Lompat ke isi

Prasasti Mruwak

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Prasasti Mruwak adalah sebuah prasasti berangka tahun 1108 Śaka[1] atau 1186 Masehi yang ditemukan di desa Mruwak, kecamatan Dagangan, kabupaten Madiun, Jawa Timur.[2] Prasasti ini ditulis dalam aksara dan bahasa Jawa Kuno.[1][3] Prasasti ini ditemukan oleh mahasiswa Jurusan Sejarah IKIP Madiun pada bulan Juli 1975, saat melakukan kuliah kerja lokal di bawah bimbingan Drs. Koesdim Heroekoentjoro dan Drs. Arief Soekawinoto.[2] Prasasti ini tidak pernah tercantum dalam inventarisasi Dinas Purbakala pada masa pemerintah Hindia Belanda.[2]

Prasasti Mruwak berlokasi di pekuburan umum di desa Mruwak, dan saat ini masih berada di tempat penemuan aslinya (in situ).[3]

Deskripsi fisik

[sunting | sunting sumber]

Prasasti ini terbuat dari batuan andesit dan berbentuk balok batu (upala prasasti) dengan puncak setengah lingkaran dan bagian bawah berbentuk bunga padma.[3][4] Prasasti ini berukuran tinggi 84 cm, lebar 60 cm di bagian atas dan 45 cm di bagian bawah, serta tebal rata-rata 8-14 cm.[1] Prasasti ini ditulis dalam aksara dan bahasa Jawa Kuno, yang dipahatkan di semua sisi prasasti.[1] Bentuk hurufnya kasar dan tidak teratur,[1] serta beberapa bagian sudah aus dan ada yang ditumbuhi lumut serta jamur.[5]

Isi prasasti

[sunting | sunting sumber]

Prasasti yang berangka tahun 1108 Śaka atau 1186 Masehi ini berisi penetapan desa Mrwak (ejaan asli desa Mruwak) menjadi sima.[4] Penetapan ini disebabkan karena terjadinya serangan dari pihak luar, sehingga desa Mrwak kemudian dipindahkan ke tempat yang lebih tinggi dari lokasi semula. Dalam prasasti disebutkan bahwa Mrwak adalah sebuah desa tua di kaki Gunung Wilis.[4]

Prasasti ini mencatat serangan tiba-tiba terhadap desa Mrwak yang dilakukan melalui jalur sungai dengan menggunakan kapal.[4] Pertempuran yang terjadi menewaskan banyak orang, termasuk tokoh bernama Sri Kanuruhan dan bala tentaranya.[4] Akibatnya, desa Mrwak dipindahkan agak jauh ke daerah yang lebih aman di kaki Gunung Wilis, dengan bantuan tokoh bernama Juru Manutan.[4] Selanjutnya, seorang pangeran bernama Ńwara Nusa Śarwwenayāpala ditunjuk untuk mengawasi wilayah sungai di arah barat laut desa guna mencegah terulangnya serangan serupa.[4]

Prasasti Mruwak menyebutkan bahwa raja yang berkuasa saat itu ialah Digjaya Śastraprabhu.[1] Nama raja ini juga ditemukan pada prasasti lain, yaitu Prasasti Sirah Keting (1126 Śaka) yang ditemukan di dukuh Sirah Keting, desa Bedingin, kecamatan Sambit, kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.[1] Arkeolog Setya Wardhani berkesimpulan bahwa raja ini merupakan salah satu cucu Raja Dharmawangsa Teguh, yang daerah lungguhnya meliputi wilayah Ponorogo dan Madiun.[1][5]

Alih aksara

[sunting | sunting sumber]

Berikut alih aksara Prasasti Mruwak:[3]

Sisi depan

[sunting | sunting sumber]
  1. ……………………………………
  2. …. _ (śri) ……………………………
  3. _ (sa) ńajña haji raja pṛaśasti ma
  4. tańḍa rakryan ikhań asīma rama
  5. mṛwak swasti ṣaka warṣatīta ri śaka
  6. 1108 phālguna dasa klapakṣa mawulu ma sa wa
  7. tu(?) nairita sidhi śiŋha _ _ sasi _ uma rika di
  8. waśa rasa yajya śrī jaya prabhu dhwaja thunda _ _
  9. ………puṣaka rakai rama kadi rakryan dmuŋ
  10. ṣri paja hajjaśya raka wamaṣudra prabhu ha _
  11. rakryan juru jaraḥ ṣri __ ṣapata _ ka _ _
  12. wuṣanya ṣasańa _ ----saruran saka dhū
  13. ma ńkā(na) ------- ṣa ----------……………

