adalah kapal lain.[13][Catatan 1] Hikayat Hang Tuah mencatat bahwa kisah Hang Tuah berada dalam garis waktu yang sama dengan Raden Inu dari Kerajaan Janggala (1042–1135) dan menyebut bahwa Sultan Melaka ingin menikah dengan Raden Galuh Cendera Kirana. Kisah ini sejatinya diadaptasi dari cerita Panji Jawa, dan cerita Hikayat Hang Tuah dapat disimpulkan mitos belaka.[14][15][16]
Karena Mendam Berahi merupakan kapal yang cukup besar, ia sering dijadikan bukti keahlian orang Melayu dalam pembuatan kapal oleh sarjana dan politisi Malaysia modern,[17] sampai-sampai banyak orang mengira kapal itu benar-benar ada.[4] Namun, pengecekan terhadap bukti yang ada menunjukkan bahwa anggapan itu salah: Kapal ini adalah kapal fiksi, dan kapal-kapal besar Nusantara tidak dibangun oleh orang Melayu atau Kesultanan Melaka. Melaka hanya memproduksi kapal kecil, bukan kapal besar. Industri pembuatan kapal besar tidak ada di Melaka — industri mereka tidak mampu memproduksi kapal laut dalam; hanya perahu kecil, ringan, dan dapat berlayar cepat. Orang-orang Melaka membeli kapal besar (jong) dari daerah lain di Asia Tenggara, yakni dari Jawa dan Pegu, mereka tidak memproduksinya.[18][19][20][6][21]
Hikayat Hang Tuah dikarang setelah abad ke-17, lebih dari 100 tahun setelah kejatuhan Melaka.[22] Meskipun Hikayat Hang Tuah mengisahkan cerita berlatar kesultanan Melaka (1400–1511), ia sebenarnya merefleksikan kejadian yang terjadi pada kesultanan Johor pada abad ke-17, lebih rincinya berdasar pada masa keemasan Johor pada 1640-an hingga 1670-an. Tokoh utamanya, Hang Tuah, adalah tokoh fiktif, namun sebagian kisahnya ditulis berdasarkan kisah nyata Laksamana Abd al-Jamil (Tun Abdul Jamil) dari Johor.[23] Kisah pelayaran utusan Melaka ke negara Rum (Turki Usmani) untuk membeli meriam jelas tidak pernah terjadi, ia sebenarnya didasarkan pada beberapa pengiriman duta-duta Aceh ke Turki Ustmani pada abad ke-16.[24]
Deskripsi
[sunting | sunting sumber]Kapal Mendam Berahi panjangnya 60 gaz (180 kaki atau 54,9 m)[Catatan 2] dan lebar 6 depa (36 kaki atau 11 m).[25] Menurut kajian Rohaidah Kamaruddin, penukaran satuan yang disebutkan dalam manuskrip Melayu lama akan menghasilkan panjang 50,292 m dan lebar 10,9728 m.[26] Menurut Irawan Djoko Nugroho, panjangnya ialah 50 m dan lebarnya 12 meter,[21] manakala Pierre-Yves Manguin memperkirakan 67 m panjang dan 11 m lebar, dengan rasio panjang dan lebar yang biasa terdapat di kapal galai yaitu kira-kira 7:1.[7] Kapal ini dipersenjatai dengan 7 buah meriam.[27][21][28]
Kapal ini dibuat dengan kerangka yang kuat, dindingnya dibuat sangat indah dengan diberi lis (bingkai) dari kayu, dan ditutupi oleh kain beledu berwarna kuning, merah, dan hijau.[29] Atapnya (kemungkinan disini bermaksud atap dari kabin belakangnya) terbuat dari kaca kuning dan merah, dengan beberapa pola yang menggambarkan awan dan petir. Hiasan lain pada kapal itu adalah kain kuning kerajaan dan sebuah kursi singgasana.[30]
Mendam Berahi berada di bawah kendali Laksamana Hang Tuah saat ia melakukan perjalanan ke 14 negara atau kota. Kapal ini disebutkan digunakan untuk menjalin hubungan dengan negara asing, perdagangan, dan angkutan umum seperti khususnya untuk membawa jemaah haji ke Makkah.[31] Perjalanan ke Mekah selama berbulan-bulan membutuhkan persediaan makanan yang konstan. Dikarenakan Mendam Berahi tidak dapat mengangkut makanan, air dan kebutuhan lainnya dalam jumlah banyak, maka kapal akan berlabuh di pelabuhan untuk mendapatkan perbekalan sekaligus berlindung dari cuaca buruk.[32]
