Ratu Sakti
Ratu Sakti adalah raja Kerajaan Sunda keempat yang menggantikan Ratu Dewata. Ratu Sakti hanya berkuasa selama 8 tahun mulai tahun 1543 M hingga 1551 M, lalu dikudeta dari takhta dan digantikan oleh Ratu Nilakendra yang kemudian berkuasa dari tahun 1551 M hingga 1567 M.
Menurut Carita Parahyangan, zaman Kaliyuga atau akhir zaman menurut Agama Hindu berlangsung pada era Ratu Sakti dan Ratu Nilakendra, ditandai dengan keadaan masyarakat Sunda yang semakin tidak terkendali. Banyak orang pedalaman yang pemukimannya berjarak jauh dari Pakuan Pajajaran melakukan kejahatan dan kemaksiatan. Jika diurut dari masalahnya, kejadian ini bermula saat Ratu Sakti menjabat sebagai raja, sedangkan kejadian di era Nilakendra hanyalah kondisi lanjutan yang mengarah pada zaman pralaya (kerusakan).[1]
Masa pemerintahan
[sunting | sunting sumber]Carita Parahyangan menuliskan, Aja tinut de sang kawuri polah sang nata (Janganlah ditiru kelakuan raja ini oleh mereka yang kemudian menggantikan). Di masa pemerintahan Ratu Sakti, kondisi kerajaan terbilang bobrok, karena meskipun jelas-jelas kerajaan dalam kondisi carut marut, Ratu Sakti justru tidak memperhatikan rakyat, namun malah gemar mabuk-mabukan dan berfoya-foya.
Kesan yang ditangkap masyarakat Sunda terhadap raja yang satu ini adalah jauh dari kebijaksanaan. Ketika ada permasalahan, Ratu Sakti lebih memilih menyelesaikannya dengan cara yang represif. Tidak sedikit masyarakat yang dihukum mati hanya karena masalah sepele. Harta benda rakyat banyak disita pihak keraton, ditambah penetapan pajak yang selalu tidak menguntungkan bagi rakyat kecil.[2] Sifat yang dimiliki Ratu Sakti berbeda jauh dengan raja sebelumnya, Ratu Dewata yang terkenal alim, rajin berpuasa dan sering bertapa. Ratu Sakti dinilai memiliki sikap tidak menghormati para orang tua, terlebih ia suka melakukan penghinaan terhadap pendeta.[3]
Keadaan tersebut menjadikan rakyat semakin muak dengan Pakuan Pajajaran dan lebih memilih untuk hidup di bawah naungan Banten dan Cirebon yang lebih adil.[3] Pada akhirnya rakyat juga mengambil jalan perlawanan terhadap rajanya sendiri.[4] Hal ini secara tidak langsung membantu penyebaran Islam di wilayah kerajaan Sunda, dimana Banten di bawah Maulana Hasanuddin berhasil mengislamkan sebagian rakyat kerajaan Sunda melalui jalan damai.[5]
Keadaan di Banten & Cirebon
[sunting | sunting sumber]Sebetulnya pada masa Ratu Sakti, Pakuan Pajajaran dapat mengembalikan wilayah-wilayah Sunda yang telah dikuasai Cirebon. Sebab, Banten dan Kalapa saat itu mengalami kekosongan pasukan. Pasukan Banten dan Cirebon sedang disibukkan dalam membantu kampanye militer Demak dalam penaklukan wilayah Hindu di Pasuruan dan Panarukan yang merupakan basis penting dari Kerajaan Blambangan.[6] Serbuan pasukan gabungan ke timur tersebut menguras fokus Demak, Cirebon dan Banten di wilayah Pajajaran, terlebih Sultan Trenggana dalam penyerbuan tersebut tidak sengaja gugur dibunuh pelayannya sendiri yang baru berusia 10 tahun, putra Bupati Surabaya.[7]
Meninggalnya Sultan Trenggana menjadikan Demak goyah, dimana penggantinya Sunan Prawoto, terlibat perang saudara dengan Arya Panangsang. Ketidakstabilan pemerintahan Demak telah menambah korban lagi yakni Pangeran Pasarean, putra Mahkota Cirebon yang ikut terbunuh karena memihak kubu Sunan Prawoto.[8] Di tahun 1546 M, akhirnya secara resmi Kerajaan Demak dinyatakan runtuh dan digantikan oleh Kerajaan Pajang, kemudian dilanjutkan oleh Mataram di tahun 1586.
