Lompat ke isi

Pura Besakih

Koordinat: 8°22′28″S 115°27′03″E / 8.374368°S 115.450936°E / -8.374368; 115.450936
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pura Agung Besakih (aksara Bali: ᬧᬸᬭᬳᬅᬕᬸᬗ᭄ᬩᭂᬲᬓᬶᬄ) adalah sebuah komplek Pura yang terletak di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali, Indonesia. Komplek Pura Besakih terdiri dari 1 Pura Pusat (Pura Penataran Agung Besakih) dan 18 Pura Pendamping (1 Pura Basukian dan 17 Pura Lainnya).

Pura Agung Besakih
ᬧᬸᬭᬅᬕᬸᬗ᭄ᬩᭂᬲᬓᬶᬄ
Pura Besakih
ᬧᬸᬭᬩᭂᬲᬓᬶᬄ
Pura Besakih
Pura Besakih di Bali
Pura Besakih di Indonesia
Pura Besakih
Lokasi di Indonesia
Informasi umum
LokasiBali, Indonesia
AlamatBesakih Village, Rendang, Karangasem Regency
Rampung8th century
Pura Besakih, pura yang paling suci dari semua pura Hindu Bali.
Pura Besakih di Bali
Pura Besakih
Pura Besakih di Indonesia
Pura Besakih
Informasi umum
JenisPura
Gaya arsitekturSuku Bali
LokasiBesakih, Rendang, Karangasem, Bali, Indonesia
AlamatBesakih, Rendang, Karangasem, Bali 80863
Koordinat8°22′28″S 115°27′03″E / 8.374368°S 115.450936°E / -8.374368; 115.450936
Perkiraan rampungAbad ke-15
Situs web
www.besakihbali.com

Di Pura Basukian, di areal inilah pertama kalinya tempat diterimanya wahyu Tuhan oleh Hyang Rsi Markendya, cikal bakal Agama Hindu Dharma sekarang di Bali, sebagai pusatnya. Pura Besakih merupakan pusat kegiatan dari seluruh Pura yang ada di Bali.

Di antara semua pura-pura yang termasuk dalam kompleks Pura Besakih, Pura Penataran Agung adalah Pura yang terbesar, terbanyak bangunan-bangunan pelinggihnya, terbanyak jenis upakaranya dan merupakan pusat dan semua Pura yang ada di komplek Pura Besakih.

Di Pura Penataran Agung terdapat 3 pelinggih utama yang disebut Padma Tiga simbol stana dari Tri Purusha yaitu Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa. Tri Purusha adalah tiga tingkat kesadaran rohani.

Padma Tiga di Pura Besakih

Keberadaan fisik bangunan Pura Besakih, tidak sekadar menjadi tempat pemujaan terhadap Tuhan YME, menurut kepercayaan Agama Hindu Dharma, yang terbesar di pulau Bali, namun di dalamnya memiliki keterkaitan latar belakang dengan makna Gunung Agung. Sebuah gunung tertinggi di pulau Bali yang dipercaya sebagai pusat Pemerintahan Alam Arwah, Alam Para Dewata, yang menjadi utusan Tuhan untuk wilayah pulau Bali dan sekitar. Sehingga tepatlah kalau di lereng Barat Daya Gunung Agung dibuat bangunan untuk kesucian umat manusia, Pura Besakih yang bermakna filosofis.

Objek penelitian

[sunting | sunting sumber]

Pura Besakih sebagai objek penelitian berkaitan dengan kehidupan sosial budaya masyarakat yang berada di Kabupaten Karangasem Provinsi Bali.

Berdasar sebuah penelitian, bangunan fisik Pura Besakih telah mengalami perkembangan dari kebudayaan pra-hindu dengan bukti peninggalan menhir, punden berundak-undak, arca, yang berkembang menjadi bangunan berupa meru, pelinggih, gedong, maupun padmasana sebagai hasil kebudayaan masa Hindu.

Latar belakang keberadaan bangunan fisik Pura Besakih di lereng Gunung Agung adalah sebagai tempat ibadah untuk menyembah Dewa yang dikonsepsikan gunung tersebut sebagai istana Dewa tertinggi.

Dalam budaya masyarakat Hindu Bali, ternyata makna Pura Besakih diidentifikasi sebagai bagian dari perkembangan budaya sosial masyarakat Bali dari mulai pra-Hindu yang banyak dipengaruhi oleh perubahan unsur-unsur budaya yang berkembang, sehingga memengaruhi perubahan wujud budaya ide, wujud budaya aktivitas, dan wujud budaya material.

Perubahan tersebut berkaitan dengan ajaran Tattwa yang menyangkut tentang konsep ketuhanan, ajaran Tata-susila yang mengatur bagaimana umat Hindu dalam bertingka laku, dan ajaran Upacara merupakan pengaturan dalam melakukan aktivitas ritual persembahan dari umat kepada TuhanNya, sehingga ketiga ajaran tersebut merupakan satu kesatuan dalam ajaran Agama Hindu Dharma di Bali.

Pungutan liar yang dilakukan batur atau pemuda dari desa sekitar pura telah lama menjadi masalah bagi wisatawan yang hendak mengunjung pura ini. Di pintu masuk pura pengunjung sudah dikenakan biaya tiket masuk resmi sebesar Rp 60 ribu untuk turis Asing dan Rp. 40.000 untuk turis domestik/per orang dan Rp 5 ribu untuk kendaraan roda empat. Tapi, ketika melewati sebuah pos, pengunjung kembali dimintai sejumlah uang. Dalihnya sebagai uang kebersihan dan jasa pemandu.

Biasanya turis asing dimintai biaya tambahan 50 dollar AS, sementara turis lokal dimintai uang sebesar 200.000 rupiah. Ini adalah pungutan liar, dan wisatawan disarankan untuk melawan pemerasan ini. Keluhan sudah bermunculan dan tindakan pemerasan ini telah mencemari citra pariwisata Bali, akan tetapi aparat setempat tidak melakukan tindakan apapun untuk menghentikannya.[1] Belakangan di ketahui bahwa masalah ini sudah sedikit berkurang karena ada peningkatan pengawasan dari otoritas keamanan setempat.

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]