Kapal ini khusus dibangun untuk membawa pesan kepada raja Majapahit akan keinginan raja Melaka untuk menikahi putri raja Majapahit.[33][34][35] Walau bagaimanapun, peristiwa peminangan tersebut sebenarnya karangan belaka karena Gajah Mada, yang disebut dalam cerita, sudah meninggal dunia ketika itu.[36][37]
Cerita menurut Hikayat Hang Tuah
[sunting | sunting sumber]Dalam Hikayat Hang Tuah, diceritakan bahwa kapal ini dibuat untuk keperluan raja Melaka[Catatan 3] melamar putri Majapahit, bernama Raden Galuh Cendera Kirana[38] (atau Raden Mas Ayu di versi lain),[39] yang digambarkan memiliki wajah secantik bulan purnama yang bercahaya dan tubuh semurni emas.[40] Pembangunan kapal ini memakan waktu 30−40 hari. Untuk mempercepat pekerjaan, sang Bendahara Melaka membaginya dalam beberapa kelompok: Hang Tuah mengerjakan haluan, para pembuat kapal ditunjuk mengerjakan bagian tengah, dan Bendahara mengerjakan buritan kapal.[29] Pola hiasan dirancang oleh Hang Tuah, dan untuk ruang di antara tiang utama dan buritan dirancang oleh Bendahara Paduka Raja, dari haluan ke tiang utama juga dirancang oleh Hang Tuah, sedangkan Hang Jebat, Hang Lekir, Hang Lekiu serta semua penyanyi dan budak kerajaan mengerjakan ukirannya. Hang Tuah adalah orang yang mengusulkan penamaan "Mendam Berahi" untuk kapal ini.[30]
Setelah selesai dibangun, Mendam Berahi berlayar ke Majapahit untuk membawa surat dan hadiah pada Betara (raja) Majapahit untuk menyampaikan keinginan raja Melaka. Berangkatnya Mendam berahi diawali dengan tembakan bedil sebagai penghormatan. Saat tiba di Majapahit, armada utusan Melaka menandakan kedatangannya dengan menembakkan bedil, yang membuat takut nelayan. Patih Karma Wijaya dan Hang Tuah memberi tahu bahwa ada tujuh kapal Melaka yang datang, bertujuan untuk melamar putri raja Majapahit.[41][42] Beberapa cobaan dan ujian diberikan kepada rombongan Melayu untuk menguji kualitas mereka, dan pada akhirnya Hang Tuah diberikan gelar laksamana (bahasa Jawa: Penggawa agung) oleh Betara Majapahit.[43][44]
Setelah urusan di Majapahit selesai, Mendam Berahi berlayar ke Tuban selama 7 hari, dan ke Jayakarta 3 hari 3 malam. Patih Karma Wijaya tetap tinggal di Jayakarta selama 7 hari menunggu kapal yang lain. Setelah semua kapal berkumpul mereka berlayar dan tiba di Palembang dalam beberapa hari. Patih Karma Wijaya dan Hang Tuah berhenti menunggu kapal-kapal yang lain. Setelah semua tiba, mereka berlayar menuju Melaka.[45][46]
Sebelum raja Melaka pergi ke Jawa untuk menikahi putri Majapahit, beliau memerintahkan untuk dibuatkan 1 kapal lagi. Kapal ini didesain dengan bentuk Kumbang Nuri karena diperuntukkan untuk calon ratu Melaka dan dayang-dayangnya, selain itu juga karena desain itu dapat membawa beberapa meriam. Kapal itu dinamai Kota Segara Kuning (atau hanya Kota Segara) oleh sang raja.[47][48] Rombongan kerajaan Melaka pergi berlayar ke Majapahit, sang raja dengan Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu menaiki Kota Segara, sedangan Patih Kerma Wijaya, Tun Bija Sura, dan semua pesuruh dan pembawa tanda kerajaan menaiki Mendam Berahi.[49][50] Setelah pernikahan usai, Mendam Berahi kembali ke Melaka dengan rute Tuban-Jayakarta-Palembang. Sesampainya di Palembang, sang raja Melaka mendapat kabar bahwa Sang Jaya Nantaka[Catatan 4] telah mengirim 30 perahu dari Keling[Catatan 5] untuk menyampaikan kabarnya ke Melaka, tetapi 20 diantaranya dihancurkan Portugis.[51][52]
