Sejarah Sumatera Selatan
Sumatera Selatan atau pulau Sumatra bagian selatan yang dikenal sebagai provinsi Sumatera Selatan didirikan pada tanggal 12 September 1950 yang awalnya mencakup daerah Sumatera Selatan sekarang, Bengkulu, Lampung, dan kepulauan Bangka Belitung dan keempat wilayah yang terakhir disebutkan kemudian masing-masing menjadi wilayah provinsi tersendiri akan tetapi memiliki akar budaya bahasa dari keluarga yang sama yakni bahasa Austronesia proto bahasa Melayu dengan pembagian daerah bahasa dan logat antara lain seperti Melayu Musi (Bahasa Melayu yang berdialek Palembang, Musi, Pegagan, Rawas, Col, Belide, Lematang Ilir, Penesak), Melayu Tengah (Bahasa Melayu yang berdialek Ogan, Rambang, Enim, Bengkulu, Besemah, Lematang Ulu, Lintang, Semende, Benakat, Serawai, Kaur, Pekal), Lampung-Komering (Komering, Lampung, Pubian, Sungkai, Way Kanan, Ranau, Pesisir, Krui, Melinting, Belalau, Way Lima, Way Andak, Semaka, Merpas, Semuong, Abung, Tulang Bawang, Daya, Haji, Kayuagung) dan masih banyak bahasa lainnya.
Prasejarah
[sunting | sunting sumber]Sumatera Selatan telah dihuni manusia sejak zaman Palaeolitikum. Bukti adanya permukiman tersebut dibuktikan dengan ditemukannya perkakas zaman Paleolitikum di dasar sungai Saling dan sungai Kikim di Desa Bungamas, Kabupaten Lahat dan Tujuh puluh delapan kerangka yang berasal dari 3.000–14.000 tahun yang lalu, diduga berasal dari Austronesia dan Austromelanesoid digali dari situs Gua Harimau di Desa Padang Bindu, Kabupaten Ogan Komering Ulu.[1] Peninggalan tujuh bilik batu yang diyakini berusia sekitar 2.500 tahun ditemukan di dekat perkebunan kopi di Kotaraya Lembak, Kabupaten Lahat.[2] Sekitar tahun 300 SM, masyarakat Deutero-Melayu tiba di wilayah ini dan mendorong penduduk asli ke pedalaman.
Daerah Besemah yang pernah diteliti oleh Van der Hoop, Tombrink, Westenek, Ullman, dan peneliti lainnya, daerah ini mudah dicapai dari kota-kota besar di sekitarnya, baik dari Jambi, Lubuklinggau, Palembang, dan lain-lain, karena tersedia jalan besar yang menghubungkan Besemah dengan kota-kota besar di sekitarnya. Situs-situs megalitik dataran tinggi Besemah meliputi daerah yang sangat luas mencapai 80 km². Situs-situs megalitik tersebar di dataran tinggi, puncak gunung, lereng, dan lembah. Situs Tinggihari, Tanjungsirih, Gunungkaya merupakan situs yang terletak di atas bukit, sementara situs Belumai, Tanjung Ara dan Tegurwangi merupakan situs yang terletak di lembah. Dari hasil penelitian Fadlan S. Intan diketahui bahwa daerah Lahat dibagi atas tiga satuan morfologi (bentang alam), yaitu:
- satuan morfologi pegunungan
- satuan morfologi bergelombang
- satuan morfologi dataran
Satuan morfologi pegunungan dengan puncak-puncaknya antara lain Gunung Dempo (3159 mdpl) dan pegunungan Dumai (1700 mdpl). Satuan morfologi bergelombang ketinggian puncaknya mencapai 250 mdpl, lereng umumnya landai, dengan sungai berlembah dan berkeolok-kelok. Satuan morfologi dataran dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Satuan morfologi pegunungan merupakan tempat tersedianya bahan hasil letusan Gunung Dempo yang menyebarkan lahar dan lava serta batuan-batuan vulkanis. Daerah Lahat dengan batuan-batuan beku andesitnya telah dipilih menjadi tempat pemukiman. Pemilihan ini tampaknya mempunyai pertimbangan-pertimbangan geografis dan tersedianya batuan untuk megalitik. Keadaan lingkungan di Besemah merupakan daerah yang sangat subur yang memungkinkan penduduk di sana dapat membudidayakan tanaman.
