Lompat ke isi

Sulami Djojoprawiro

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Sulami Djojoprawiro(1926-2002) Sulami Berasal dari [[Sragen]] adalah mantan wakil sekretaris jenderal Dewan Pimpinan Pusat Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) era pimpinan Umi Sardjono. Perempuan kelahiran Kabupaten Sragen tersebut merupakan pejuang kemerdekaan pada masa kolonial Hindia Belanda, Jepang, Agresi Militer Belanda, dan Orde Lama yang bergabung dalam laskar bawah tanah yang bergerilya, Sulami Meninggal pada 2002 akibat stroke.

Riwayat perjuangan

[sunting | sunting sumber]

Bungkamnya Umi setelah keluar dari penjara lantas diatasinya dengan menggugat rehabilitasi nama Gerwani. Pada tahun 1999, dia mulai menerbitkan memoar epifani kisah tragisnya dikejar, diinterogasi, dan dipenjara berjudul Perempuan: Kebenaran dan Penjara. Buku tersebut dimulai dengan puisi yang ditulisnya berjudul Gugatan Anak Manusia.

Kisahnya agak berbeda dengan Umi karena dia mengalami proses pengadilan setelah masuk penjara selama delapan tahun. Setiap minggu dia menghadiri sidang pengadilan selama enam bulan bersama tiga rekannya. Dalam ruang pengadilan itu telah dilakukan rekayasa saksi. Dia membantah tuduhan yang ditimpakannya selaku pimpinan Gerwani, yaitu memerintahkan para anggotanya untuk hadir di Lubang Buaya. Saat itu, Gerwani memang ada di tempat tersebut untuk berlatih sebagai sukarelawati Konfrontasi Indonesia–Malaysia. Bantahan tak bergeming dilakukannya sebagai unjuk kekuatan dirinya yang menuntut kebenaran, meskipun dia akhirnya tetap dihukum selama 20 tahun dengan potongan masa tahanan dengan tuduhan melakukan penghianatan negara dan subversi.

Sulami tampaknya merasa puas ketika kukuh membela diri di pengadilan karena dia mempunyai kesempatan unjuk kesetiaan dan keberanian dalam membela kebenaran di pengadilan. Sulami tidak pernah menyerah berjuang untuk membela kehormatan diri dan kelompoknya. Penyair J.J. Kusni yang tinggal di Prancis menuliskan puisi, antara lain dia nyatakan “Sulami perempuan yang tidak pernah menyerah dan tidak pernah mencampakan mimpinya.” Hal itu termuat dalam puisi yang berjudul “Selamat Jalan, Sulami” yang disampaikan Kusni saat Sulami meninggal tahun 2002.

Sulami keluar dari penjara sekitar tahun 1984. Selama kurang lebih 18 tahun sisa hidupnya diisi tuntutan keadilan untuk dirinya dan kelompoknya. Bersama dengan tahanan politik seperti Pramoedya Ananta Tour, Hasan Raid, Koesalah Soebagyo Toer, dan Deborah Sumini. Dia mendirikan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP) setelah Orde Baru tumbang. Yayasan yang didirikan itu bergerak untuk kemanusiaan, keadilan, dan hukum. Bergerak mencari bukti kejahatan terhadap kemanusiaan yang pernah terjadi. Melalui kajian, advokasi, dan pemulihan hak korban pembunuhan 1965–1966, yayasan tersebut berhasil mendirikan Panti Jompo Waluyo Sejapti yang diperuntukkan bagi eks anggota Gerwani. Panti jompo yang dibuka oleh Gus Dur dan Taufiq Kiemas.

Buku memoar epifani Sulami ditulis dalam tubuh yang didera dengan tekanan yang dahsyat, jadinya penjelasan yang diberikan tidak lengkap. Namun, dengan jelas menampakkan hubungan pengikut Soekarno dengan urusan komunis. Sulami berkisah selama 15 bulan setelah dia menjadi buronan pada tahun 1965. Dia lari dari rumah ke rumah dan dari kota ke kota dengan makan dan tidur yang tidak teratur serta tidak cukup. Sebagai seorang buronan, dia menjadi bagian dari Pendukung Komando Presiden Soekarno (PKPS). Sulami ikut membuat dan menyebarkan buletin stensilan untuk setia mendukung kepemimpinan Soekarno, mencegah perang saudara, dan selesaikan masalah G30S.

Keberadan Gerwani dengan Soekarno inilah bias yang terjadi. Platform tentang mereka anti poligami, aturan ini diterapkan begitu ketat. Namun, pada diri Soekarno yang berpoligami Gerwani tak bersuara menentang atau menggugat karena Soekarno dipandang sebagai pemimpin yang menghancurkan neokolonialisme, kolonialisme dan imperialisme (Nekolim) yang dipandang lebih penting ketimbang urusan poligami. Sesungguhnya barangkali terkait dengan kekuasaan praktis yang hendak diraih.

Dalam buku memoar Sulami tertera tentang harapan agar kebenaran tidak lagi dimonopoli dan dipasung. Namun, ditunjukkan fakta yang tidak dapat dipalsukan. Fakta berada di sana menunggu disingkap dengan lengkap dan resmi. Sejarah Gerwani memang harus ditulis ulang, bukan untuk kepentingan penguasa yang rekaya kebenaran saja. Tetapi juga untuk anak cucu agar bangsa bisa dibangun berdasarkan kebenaran fakta.

Sulami dan kelompok ingin Gerwani direhabilitasi namanya sesuai dengan fakta yang ada, karena Gerwani bukan kelompok permisivisme, bejat, rusak moral yang melanggar batas-batasan kesopanan dan kepatuhan perempuan Timur dan agama. Gerwani juga tidak melakukan pesta pora seks dan menyilet kemaluan jenderal yang dibunuh. Kebanaran yang dituntut Sulami dan kawan-kawan dibuktikan oleh Saskia E.Wieringa yang menilai Gerwani adalah organisasi perempuan berpandangan kolot dalam hal seksualitas dan progresif di bidang politik. Meluruskan mengenai sejarah Gerwani diperlukan untuk fondasi Indonesia berkembang. Siapa yang mau melakukannya terutama di bidang wacana sejarah yang masih beredar. Seharusnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mulai beraksi. Menarik peredaran buku pelajaran yang memfitnah Gerwani.[1]

  1. ^ Hudiono, Esthi Susanti; Bodjawati, Seruni (2019). Perempuan-Perempuan Menggugat (Literasi Rupa Sejarah Perempuan Indonésia). Yogyakarta: Media Pressindo bekerjasama dengan Komunitas Inklusi Sosial dan Perdamaian Indonésia. hlm. 85–88. ISBN 978-623-7254-10-2.