Setelah beberapa waktu, Mendam Berahi digunakan oleh laksamana Hang Tuah untuk pergi ke Inderapura untuk mengkonfirmasi apakah Megat Terenggano, yang sedang berada di Inderapura, memang akan menyerang Melaka.[53] Mendam Berahi juga digunakan Hang Tuah, Hang Jebat, dan Hang Kesturi untuk menghadap Majapahit, setelah datang utusan Majapahit bernama Rangga dan Barit Ketika mempertanyakan raja Melaka kenapa beliau tidak mengirim utusan kepada Majapahit. Hang Tuah menjawab bahwa alasan Melaka tidak mengirim utusan ke Majapahit adalah karena Melaka akan diserang oleh Megat Terenggano dan Raja Inderapura.[54] Setelah urusan di Majapahit selesai, Mendam Berahi digunakan Hang Tuah untuk pergi ke benua Keling menanyakan kabar adik raja Melaka (Sang Jaya Nantaka) bersama dengan Tun Kesturi yang tahu bahasa Keling, dan telah dianugerahi nama Maharaja Setia.[55] Mendam Berahi juga digunakan untuk menyerang negeri Inderapura.[56]
Saat datangnya Portugis di Melaka (1509), laksamana Hang Tuah sedang sakit. Mendam Berahi berada di bawah komando Maharaja Setia. Mendam Berahi berhasil menabrak dan menenggelamkan 2 buah jalilah (sejenis kapal) Portugis. Melihat bahwa mereka kalah jumlah, armada Melaka mundur ke Melaka dan meminta laksamana Hang Tuah ikut berperang. Hang Tuah akhirnya setuju untuk ikut pertempuran. Kedua armada bertemu dan menyerang satu sama lain. Pada akhirnya, Hang Tuah tertembak dan jatuh ke air, sebelum akhirnya ditolong prajurit naik ke Mendam Berahi. Armada Melaka melarikan diri ke Melaka, tetapi melihat pemimpinnya juga terluka dan meminta dibawa kembali ke Portugal, armada Portugis juga mundur.[57]
Dengan ancaman Portugis, raja Melaka memerintahkan laksamana Hang Tuah dan Maharaja Setia pergi ke benua Rum (Turki Ustmani) untuk membeli bedil dan meriam-meriam besar. Hang Tuah pergi naik Mendam Berahi dengan disertai dengan banyak perahu. Setelah 5 hari 5 malam ia sampai di Aceh, singgah di sana selama sekitar 12 hari. Setelah mendapat perbekalan yang cukup, Hang Tuah pergi ke pulau Dewa (Maladewa), sampai di sana setelah kira-kira 10 hari. Setelah berlayar 2 bulan, Mendam Berahi sampai di Jeddah. Hang Tuah, Maharaja Setia, dan rombongannya berlabuh untuk beberapa saat, berniat ke makam Siti Hawa. Mereka mencapainya dengan berjalan kaki 2 hari 2 malam ke Makkah, dan mengerjakan rukun Haji. Mereka juga pergi ke Madinah untuk menziarahi makam Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Sekembalinya dari ziarah, rombongan berlayar 20 hari ke Mesir, dan singgah disana kira-kira 3 bulan lamanya untuk membeli bedil dan memuatkannya ke atas perahu. Hikayat Hang Tuah juga menceritakan bagaimana rombongan perahu dan kapal Melaka berlayar 17 hari dan sampai di Istanbul, namun sejatinya rute ini tidak dapat dilalui karena terusan Suez belum ada pada waktu itu.[58] Walau bagaimanapun, di Rum mereka berhasil membeli sekitar 800 buah bedil ukuran besar dan kecil, ditambah 120 yang sebelumnya dibeli di Mesir.[59] Rombongan sampai kembali di Melaka setelah sekitar 4 bulan berlayar.[60]
Replika
[sunting | sunting sumber]Replika Mendam Berahi akan dibangun kembali di Klebang oleh tim ahli sejarah senilai 10 juta ringgit Malaysia. Proyek ini diharapkan memakan waktu 2 tahun untuk menyelesaikannya.[61][62][63]
Institut Penyelidikan Matematik Universiti Putra Malaysia mengetuai projek penelitian dan pembuatan kapal ini berdasarkan kajian manuskrip-manuskrip lama yang diperoleh dari seluruh dunia yang menjelaskan rupa kapal tersebut; informasi dikumpulkan kemudian diubah ke dalam bahasa dan ukuran modern. Projek tersebut diperkirakan siap pada tahun 2023.[26]