Sriwijaya
[sunting | sunting sumber]Sekitar abad ke-7 M, sebuah kerajaan Buddha kuno bernama Sriwijaya didirikan di daerah yang sekarang disebut Palembang. Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan kekuatan maritim, namun kerajaan ini tidak memperluas kekuasaannya ke luar kepulauan Asia Tenggara, kecuali menyumbang penduduk Madagaskar sejauh 3.300 mil sebelah barat. Beberapa ahli masih memperdebatkan kawasan yang merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya.[3] Kemungkinan besar kerajaan tersebut dahulu memindahkan pusat administrasinya, namun ibu kotanya tetap diperintah langsung oleh penguasa, sedangkan wilayah pendukungnya diperintah oleh datuk setempat.[4][5]
Pada abad ke-7, bangsa Tionghoa mencatat terdapat dua kerajaan yakni Melayu dan Kedah yang merupakan bagian dari kerajaan Sriwijaya.[6]
Kerajaan Sriwijaya sudah ada sejak tahun 671 menurut catatan Tionghoa Biksu Buddha Yijing. Dari prasasti Kedukan Bukit tahun 682, kerajaan ini mulai dikenal di bawah pimpinan Dapunta Hyang. Bahwa beliau berangkat dalam perjalanan suci siddhayatra untuk "mengambil berkah", dan memimpin 20.000 prajurit dan 312 orang di dalamnya dengan 1.312 prajurit berjalan kaki dari Minanga Tamwan ke Jambi dan Palembang. Prasasti Kedukan Bukit konon merupakan prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa Melayu. Para ahli berpendapat bahwa penulis prasasti ini mengadaptasi ortografi India.[7]
Berdasarkan Prasasti Kota Kapur bertanggal 686 Masehi yang ditemukan di Pulau Bangka, kerajaan ini pernah mendominasi Pulau Sumatera bagian Selatan, pulau Bangka dan Belitung, ke Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Kaisar Sri Jayanasa melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum kerajaan Bhumi Jawa yang tidak setia kepada Sriwijaya, peristiwa ini bertepatan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah, yang kemungkinan besar disebabkan oleh serangan Sriwijaya. Mungkin juga kerajaan Bhumi Jawa yang disebutkan dalam prasasti tersebut merujuk pada Kerajaan Tarumanegara.[8] Sriwijaya terus berkembang dan berhasil menguasai jalur perdagangan laut di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut Cina Selatan, Laut Jawa dan Selat Karimata.
Perluasan kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Melayu, memungkinkan Sriwijaya menguasai jalur perdagangan utama di Asia Tenggara. Arkeolog menemukan reruntuhan candi Sriwijaya hingga Thailand dan Kamboja. Pada abad ke-7, pelabuhan Champa di Indochina timur mulai mengalihkan para pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal ini, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan terhadap kota-kota pesisir di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong direbut oleh Sriwijaya pada awal abad ke-8. Sriwijaya melanjutkan dominasinya di Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri Kekaisaran Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya pada abad yang sama.[6] Pada akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing, berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada periode tersebut orang Sailendra merantau ke Jawa Tengah dan memerintah di sana. Pada abad yang sama, kerajaan Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian dari kerajaan tersebut.[6] Pada periode berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
