Rangkiang
Rangkiang adalah lumbung padi yang digunakan oleh masyarakat Minangkabau untuk menyimpan padi hasil panen.[1] Bangunan ini pada umumnya dapat ditemui di halaman rumah gadang.[2] Bentuknya mengikuti bentuk rumah gadang dengan atap bergonjong dan lantai yang ditinggikan dari atas tanah.
Rangkiang melambangkan kesejahteraan ekonomi dan jiwa sosial yang dimiliki oleh orang Minangkabau.[3]
Etimologi
[sunting | sunting sumber]Rangkiang berasal dari kata ruang hyang, yang berarti ruang dewi sri atau dewi pertanian.[4]
Arsitektur
[sunting | sunting sumber]Rangkiang didirikan di halaman rumah gadang, rumah adat tradisional Minangkabau. Seperti rumah gadang, bangunan ini memiliki atap berbentuk gonjong yang terbuat dari ijuk. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu tanpa jendela dan pintu. Pada salah satu dinding singkok atau loteng, terdapat bukaan kecil berbentuk persegi tempat memasukkan padi hasil panen. Untuk menaikinya, digunakan tangga yang terbuat dari bambu. Tangga ini dapat dipindahkan bila tidak digunakan dan disimpan di bawah kolong rangkiang.[4]
Ukuran rangkiang berbeda-beda menurut jenisnya. Rangkiang Si Bayau-bayau merupakan yang terbesar dari semua rangkiang. Rangkiang ini ditopang oleh enam tiang atau lebih, seperti pada rangkiang Istana Pagaruyung yang memiliki dua belas tiang. Rangkiang Si Tangguang Lapa dan Rangkiang Si Tinjau Lauik berbentuk identik dan sama-sama ditopang oleh empat tiang. Adapun Rangkiang Kaciak memiliki ukuran lebih kecil dan rendah.
Jenis
[sunting | sunting sumber]Fungsi dari beberapa jenis rangkiang yakni:[5]
- Rangkiang Si Bayau-bayau: menyimpan padi yang akan digunakan untuk makan sehari-hari.
- Rangkiang Si Tangguang Lapa: menyimpan padi cadangan yang akan digunakan pada musim paceklik.
- Rangkiang Si Tinjau Lauik: menyimpan padi yang akan dijual. Hasil penjualan digunakan untuk membeli barang atau keperluan rumah tangga yang tidak dapat dibikin sendiri.
- Rangkiang Kaciak: menyimpan pada yang akan digunakan untuk benih dan biaya mengerjakan sawah pada musim berikutnya.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Dr. Edwin 2006, hlm. 153.
- ^ "Filosofi Rangkiang, Salah Satu Solusi Pemberantasan Gizi Buruk". dinaspangan.sumbarprov.go.id. Diakses tanggal 2021-11-09.
- ^ a b Syamsidar 1991, hlm. 52–54.
- ^ Schefold 2008, hlm. 104–5.
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]- Dr. Edwin (2006). Tanah komunal: memudarnya solidaritas sosial pada masyarakat matrilineal Minangkabau (dalam bahasa Indonesian). Andalas: Andalas University. ISBN 9789793364292.
- Elda Franzia; Yasraf Amir Piliang; Acep Iwan Saidi (Januari 2015). "Rumah Gadang as a Symbolic Representation of Minangkabau Ethnic Identity" (PDF). International Journal of Social Science and Humanity. 5 (1). doi:10.7763/IJSSH.2015.V5.419. ISSN 2010-3646.
- Gunawan Tjahjono, ed. (1998). Architecture. Indonesian Heritage. 6. Singapore: Archipelago Press. ISBN 981-3018-30-5.
- Navis, A.A. (Juli). Cerita Rakyat Dari Sumatera Barat 3 (dalam bahasa Indonesian). Contributed by the Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya (Indonesia). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya.
- Schefold, Reimar, ed. (2008). Indonesian Houses: Survey of Vernacular Architecture in Western Indonesia. Seri Arsitektur Indonesia. 2. Leiden: KITLV Press. ISBN 9789004253988.
- Syamsidar (1991). Arsitektur Tradisional Daerah Sumatera Barat (dalam bahasa Indonesian). Padang: Grasindo. ISBN 9789797595517.