Ada juga sarjana Malaysia yang tidak setuju dengan pembuatan replika kapal Mendam Berahi. Prof. Dr. Ahmad Jelani Halimi melakukan penelitian dan mengambil kesimpulan bahwa kapal jenis ghali (galai) tidak pernah digunakan oleh Kesultanan Melaka pada zaman keemasannya. Kapal jenis galai baru diperkenalkan Portugis ke kawasan Nusantara setelah kejatuhan Melaka pada 1511, dan catatan mengenai Mendam Berahi hanya terdapat pada 1 karya sastra saja dari sumber yang tidak sezaman (Hikayat Hang Tuah), tanpa sumber pembanding dan pendukung.[6]
Lihat juga
[sunting | sunting sumber]- Argo, sebuah kapal mitologi Yunani
- Flying Dutchman, kapal hantu legendaris
Catatan
[sunting | sunting sumber]- ^ Menurut Hikayat Hang Tuah, kesultanan Melaka memiliki kapal lain yang bernama Kota Segara (berarti benteng lautan), yang dibangun setelah Mendam Berahi kembali dari Majapahit dan digunakan mengantar rombongan kerajaan Melaka untuk menikahi putri Majapahit. Kapal ini dirancang dengan desain khusus untuk dapat membawa beberapa meriam. Lihat Schap 2010a, hlm. 126–127 dan Salleh 2013, hlm. 264–265.
- ^ 1 gaz Melayu sama dengan 33–35 inci atau 3 kaki. Lihat "gaz". Kamus Dewan (edisi ke-ke-4). Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia. 2017. hlm. 383.
- ^ Nama raja Melaka yang meminta pembuatan kapal ini tidak dicatat. Beberapa orang meyakini ia adalah Mansur Shah (berkuasa 1459−1477), tetapi kronologis dalam Hikayat Hang Tuah sejatinya kacau: Bangsa Portugis dan bahasanya sudah dikenal pada masa ini (padahal Portugis baru datang pada 1509), selain itu dikisahkan bahwa Hang Tuah hidup sezaman dengan Gajah Mada (meninggal tahun 1364). Walau bagaimanapun, keberadaan Portugis mengindikasikan bahwa kapal ini konon ada antara tahun 1509−1511 dalam cerita. Lihat Adam 2016, hlm. 149−150.
- ^ Sang Jaya Nantaka adalah adik dari raja Melaka yang diusir dari kerajaan itu oleh kakaknya karena dikabarkan akan menggulingkan sang raja. Sang Jaya Nantaka akhirnya diantar oleh seorang saudagar ke benua Keling (India) dan diangkat menjadi raja di sana. Sang Jaya Nantaka tetap mengirim kabar kepada kakaknya di Melaka setelah menjadi raja. Lihat Schap 2010a, hlm. 76–99 dan Salleh 2013, hlm. 175–216.
- ^ Kalinga, wilayah di sekitar Pantai Koromandel di India, dalam hikayat ini adalah Bijaya Nagaram, negeri Keling, Provinsi Madras, India.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b Adam 2021, hlm. 1.
- ^ Salleh 2013, hlm. 227, 388.
- ^ a b Musa, Hashim (2019). Teknologi perkapalan Melayu tradisional: Jong dan Ghali meredah tujuh lautan. In: Persidangan Antarabangsa Manuskrip Melayu 2019, 15-17 Oktober 2019, Auditorium, Pepustakaan Negara Malaysia. p. 18.
- ^ a b Adam 2018, hlm. 36.
- ^ Institut Penyelidikan Matematik (2022). Akhirnya Kapal Hang Tuah - Mendam Berahi Akan di Bina Semula [Siaran pers]. https://www.youtube.com/watch?v=FDyjjhhUoHI
- ^ a b c d Halimi, Ahmad Jelani (2023, June 20). Mendam Berahi: Antara Realiti dan Mitos [Seminar presentation]. Kapal Mendam Berahi: Realiti atau Mitos?, Melaka International Trade Centre (MITC), Malacca, Malaysia. https://www.youtube.com/watch?v=Uq3OsSc56Kk
- ^ a b c Manguin, Pierre-Yves (2012). Lancaran, Ghurab and Ghali. In G. Wade & L. Tana (Eds.), Anthony Reid and the Study of the Southeast Asian Past (pp. 146-182). Singapore: ISEAS Publishing.