Berdasarkan catatan sejarah dari Arabia, Sriwijaya disebut Sribuza. Pada tahun 955 M, Al Masudi, seorang musafir dan sejarawan Arab klasik menulis tentang Sriwijaya, menggambarkannya sebagai kerajaan besar yang kaya raya, dengan banyak prajurit. Sriwijaya memproduksi Kapur barus, gaharu, cengkeh, Cendana, pala, kapulaga dan Gambir.[9] Catatan lain dari seorang ahli Persia bernama Abu Zaid Hasan yang mendapat informasi dari Sujaimana, seorang pedagang Arab, bahwa kerajaan tersebut sudah maju dalam bidang pertanian. Abu Zaid menulis bahwa kerajaan Zabaj (nama Arab lain untuk Sriwijaya) memiliki tanah yang subur dan kekuasaan yang luas hingga ke seberang lautan.[10]
Sriwijaya menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara sepanjang abad ke-10, namun pada akhir abad tersebut Kerajaan Medang di Jawa Timur tumbuh menjadi kekuatan maritim baru dan mulai menantang dominasi Sriwijaya. Berita Tionghoa dari Dinasti Song menyebut nama Kerajaan Sriwijaya di Sumatera San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan Medang di Jawa dengan nama She-po. Dikatakan bahwa San-fo-tsi dan She-po terlibat dalam persaingan untuk menguasai Asia Tenggara. Kedua negara saling mengirimkan duta besarnya ke Tiongkok. Duta Besar San-fo-tsi yang berangkat pada tahun 988 ditahan di Kanton ketika ia kembali, karena negaranya diserang oleh pasukan Jawa. Penyerangan dari Pulau Jawa ini diduga terjadi sekitar tahun 990an, antara tahun 988 dan 992 pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa.[11]
Kerajaan Medang berhasil merebut Palembang pada tahun 992 untuk sementara waktu, namun kemudian pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya. Prasasti Hujung Langit tahun 997 menyebutkan serangan Jawa di Sumatra. Rentetan serangan dari Jawa ini akhirnya gagal karena Jawa gagal membangun pijakan di Sumatera. Merebut ibu kota Palembang saja tidak cukup karena Sriwijaya menyebar di beberapa kota pelabuhan di Selat Malaka. Kaisar Sriwijaya, Sri Cudamani Warmadewa, melarikan diri dari ibu kota dan berkeliling mendapatkan kembali kekuatan dan bala bantuan dari sekutu dan raja bawahannya serta berhasil memukul mundur angkatan laut Jawa.
Pada tahun 1025, kekaisaran ini dikalahkan oleh Kekaisaran Chola (pada masa Kaisar Rajendra Chola I) di India selatan.[12][13] Kerajaan Chola telah menaklukkan wilayah jajahan Sriwijaya seperti wilayah Kepulauan Nikobar dan sekaligus berhasil menangkap raja Sriwijaya yang berkuasa Sangrama-Vijayottunggawarman. Pada dekade-dekade berikutnya, seluruh kerajaan Sriwijaya berada di bawah pengaruh Dinasti Chola. Rajendra Chola I memberikan kesempatan kepada raja-raja yang ditaklukkannya untuk tetap berkuasa namun tetap tunduk padanya.[14] Ibu kota Sriwijaya akhirnya berpindah ke utara menuju Jambi. Hal ini dapat dikaitkan dengan berita delegasi San-fo-ts'i ke Tiongkok pada tahun 1028. Faktor kemunduran Sriwijaya lainnya adalah faktor alam. Akibat sedimentasi lumpur di Sungai Musi dan beberapa anak sungai lainnya, kapal dagang yang tiba di Palembang berkurang.[15] Akibatnya kota palembang semakin menjauh dari laut dan tidak strategis. Akibat kedatangan kapal dagang tersebut, pajak mengalami penurunan dan melemahkan perekonomian dan kedudukan Sriwijaya.[10]
Menurut buku Tiongkok Dinasti Song Zhu Fan Zhi,[16] ditulis sekitar tahun 1225 oleh Zhao Rugua, dua kerajaan terkuat dan terkaya di kepulauan Asia Tenggaran adalah Sriwijaya dan Jawa (Kediri), dengan bagian barat (Sumatera, Semenanjung Malaya, dan Jawa bagian barat/Sunda) di bawah kekuasaan Sriwijaya dan bagian timur di bawah kekuasaan Kediri. Dikatakan bahwa masyarakat di Jawa menganut dua agama, Budha dan agama Brahmana (Hinduisme), sedangkan masyarakat Sriwijaya menganut agama Budha. Buku tersebut menggambarkan masyarakat Jawa sebagai orang yang pemberani, pemarah dan mau berkelahi. Ia juga mencatat hiburan favorit mereka seperti sabung ayam dan adu babi. Koin yang digunakan sebagai mata uang terbuat dari campuran tembaga, perak, dan timah.