Kondisi ini seharusnya dimanfaatkan oleh Ratu Sakti untuk mengembalikan martabat Kerajaan Sunda di Jawa Barat, tetapi yang terjadi malah sebaliknya, ia lebih memilih bersenang-senang menikmati kehidupan yang serba glamor.
Kudeta
[sunting | sunting sumber]Menurut Carita Parahyangan, Ratu Sakti diturunkan dari takhtanya oleh para pembesar kerajaan di tahun 1551. Hal ini dikarenakan pelanggaran yang dilakukannya yaitu estri larangan, menikahi perempuan yang sudah bertunangan seperti leluhurnya prabu Dewa Niskala dan melakukan hubungan gelap dengan ibu tirinya yang merupakan selir ayahnya.[9] Turunnya Ratu Sakti dari takhta diperkirakan melalui jalan kekerasan, sebab jika dilihat dari kehidupan sehari-hari, mustahil jika ia melepaskan jabatan raja dengan mengundurkan diri begitu saja sebagaimana yang dilakukan oleh Dewa Niskala. Ratu Sakti setelah wafat dimakamkan tidak di Pakuan tapi di Pengpelangan.[10]
Rujukan
[sunting | sunting sumber]- ^ "Ratu Nilakendra Raja Pajajaran Yang Tercatat Ngawur Dalam Memerintah". Sejarah Cirebon. Diakses tanggal 2023-01-17.
- ^ Michrob, Halwany; Chudari, A. Mudjahid (1993). Catatan masalalu Banten. Saudara.
- ^ a b Sayyidi, Zaki (2022-06-15). "Sosok Raja yang Menjadi Biang Kerok Runtuhnya Kerajaan Pajajaran Pasca Prabu Siliwangi Kakek Sunan Gunung Jati - Portal Majalengka - Halaman 4". portalmajalengka.pikiran-rakyat.com. Diakses tanggal 2023-01-27.
- ^ "Ratu Sakti, Raja Pajajaran yang Suka Membunuh hingga Nikahi Selir Ayahnya". iNews.ID. 2022-06-09. Diakses tanggal 2023-01-27.
- ^ Sugiri, Ahmad (2021-04-27). Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia Abad VII Sampai Abad XV. Penerbit A-Empat. ISBN 978-602-0846-98-9.
- ^ radarcirebon.com. "Ratu Sakti Pajajaran, Skandal Penerus Prabu Siliwangi Menikahi Selir Ayah Sendiri". radarcirebon.com. Diakses tanggal 2023-01-27.
- ^ Jauquene, F. Taufiq El (2020). DEMAK BINTORO Kerajaan Islam Pertama di Jawa dari Kejayaan hingga Keruntuhan. Araska Publisher. ISBN 978-623-7910-44-2.
- ^ Rahmadania, Andi Wulan; Wibowo, Hanafi; Sarjono, Erlambang; Simamora, Harry Farinuddin; Amin, Muhammad Miftah Nur; Maheswara, Adhitya M.; Vivaldy, Jonathan Charmian (2022-07-20). Strategi Politik Perempuan dalam Sejarah. Neosphere Digdaya Mulia. ISBN 978-623-99818-7-7.
- ^ Danasasmita, Saleh (2014). Menemukan Kerajaan Sunda. Bandung: PT Kiblat Buku Utama. hlm. 90. ISBN 978-979-8002-61-8.
- ^ "Ratu Sakti Raja Pajajaran Keempat". Sejarah Cirebon. Diakses tanggal 2023-01-17.
Gelar kebangsawanan | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Ratu Dewata |
Raja Sunda-Galuh 1543–1551 |
Diteruskan oleh: Ratu Nilakendra |