- ^ Reid, Anthony, ed. (1993). Southeast Asia in the Early Modern Era. Ithaca: Cornell University Press.
- ^ Mills 1930, hlm. 36.
- ^ Albuquerque 1774, hlm. 80–81.
- ^ Birch 1875, hlm. 68.
- ^ Koek 1886, hlm. 121-122.
- ^ Cortesão, Armando (1944). The Suma oriental of Tomé Pires : an account of the East, from the Red Sea to Japan, written in Malacca and India in 1512-1515 ; and, the book of Francisco Rodrigues, rutter of a voyage in the Red Sea, nautical rules, almanack and maps, written and drawn in the East before 1515 volume II. London: The Hakluyt Society. Artikel ini memuat teks dari sumber tersebut, yang berada dalam ranah publik.
- ^ Schap 2010, hlm. 44, 64.
- ^ Salleh 2013, hlm. 121.
- ^ Adam 2016, hlm. 88, 150, 179.
- ^ Yaapar, Md. Salleh (2019). "Malay Navigation and Maritime Trade: A Journey Through Anthropology and History". IIUM Journal of Religion and Civilisational Studies. 2: 53–72.
- ^ Meilink-Roelofsz, Marie Antoinette Petronella (1962). Asian trade and European influence in the Indonesian Archipelago between 1500 and about 1630. The Hague: Martinus Nijhoff.
- ^ Halimi 1999, hlm. 224.
- ^ Arifin, Azmi; Ismail, Abdul Rahman Haji; Ahmad, Abu Talib, ed. (2021). Kesultanan Melayu Melaka: Warisan, Tradisi dan Persejarahan. Penerbit USM. ISBN 9789674616069.
- ^ a b c Nugroho, Irawan Djoko (2011). Majapahit Peradaban Maritim. Suluh Nuswantara Bakti. ISBN 978-602-9346-00-8.
- ^ Salleh 2013, hlm. 17, 39.
- ^ Braginsky, V.I. (1990). "Hikayat Hang Tuah; Malay epic and muslim mirror; Some considerations on its date, meaning and structure". Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia. 146 (4): 399–412. doi:10.1163/22134379-90003207. ISSN 0006-2294.
- ^ Braginsky, Vladimir (2012-12-08). "Co-opting the Rival Ca(n)non the Turkish Episode of Hikayat Hang Tuah". Malay Literature. 25 (2): 229–260. doi:10.37052/ml.25(2)no5. ISSN 0128-1186.
- ^ Musa, Hashim (2019). Teknologi perkapalan Melayu tradisional: Jong dan Ghali meredah tujuh lautan. Dalam: Persidangan Antarabangsa Manuskrip Melayu 2019, 15-17 Oktober 2019, Auditorium, Pepustakaan Negara Malaysia. m/s. 18.
- ^ a b Raja Nur Faznie Aida (24 Mac 2022). "Inspem ketuai penyelidikan, pembinaan kapal Mendam Berahi". Sinar Harian.
- ^ Hikayat Hang Tuah, VIII: 165. Transkripsi: Maka Mendam Berahi pun di-suroh dayong ka-laut. Maka Laksamana memasang meriam tujoh kali. Maka kenaikan pun belayar lalu menarek layar.
- ^ Robson-McKillop, Rosemary (2010). The Epic of Hang Tuah. ITBM. ISBN 9789830687100.
- ^ a b Salleh 2013, hlm. 226.
- ^ a b Salleh 2013, hlm. 227.
- ^ Rahimah A. Hamid & A.S Hardy Shafii 2017, hlm. 151-153.
- ^ Yahaya Awang 2008, hlm. 13.
- ^ Schap 2010a, hlm. 109.
- ^ Salleh 2013, hlm. 226, 233, 234.
- ^ Marr & Milner 1986, hlm. 194.
- ^ Salleh 2013, hlm. 375.
- ^ Adam 2016, hlm. 149.
- ^ Salleh 2013, hlm. 24.
- ^ Schap 2010, hlm. 109, 140.
- ^ Salleh 2013, hlm. 225.
- ^ Schap 2010a, hlm. 107-109.
- ^ Salleh 2013, hlm. 231-234.