Sriwijaya tetap menjadi kekuatan laut yang tangguh hingga abad ke-13.[6] Menurut George Cœdès, pada akhir abad ke-13, kekaisaran "telah tidak ada lagi... disebabkan oleh tekanan simultan di dua sisinya yaitu Siam dan Jawa."[17] Namun, terjadi kekosongan kekuasaan di wilayah tersebut karena tidak ada kekuatan besar yang menguasai wilayah tersebut kecuali Kekaisaran Majapahit yang semakin melemah, yang berpusat di Pulau Jawa. Kekosongan ini memungkinkan perompak berkembang biak di wilayah tersebut.
Setelah ditaklukkan oleh Majapahit pada tahun 1375 M, wilayah Palembang dijadikan wilayah bawahan Kerajaan Majapahit, di bawah pimpinan Hayam Wuruk. Pemerintahan di Palembang diserahkan kepada seorang bupati yang diangkat langsung oleh Majapahit. Namun permasalahan internal di Kerajaan Majapahit mengalihkan perhatian mereka dari wilayah taklukan, menyebabkan wilayah palembang dikuasai oleh para pedagang dari Tiongkok. Hingga Majapahit kembali menguasai Palembang setelah mengirimkan seorang panglima bernama Arya Damar.
Kesultanan Palembang
[sunting | sunting sumber]Pada akhir abad ke-15, Islam telah menyebar ke seluruh wilayah, menggantikan agama Budha dan Hindu sebagai agama dominan. Sekitar awal abad ke-16, Tomé Pires, seorang petualang dari Portugal, mengatakan bahwa Palembang telah dipimpin oleh seorang Patih (bupati) yang ditunjuk dari Jawa yang kemudian dirujuk ke Kesultanan Demak dan ikut menyerang Malaka, yang pada saat itu telah dikuasai oleh Portugis. Pada tahun 1659, Sri Susuhunan Abdurrahman memproklamirkan berdirinya Kesultanan Palembang. Kesultanan Palembang berdiri selama hampir dua abad, yaitu pada tahun 1659 hingga tahun 1825. Sultan Ratu Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayidul Iman, atau Sunan Cinde Walang, adalah raja pertama Kesultanan Palembang.
Masa pemerintahan Sultan Muhammad Bahauddin (1776–1803) dikenal sebagai masa keemasan Kesultanan Palembang, perekonomian kesultanan meningkat tajam karena adanya perdagangan, termasuk dengan VOC. VOC kesal dengan monopoli perdagangan Sultan Bahauddin yang menyebabkan kontrak mereka sering ditolak. Sultan Bahauddin lebih suka berdagang dengan Inggris, Tiongkok dan Orang Melayu di Riau. Dampak dari kebijakan tersebut menghasilkan kekayaan yang sangat besar bagi kekaisaran. Kesultanan Palembang mempunyai letak yang strategis dalam melakukan hubungan dagang, terutama bumbu dengan pihak luar. Kesultanan Palembang juga menguasai Kepulauan Bangka-Belitung yang mempunyai tambang timah dan diperdagangkan sejak abad ke-18.[18]
Ketika Perusahaan Hindia Timur Belanda meningkatkan pengaruhnya di wilayah tersebut, Kesultanan mulai mengalami kemunduran dan kehilangan kekuasaannya. Selama Perang Napoleon pada tahun 1812, sultan pada saat itu, Mahmud Badaruddin II menolak klaim kedaulatan Inggris. Inggris, di bawah Stamford Raffles menanggapinya dengan menyerang Palembang, memecat istana, dan mengangkat adik laki-laki sultan yang lebih kooperatif, Najamuddin naik takhta. Belanda berusaha memulihkan pengaruhnya di istana pada tahun 1816, namun Sultan Najamuddin tidak mau bekerja sama dengan mereka. Sebuah ekspedisi yang dilancarkan Belanda pada tahun 1818 dan menangkap Sultan Najamudin serta mengasingkannya ke Batavia. Sebuah garnisun Belanda didirikan pada tahun 1821, tetapi sultan mencoba melakukan serangan dan meracuni garnisun secara massal, yang diintervensi oleh Belanda. Mahmud Badaruddin II diasingkan ke Ternate, dan istananya dibakar habis. Kesultanan ini kemudian dihapuskan oleh Belanda dan pemerintahan kolonial langsung didirikan.[19]
Pendudukan Jepang dan Kemerdekaan
[sunting | sunting sumber]Sumatera Selatan diduduki oleh Jepang pada tanggal 15 Januari 1942, setelah Pertempuran Palembang di Perang Dunia II.[20] Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Sumatera Selatan menjadi bagian dari Provinsi Sumatera sebagai keresidenan dengan Adnan Kapau Gani sebagai residennya. Pada tanggal 1 Januari 1947, Belanda berusaha merebut kembali kedaulatannya atas Sumatera Selatan dengan menyerbu Palembang dan terjadilah pertempuran di seluruh Sumatera Selatan hingga kemerdekaan Indonesia diakui oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949. Wilayah yang diduduki Belanda di Sumatera Selatan dimasukkan ke dalam Negara Sumatera Selatan di bawah Republik Indonesia Serikat sampai pembubaran serikat pekerja dan berdirinya republik.
