Lompat ke isi

Rimba Panjang, Tambang, Kampar

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Rimbo Panjang
Negara Indonesia
ProvinsiRiau
KabupatenKampar
KecamatanTambang
Kode pos
28462
Kode Kemendagri14.01.03.2009 Edit nilai pada Wikidata
Luas... km²
Jumlah penduduk... jiwa
Kepadatan... jiwa/km²
Peta
PetaKoordinat: 0°26′34.800″N 101°17′56.400″E / 0.44300000°N 101.29900000°E / 0.44300000; 101.29900000


Rimbo Panjang merupakan salah satu desa yang ada di kecamatan Tambang, Kabupaten Kampar, provinsi Riau, Indonesia. Desa Rimbo Panjang mulai berdiri pada tahun 1971 dengan status Desa Muda dengan Abdul Malik Yusuf sebagai kepala desanya yang ditunjuk secara aklamasi. Mulai tahun 1979 Rimbo Panjang resmi sebagai desa defenitif dan Abdul Malik Yusuf sebagai Kepala Desa pertama.

Masih belum diketahui secara pasti kapan tepatnya kawasan Rimbo Panjang pertama kali dibuka. Ada yang menyebut 1951, ada juga yang menyebutkan 1952, 1954, dan 1955. Akan tetapi, yang jelas kawasan ini telah dibuka pada awal 1950-an. Hal ini senada dengan cerita yang disampaikan oleh Bpk. Agus Salim. Beliau sendiri pertama kali datang ke Rimbo Panjang pada 1956. Saat pertama kali beliau menginjakkan kaki di Desa Rimbo Panjang, baru ada sekitar delapan bedeng[1] yang berdiri.

Total penduduknya pada waktu itu baru sekitar 10 orang (kepala keluarga, red). Mereka, seperti halnya Bpk. Agus Salim, adalah perantau dari daerah Sumatera Barat, khususnya dari daerah Pariaman. Kedatangan mereka ke Rimbo Panjang dilandasi oleh kebutuhan ekonomi. Keluarga Bpk. Agus Salim sendiri memutuskan untuk pindah ke Rimbo Panjang karena mendengar kabar dari kenalan mereka, yaitu Wali Djannah.

Dimana terdengar kabar bahwa Wali Djannah telah menempati suatu wilayah di perbatasan Pekanbaru yang dinamakan Rimbo Panjang. Di kawasan tersebut masih berupa hutan belantara yang bisa diambil dan diolah kayunya. Selain itu, kawasan tersebut juga masih sangat sepi, belum banyak penduduk yang menggarap hutan tersebut. Maka, masih banyak lahan kosong yang tersedia. Karena alasan ‘ma-arik kayu’[2] itulah, orang-orang dari Sumatera Barat mulai berdatangan dan menetap di Rimbo Panjang.

Sampai pertengahan 1950an, jumlah penduduk Rimbo Panjang tidak banyak mengalami pertumbuhan. Ini terjadi karena kebanyakan pendatang tidak benar-benar tinggal secara permanen di Rimbo Panjang. Kebanyakan dari mereka datang ke Rimbo Panjang untuk mengambil dan mengolah kayu hutan. Setelah selesai mengolah kayu, mereka biasanya akan kembali ke tempat asalnya di Sumatera Barat. Proses tersebut biasanya memakan waktu beberapa bulan. Oleh karena itu, kebanyakan dari pendatang biasanya hanya tinggal sementara, biasanya selama 3-4 bulan.[3]

Hal senada juga diungkapkan oleh Bapak Bustami,[4] salah satu tokoh sesepuh Desa Rimbo Panjang. Bapak Bustami sendiri pertama kali datang ke Rimbo Panjang sekitar 1958. Pada waktu itu, beliau masih berusia sekitar 7 tahun. Bapak Bustami dibawa oleh orang tuanya ke Rimbo Panjang pada awalnya untuk mencari kayu api (kayu bakar). Kala itu Bapak Bustami dan orang tuanya, datang ke Rimbo hanya setiap 1-2 bulan sekali. Kemudian, di Rimbo Panjang menetap selama 1-2 bulan. Setelah itu, beliau dan orang tuanya kembali ke Pariaman.