- ^ Schap 2010a, hlm. 110-113.
- ^ Salleh 2013, hlm. 235-241.
- ^ Schap 2010a, hlm. 123-124.
- ^ Salleh 2013, hlm. 259-260.
- ^ Schap 2010a, hlm. 126-127.
- ^ Salleh 2013, hlm. 264-265.
- ^ Schap 2010a, hlm. 129-130.
- ^ Salleh 2013, hlm. 269-270.
- ^ Schap 2010a, hlm. 181-182.
- ^ Salleh 2013, hlm. 358-359.
- ^ Schap 2010, hlm. 236-238.
- ^ Schap 2010, hlm. 261-264.
- ^ Schap 2010b, hlm. 100-103.
- ^ Schap 2010b, hlm. 187-191.
- ^ Schap 2010b, hlm. 196-203.
- ^ Schap 2010b, hlm. 205-221.
- ^ Schap 2010b, hlm. 244-245.
- ^ Schap 2010b, hlm. 247-248.
- ^ Fairuz Zaidan (30 Jun 2017). "'Mendam Berahi' produk pelancongan baharu Melaka". BH Online. Foto oleh Khairunisah Lokman. Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 September 2020. Diakses tanggal 3 September 2020.
- ^ Muhammad Saufi Hassan (12 Mac 2018). "Bina semula Mendam Berahi". myMetro. Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 September 2020. Diakses tanggal 3 September 2020.
- ^ "Di Taman Tema Samudera : Kapal Mendam Berahi bakal dibina". Melaka Kini. 8 Februari 2019. Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 September 2020. Diakses tanggal 3 September 2020.
Buku
[sunting | sunting sumber]- Adam, Ahmat (2016). Antara Sejarah dan Mitos: Sejarah Melayu & Hang Tuah dalam Historiografi Malaysia. Petaling Jaya: Strategic Information and Research Development Centre.
- Adam, Ahmat (2018). Hikayat Hang Tuha (atau Hikayat Hang Tua). Petaling Jaya: Strategic Information and Research Development Centre.
- Adam, Ahmat (2021). Tawarikh Melayu dan Melaka: Esei-Esei Pilihan. Petaling Jaya: Strategic Information and Research Development Centre.
- Albuquerque, Afonso de (1774). Commentários do Grande Afonso Dalbuquerque parte III. Lisboa: Na Regia Officina Typografica.
- Birch, Walter de Gray (1875). The Commentaries of the Great Afonso Dalboquerque, Second Viceroy of India, translated from the Portuguese edition of 1774 Vol. III. London: The Hakluyt Society.
- Halimi, Ahmad Jelani bin (1999). Perdagangan dan perkapalan Melayu di Selat Melaka: Abad ke-15 hingga ke-18 (Tesis). Universiti Malaya.
- Koek, E. (1886). "Portuguese History of Malacca". Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic Society. 17: 117–149. Artikel ini memuat teks dari sumber tersebut, yang berada dalam ranah publik.
- Marr, David G.; Milner, A.C., ed. (1986). Southeast Asia in the 9th to 14th Centuries (dalam bahasa Inggris). Institute of Southeast Asian Studies / Research School of Pacific Studies. ISBN 978-997-198-839-5.
- Mills, J. V. (April 1930). Eredia's Description of Malaca, Meridional India, and Cathay. Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society. 8. hlm. 1–288. Artikel ini memuat teks dari sumber tersebut, yang berada dalam ranah publik.
- Rahimah A. Hamid; A.S Hardy Shafii, ed. (2017). Akal Budi Melayu dalam Bahasa dan Sastera Moden. Pulau Pinang: Penerbit USM. ISBN 978-967-461-190-3.
- Salleh, Muhammad Haji, ed. (2013). Hikayat Hang Tuah Jilid 1. Jakarta: Phoenix Publishing. ISBN 978-602-7689-50-3.
- Schap, Bot Genoot, ed. (2010a). Hikayat Hang Tuah I. Jakarta: Pusat Bahasa. ISBN 978-979-069-058-5.
- Schap, Bot Genoot, ed. (2010b). Hikayat Hang Tuah II. Jakarta: Pusat Bahasa. ISBN 978-979-069-058-5.
- Yahaya Awang (2008). Kapal haji dalam kenangan. Kuala Lumpur: Utusan Publications & Distributors Sdn Bhd. ISBN 978-967-612-160-8.