Pemekaran provinsi pasca kemerdekaan
[sunting | sunting sumber]Pada tanggal 12 September 1950 berdirilah Provinsi Sumatera Selatan dengan wilayah yang jauh lebih luas dibandingkan sekarang, karena mencakup sepertiga bagian selatan pulau Sumatera yang meliputi wilayah yang akhirnya dibentuk menjadi provinsi-provinsi tersendiri: Lampung diukir dari bagian selatan provinsi pada tahun 1964, Bengkulu dari pesisir barat provinsi pada tahun 1967, dan Bangka Belitung pada tanggal 4 Desember 2000.[21]
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ "Prehistoric mother and child burial unearthed in Sumatran cave". archaeologynewsnetwork.blogspot.com.
- ^ "Prehistoric artifacts found in S. Sumatra".
- ^ George Cœdès, Louis-Charles Damais, (1992), Sriwijaya: history, religion & language of an early Malay polity : collected studies, MBRAS, ISBN 983-99614-1-1.
- ^ P. J. Suwarno, (1993), Pancasila budaya bangsa Indonesia:Penelitian Pancasila dengan pendekatan historis, filosofis & sosio-yuridis kenegaraan, Kanisius, ISBN 979-413-967-X.
- ^ Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1993), Sejarah Nasional Indonesia II (6 Seri), Edisi Pemuktahiran, PT Balai Pustaka, ISBN 979-407-408-X
- ^ a b c d Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet. hlm. 171. ISBN 9789814155670.
- ^ Collins 2005, hlm. 8.
- ^ Susanti, Dini; Rohman, Yusuf Ali (August 2011). PELAJARAN IPS-SEJARAH BILINGUAL:Untuk SMP/MTs. Kelas VII. Bandung: CV. YRAMA WIDYA. hlm. 86. ISBN 978-979-543-708-6.
- ^ Wade, Geoffrey (2009). "An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 900–1300 CE" (PDF). www.eastwestcenter.org. hlm. 252. Diakses tanggal 16 January 2013.
- ^ a b Sucipto 2009, hlm. 30.
- ^ Munoz 2006, hlm. 150.
- ^ Early kingdoms of the Indonesian archipelago and the Malay Peninsula by Paul Michel Munoz p.161
- ^ Cengage Advantage Books: The Earth and Its Peoples by Richard Bulliet, Pamela Crossley, Daniel Headrick, Steven Hirsch, Lyman Johnson p.182
- ^ Sastri K. A. N., (1935). The Cholas. University of Madras.
- ^ Sucipto 2009, hlm. 29.
- ^ Friedrich Hirth and W.W. Rockhill Chao Jukua, His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth centuries, entitled Chu-fan-chi Diarsipkan 2011-07-21 di Wayback Machine. St Petersburg, 1911.
- ^ Cœdès, George (1918). "Le Royaume de Çriwijaya". Bulletin de l'École Française d'Extrême-Orient. 18 (6): 1–36.
- ^ Ricklefs, M.C. A history of modern Indonesia since c. 1300. hlm. 139.
- ^ Schellinger, Paul E.; Salkin, Robert M., ed. (1996). Asia and Oceania: International Dictionary of Historic Places. New York: Routledge. hlm. 663. ISBN 1-884964-04-4.
- ^ "The Battle for Palembang". Forgotten Campaign: The Dutch East Indies Campaign 1941–1942. Diakses tanggal 22 March 2019.
- ^ Kita, Bunga Mayang Tiuh (2012). "Irsan Singo Mataram: Sejarah Sumatera Selatan". irsansingomataram.blogspot.com.