Peningkatan pertumbuhan penduduk Rimbo Panjang mulai terlihat setelah memasuki tahun 1958. Hal ini terjadi karena adanya berberapa peristiwa di Sumatera Barat yang memicu masyarakatnya mencari wilayah ekonomi baru dan demi keamanan. Peristiwa migrasi ini menurut memori kolektif masyarakat desa, berkaitan dengan beberapa peristiwa. Sebab pertama, perpindahan penduduk ke Rimbo Panjang dikaitkan dengan peristiwa pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), pada tanggal 15 Februari 1958.

Di Sumatera Barat diumumkan gerakan PRRI dengan markas besar yang berpusat di Bukittinggi. Gerakan tersebut muncul karena ketidakpuasan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah pusat yang menyebabkan stagnasi pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah di luar pulau Jawa. Selain itu, ketidakpuasan terhadap etnis Jawa yang merupakan suku dengan jumlah paling banyak dan berkuasa pada sektor-sektor pemerintahan dan sektor lainnya. Permasalahan ini direspon dengan represif oleh pemerintah pusat di Jakarta. Pemerintah pusat mendesak pihak PRRI untuk melakukan perundingan. Di sisi lain, pihak militer juga melancarkan pengeboman terhadap instalasi-instalasi milik PRRI di Sumatera Barat pada akhir Februari 1958.

Kemudian, pada Maret 1958, Angkatan Darat mengirim satuan-satuan dari Divisi Siliwangi dan Divisi Diponegoro untuk melancarkan pendaratan pasukan di Sumatera. Pasukan-pasukan tersebut kemudian memukul mundur pihak PRRI dan mengambil alih Bukittinggi di Sumatera Barat yang merupakan markas besar PRRI.[5] Setelah itu, gerakan PRRI di Sumatera Barat beralih menjadi gerakan gerilya. Keadaan tersebut membuat situasi di beberapa tempat di Sumatera, terutama di Sumatera Barat relatif tidak aman. Hal ini kemudian mendorong masyarakat Sumatera Barat untuk mengungsi ke tempat-tempat yang lebih aman.

Di Rimbo Panjang konflik politik tersebut tidak begitu terasa. Masyarakat di Rimbo Panjang tidak begitu terpikirkan dan terpengaruh pada keadaan politik nasional yang terjadi pada masa itu. Selain itu, masyarakat di Rimbo Panjang juga tidak begitu memahami bagaimana situasi politik nasional yang terjadi kala itu. Satu cerita dari Pak Agus Salim, dulu sempat ada tentara yang sedang melarikan diri menuju ke arah Danau Bingkuang. Tentara tersebut kemudian melawati Rimbo Panjang yang pada masa itu masih merupakan dusun kecil. Mereka adalah PRRI yang sedang bergerak mundur. Ketika mencapai kawasan pemukiman Rimbo Panjang (saat ini disekitar dusun satu), terjadi penyergapan dari pihak TNI. Pasukan PRRI yang terdesak memutuskan untuk bersembunyi di pemukiman warga. Mereka merayap dan bersembunyi di bawah rumah-rumah warga yang pada waktu itu bentuknya masih berupa bedeng-bedeng yang dibangun dengan bentuk rumah panggung.

Oleh masyarakat hal-hal yang seperti itu dibiarkan saja. Masyarakat Rimbo Panjang pada masa itu tidak ingin ikut campur dan hanya ingin berfokus untuk mencari kayu dan berkebun untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Itulah satu-satunya hal yang terjadi di Rimbo Panjang yang berkaitan dengan peristiwa PRRI di Sumatera. Selebihnya, Rimbo Panjang relatif lebih aman, karena tidak menjadi area pertempuran antara PRRI dengan TNI. Sekitar 20 km ke Barat Daya dari Rimbo Panjang, tepatnya di daerah Danau Bingkuang, keadaannya sudah berbeda. Di sana sempat dilaporkan terjadi kontak senjata antara PRRI dengan TNI. Karena alasan keamanan itulah banyak orang Sumatera Barat yang masuk ke Rimbo Panjang pada 1958–1959.

