Surachman
Surachman (Yogyakarta, 25 Agustus 1926-Blitar Agustus 1968) adalah seorang menteri Indonesia. Ia menjadi Menteri Irigasi Kabinet Dwikora II sekaligus Sekretaris Jenderal Partai Nasional Indonesia (PNI).
Kiprah
[sunting | sunting sumber]Surachman lahir di Yogyakarta, 25 Agustus 1926. Ia mendapat gelar insinyur pertanian dari Universitas Gajah Mada pada 1961. Semasa mahasiswa, Surachman sudah aktif di organisasi Petani—organisasi massa yang menjadi onderbouw PNI yang bergerak di kalangan petani—dan PNI setempat. Pada tahun 1957, ia terpilih menjadi anggota DPRD Yogyakarta. Dua tahun kemudian, Surachman terpilih menjadi Sekretaris Jenderal Petani. Ia dikenal sebagai pekerja keras, meskipun sifatnya cenderung pemalu.
Karier politiknya di tingkat nasional terus menanjak. Pada 1960, Surachman diangkat menjadi anggota Dewan Harian Front Nasional dan anggota DPR Gotong Royong, sebagai wakil golongan fungsional. Setahun kemudian, ia ditunjuk menjadi anggota staf Kotoe (Komando Tertinggi Operasi Ekonomi), lembaga yang dibentuk Presiden Soekarno untuk membantu jalannya perekonomian negara.
Surachman termasuk salah satu tokoh muda nasionalis yang dekat dengan Bung Karno. Cerita di balik naiknya Surachman sebagai Sekjen PNI dalam Kongres X di Purworejo, 28 Agustus sampai 1 September 1963, menunjukkan kedekatan ideologis tersebut. Saat itu pertarungan antar-faksi, terutama antara faksi Ali Sastroamidjojo (ketua umum) yang cenderung radikal dengan faksi Hardi (sekjen) yang konservatif, di internal PNI menajam.
Di tengah panasnya suasana kongres, Bung Karno dalam pidatonya mendesak pimpinan partai dari kalangan tua agar memberi kesempatan bagi orang-orang muda. Sehari setelah pidato itu, sejumlah cabang PNI yang mendukung faksi Ali mengirim utusan menghadap presiden untuk menanyakan maksud pidatonya.
Salah seorang tokoh muda yang dianjurkan Bung Karno untuk dimasukkan ke dalam pimpinan partai adalah Surachman. Maka, kelompok Ali pun menyokong Surachman dalam pemilihan sekjen. Lawannya adalah Soebagio Reksodipoero, yang disokong kelompok Hardi. Dalam pemilihan sekjen, Surachman menang tipis, unggul dua suara dari keseluruhan 600 suara.
Bersamaan dengan terpilihnya Surachman sebagai Sekjen PNI, peranan garis nasionalis-radikal makin menguat. Beberapa tokoh Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) juga masuk dalam jajaran DPP PNI, seperti John Lumingkewas, Lucien Pahala Hutagaol, dan Bambang Kusnohadi. Dalam perubahan dinamika partai tersebut, Surachman berperan penting. Ia merupakan patron atau tokoh panutan bagi kaum muda beraliran nasionalisme-radikal di dalam partai.
Kehadiran para tokoh muda, yang dimotori Surachman, dengan garis politik nasionalis-radikal ini membuat PNI makin menggelora. Hubungan Presiden Soekarno dengan jajaran pimpinan PNI, terutama dari kalangan muda, makin terjalin akrab. Pada bulan April 1964, misalnya, suatu delegasi yang berjumlah 26 aktivis muda PNI, di bawah pimpinan Surachman, diterima Bung Karno di Istana Negara untuk membicarakan usaha-usaha pengembangan partai. Bung Karno menantang mereka untuk menjadikan PNI sebagai “partai pelopor“.
Menjawab tantangan Bung Karno itu, Surachman pun menggalang tokoh-tokoh muda PNI untuk mendinamisir partai. Dan hasinya segera terasa. Tema baru dalam propaganda dan indoktrinasi partai merefleksikan perubahan ini. Pidato-pidato para pemimpin partai pada waktu itu terpusat pada “kebutuhan kembali kepada kaum marhaen“, dalam rangka membangun persatuan antara partai dengan ormas di dalam Front Marhaenis yang kuat, serta tekad untuk menjadikan PNI sebagai “partai pelopor“.
Perkembangan ini memuncak saat dicetuskan Deklarasi Marhaenis dalam pertemuan Badan Pekerja Kongres PNI di Lembang, Bandung, November 1964. Deklarasi Marhaenis digagas Surachman bersama tokoh-tokoh muda yang berasal dari GMNI dan Petani.[1]
Akhir hayat
[sunting | sunting sumber]Sejak Februari 1966, ia menjadi buronan karena dituduh sebagai anggota PKI. Hampir setahun kemudian, peran politik Surachman sebagai “orang PKI yang diselusupkan” ke tubuh PNI dikuatkan oleh Kusnun alias Abdullah, anggota verfikasi CC PKI urusan Kalimantan. Dalam sidang hari ke-4 pengadilan subversi terhadap terdakwa Sardjono dan Florentinus Suharto pada 30 Mei 1969, Kusnun menyebut bahwa Ir. Surachman (PNI) dan Karim DP merupakan para infiltran PKI. Tetapi ketika ditanya tentang bukti administratif mengenai keberadaan para anggota PKI yang berada di partai-partai lain itu, Kusnun menjawab soal tersebut sulit dihadirkan di pengadilan.
Pendapat Surachman sebagai orang komunis yang menyelundup di tubuh PNI semakin kuat ketika Profesor Soenarjo S.H (salah seorang pendiri PNI) menyebut dalam bukunya Banteng Segitiga, Surachman sebagai anggota PNI yang lebih pandai mengekor PKI. Satya Graha, mantan wakil pemimpin redaksi Suluh Indonesia, menyatakan ketidakpercayaannya terhadap tuduhan itu.[2]
Nama Surachman dan beberapa tokoh PNI (Supeni, Zaini Mansur, Bambang Kusnohadi, Karim DP, dan Sumarno) memang tercantum sebagai anggota Dewan Revolusi, yang melakukan Gerakan 30 September. Tapi, keenam anggota pimpinan pleno PNI itu telah mengeluarkan pernyataan bahwa mereka tidak tahu-menahu mengenai Gerakan 30 September, serta tidak bertanggungjawab atas pencantuman nama-nama mereka sebagai anggota Dewan Revolusi.
Namun, semua bantahan itu diacuhkan rezim militer Orde Baru. Sejak Februari 1966, Surachman dinyatakan sebagai buronan oleh rezim militer Orde Baru. Ia memang sengaja melarikan diri untuk menghindari penangkapan dan siksaan yang telah dialami kawan-kawannya sesama Soekarnois, termasuk sejumlah menteri kabinet terakhir Soekarno.[1]
Ketika sisa-sisa PKI melancarkan aksi gerilya di Blitar Selatan, Surachman membuat keputusan cepat untuk bergabung dengan para pemberontak. Terlebih baginya Malang Selatan dan Blitar Selatan adalah dua tempat yang tidak asing, mengingat sebagai anggota Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) pada era Perang Kemerdekaan (1946-1949), dia pernah bergerilya melawan Belanda di wilayah tersebut.[2]
Pada Juli 1968, Surachman tertangkap saat tentara melalukan operasi militer di Malang Selatan-Blitar. Karena penyiksaan yang hebat selama diinterogasi, ia mengalami luka parah. Dan tak lama kemudian, ia meninggal dunia. Usianya menjelang 42 tahun.[1]