Sisi belakang

[sunting | sunting sumber]
  1. ka juru pańalas (?) …………………………. ṇa
  2. _ ṇra ma na ……………………………………….
  3. bahta rakṣa naruńu sa _ (b) damapaŋ……….
  4. _ _ _ bāyabya mańaran matta hayu mata _ _ _
  5. _ kasĕḥ śira bathara ṣri jaya mantra saka pama
  6. saḥ ńwara nusa śarwwenayāpala mṛwań śamara sa
  7. makana mańan ṣri kanuruḥ ńasa rakṣa tanda duka ni
  8. ra ṣwamartya mayākarma ranabhūmi juru talaŋ
  9. madhawa kraḥ matta thūnah ruru dṣa _ _ haḍa rat
  10. lumaliḥ muńgah ńara maḥ khadahāka tyaṣawikra
  11. ma juru manutan samanta sakara kańa sīma mṛ
  12. wak hanananugrahan śrī maharajasa dṛ
  13. wya yajñā sīma ma ṣāruńaṇ kati śarabha
  14. kakatan kaka ruṣa wanara paya bhuwa nala ra
  15. tā kamala…………………wakā ….
  16. ṣadī māṣa º ka ---- raja _ _ _

Sisi kiri

[sunting | sunting sumber]
  1. ṇṣa ……
  2. bhutāla
  3. kadapa nusa
  4. kań miṣdani(?)
  5. _ _ rasa saśa
  6. sīta dhamū
  7. manawa ka
  8. wya kapu
  9. nyayan kala
  10. wa tā la(ra)
  11. hańa _
  12. masalas
  13. ta…….

Sisi kanan

[sunting | sunting sumber]
  1. taparasi
  2. ma(?)nalas wama
  3. na sāńāmi ha
  4. ji wipra ṇata
  5. ra ki ra(?) sira
  6. mata nyapan
  7. ṇikań
  8. sīma kań
  9. karusak
  10. ńajar haji
  11. praśasti
  12. sira mawas
  13. ……kama
  14. saprahara
  15. ṣrī jaya pra
  16. bhu ------ka

Penggunaan kata Mrwak dalam prasasti ini masih dipakai hingga sekarang, sebagai penyebutan nama Desa Mruwak.[4] Sedangkan sungai yang berada di dekat desa sekarang disebut penduduk setempat dengan nama Kali Catur.[5]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d e f g h Machdi, Suhadi; Kartakusuma, Richadiana (1996). "Laporan Penelitian Epigrafi Di Wilayah Provinsi Jawa Timur" (PDF). Berita Penelitian Arkeologi. Proyek Penelitian Arkeologi Jakarta, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (47): 41, 57–58. 
  2. ^ a b c Gumantia, Arif (2021-05-12). "Prasasti-prasasti di Kawasan Madiun". www.viva.co.id. Diakses tanggal 2025-02-18. 
  3. ^ a b c d Nasoichah, Churmatin (2021). "Traces of Proto-Austronesian Language in Old Javanese Based on The Mṛwak Inscription (1108 Śaka/1186 AD)". Advances in Social Science, Education and Humanities Research. 622. doi:10.2991/assehr.k.211226.034. 
  4. ^ a b c d e f g h Nasoichah, Churmatin (Oktober 2008). "Perpindahan Desa Mruwak Berdasarkan Prasasti Mrwak (1108 SAKA/1186M)" (PDF). Berkala Arkeologi Sangkhakala. XI (22): 22–31. ISSN 1410-3974. 
  5. ^ a b c Wardhani, D.S. Setya (1982/1983). "Çri Jayawarsa Digwijaya Sastraprabhu" (PDF). Seminar Sejarah Nasional III, Seksi Sejarah Kuno I. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: 83–91.