Alasan lain bermigrasinya orang Sumatera Barat ke Rimbo Panjang juga didukung oleh ketertarikan mereka terhadap potensi sumberdaya alamnya. Sekitar 1958 atau 1959, masyarakat Rimbo Panjang mulai bercocok tanam ladang nenas. Pertanian nenas pada waktu itu dapat dibilang cukup berhasil karena, nanas yang ditanam di Rimbo Panjang menghasilkan buah lebih manis dibanding tanaman serupa di dusun tetangga (lengkok kualu). Kabar ini terdengar hingga ke Sumatera Barat, sehingga orang-orang dari Sumatera Barat tertarik untuk datang dan mencoba peruntungan berladang nenas di Rimbo Panjang. Semenjak adanya usaha perkebunan nenas, para perantau kini memiliki pilihan lain untuk memperoleh penghasilan, tidak lagi hanya bergantung pada hasil pengolahan kayu di hutan. Dan sejak saat itu, banyak diantara mereka yang datang ke Rimbo Panjang mulai menetap secara permanen, meskipun berberapa diantaranya ada juga yang kembali ke kampung halamannya dan meningalkan lahan garapannya hingga bertahun-tahun terbengkalai. Yang kemudian hari menjadi salah satu sumber masalah administrasi pertanahan di Rimbo Panjang.

Kedua faktor tersebut oleh beberapa tokoh masyarakat seperti Pak Agus Salim dan Pak Bustami sebut sebagai faktor yang mendorong dan menarik masyarakat Sumatera Barat untuk datang ke Rimbo Panjang. Karena hal tersebut, terjadi pertumbuhan penduduk di Rimbo Panjang. Sekitar awal 1960-an, jumlah penduduk, baik yang menetap atau temporal, di Rimbo Panjang sudah ada sekitar 100 orang.[6]

Para penduduk umumnya membangun tempat tinggal berupa bedeng, rumah panggung semi permanen yang terbuat dari kayu. Pada umumnya bangunan rumah-rumah bedeng ini dibangun di pinggir jalan raya yang membentang dan menghubungkan Pekanbaru dengan Bangkinang. Hal ini dilakukan untuk memudahkan mereka untuk menawarkan hasil olahan kayu hutan dan hasil alam lainnya kepada para supir truk yang lewat melintasi desa Rimbo Panjang. Truk-truk tersebut berasal dari Sumatera Barat dengan muatan semen menuju ke Pekanbaru. Setelah itu, truk-truk tersebut akan kembali ke Sumatera Barat dengan muatan yang kosong. Kepada supir-supir truk itulah hasil-hasil hutan dan kebun milik masyarakat ditawarkan. Kemudian, supir-supir truk tersebut akan membeli hasil-hasil hutan tersebut dan menjualnya di Sumatera Barat. Alasan lain yang membuat penduduk membangun bedeng di pinggir jalan adalah belum tersedianya akses jalan untuk masuk lebih dalam kedalam hutan. Selain itu, kebanyakan wilayah di Rimbo Panjang masih berupa rawa yang selalu tergenang air sepanjang tahun.


[1] Bedeng adalah bangunan berupa rumah kecil yang biasanya dibangun di lokasi ladang atau kebun

[2] Mengolah kayu (bahasa minang)

[3] Wawancara dengan Pak Agus Salim di Rimbo Panjang pada tanggal 9 juli 2023, pukul 08.00 WIB

[4] Salah satu tokoh masyarakat mantan Kepala RK (Rukun Kampung)

[5] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200–2008.

[6] Wawancara Pak Agus Salim di Rimbo Panjang pada 9 Juli 2023, pukul 08.00 WIB

Demografi

[sunting | sunting sumber]

Penduduk Desa Rimba Panjang banyak keturunan Padang, Sumatera Barat.

Salah satu komoditas buah yang utama adalah Nanas. Saat ini bermunculan beberapa Properti Perumahan Murah serta Pengrajin Pot serta Taman Bunga / Buah.

Pada tanggal 9 Oktober 2015 Presiden Joko Widodo mengunjungi lokasi kebakaran hutan dan lahan, di Desa Rimbo Panjang, Kecamatan Tambang, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.[1]

Referensi

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]