Sutanto Wiryoprasonto
Sutanto Wiryoprasonto | |
---|---|
Wakil Ketua Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional | |
Masa jabatan 1989–1993 | |
Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional | |
Masa jabatan 6 Desember 1989 – 1998 | |
Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan dan Kebudayaan | |
Masa jabatan 28 April 1980 – 12 Januari 1987 | |
Informasi pribadi | |
Lahir | Surakarta, Jawa Tengah, Hindia Belanda | 24 Juli 1924
Meninggal | 3 April 2000 | (umur 75)
Karier militer | |
Pihak | Indonesia |
Dinas/cabang | TNI Angkatan Darat |
Masa dinas | 1944—1979 |
Pangkat | Letnan Jenderal TNI |
NRP | 10964 |
Satuan | Infanteri |
Sunting kotak info • L • B |
Letnan Jenderal TNI (Purn.) Sutanto Wiryoprasonto (24 Juli 1924 – 3 April 2000) merupakan seorang perwira tinggi angkatan darat dan birokrat dari Indonesia. Ia menjabat sebagai Komandan Sekolah Staf dan Komando ABRI dari 1974 hingga 1977 dan Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dari tahun 1980 hingga 1987.
Masa kecil dan pendidikan
[sunting | sunting sumber]Sutanto Wiryoprasonto dilahirkan di Surakarta pada tanggal 24 Juli 1924.[1] Ayahnya, R. Wirjoprasonto, merupakan seorang pedagang batik dan terlibat aktif sebagai bendahara di organisasi Muhammadiyah Surakarta. lbunya, Sri Sari, merupakan adik dari ayah mantan menteri pertambangan Subroto. Ia merupakan anak kedua dari tiga bersaudara di dalam keluarganya.[2]
Sutanto mengiku di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Muhammadiyah Bersubsidi di Surakarta dari tahun 1930 hingga 1937. Selama bersekolah di sana, ia berteman dengan Hetami (Pemimpin Redaksi Harian Suara Merdeka) dan Imam Soepomo (Duta Besar Indonesia untuk Papua Nugini). Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Surakarta dari tahun 1937 hingga 1940. Teman seangkatannya di MULO Surakarta antara lain mantan Gubemur DKI R. Soeprapto dan Tjokropranolo serta mantan Duta Besar Indonesia untuk Singapura Soenarso. Selama bersekolah di HIS dan MULO, Sutanto aktif dalam gerakan kepanduan Hizbul Wathan.[2]
Setelah menamatkan pendidikan MULO, Sutanto ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, namun orangtuanya menolak karena takut bahwa Sutanto akan terpengaruh kebiasaan orang Belanda dan meninggalkan agama. Sutanto kemudian berdagang dari kampung ke kampung dengan menggunakan sepeda.[2]
Karier militer
[sunting | sunting sumber]Masa pendudukan Jepang dan Revolusi Nasional Indonesia
[sunting | sunting sumber]Pada masa pendudukan Jepang, Sutanto menjalani pendidikan militer di Bo-ei Giyugun Kanbu Kyo Iku Tai (Pusat Latihan Kepemimpinan Tentara Sukarela)[1][3] yang dikhususkan untuk membentuk perwira (shodanchō) di kesatuan Pembela Tanah Air (PETA). Pusat latihan ini didirikan di Bogor dan dibuka sejak tahun 1942. Sejumlah tamatan MULO Surakarta, seperti R. Soeprapto, Tjokropranolo, Soenarso, dan Soedirgo (yang kelak menjadi Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara), juga mengikuti pendidikan tersebut. Setelah menjalani pendidikan ini, Soetanto dipilih oleh komandan pusat latihan, Letnan Satu Yanagawa Motoshige, untuk menjalani pendidikan lanjutan selama enam bulan.[2] Setelah menjalani pendidikan lanjutan, Sutanto ditetapkan menjadi anggota Tokubetsu Yugekitai (Pasukan Gerilya Istimewa), sebuah unit khusus di dalam PETA yang bertugas untuk melakukan kegiatan intelijen.[2][4]
Setelah menjalani pendidikan militer, Sutanto ditunjuk sebagai instruktur calon prajurit PETA di Tawangmangu, Surakarta. Sutanto diam-diam berupaya untuk menghubungkan tiga markas pusat PETA di Jawa, yang secara sengaja dipisahkan oleh pemerintah pendudukan Jepang untuk menghindari ancaman terhadap pemerintah pendudukan Jepang.[2]
Sutanto bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Ia langsung memperoleh pangkat kapten dan menjabat sebagai komandan kompi senapan pada batalyon 4 di Surakarta.[3] Sebagai komandan kompi, Sutanto memimpin penurunan bendera Jepang di kantor pos dan markas Kempetai Surakarta. Kompi yang dipimpinnya kemudian dikirim ke front Srondol, Semarang, untuk menghadapi serangan tentara Belanda. Pada tahun 1947, kompinya dipindahtugaskan ke front Padalarang sebagai bagian dari Komandemen I Jawa Barat. Sutanto kemudian dipindahkan ke Tengaran, Salatiga, saat terjadi peristiwa Agresi Militer Belanda I.[1][2]
Sutanto tetap bertugas sebagai komandan kompi di Tengaran hingga Agresi Militer Belanda II. Sutanto memperoleh kenaikan jabatan menjadi kepala staf batalyon setelah peristiwa tersebut dan ditugaskan untuk memasang tanda garis demarkasi antara Front Salatiga yang dikuasai oleh Indonesia dengan pihak Belanda. Pada saat yang bersamaan, peristiwa Pemberontakan PKI 1948 pecah. Sutanto ditugaskan oleh gubernur militer Gatot Subroto untuk menyusup ke Wonogiri, yang sudah dikuasai oleh PKI, bersama dengan Tjokropranolo dan Slamet Riyadi. Setelah pemberontakan berhasil ditumpas, Sutanto kembali ditugaskan untuk mengamankan kota Surakarta dari pemberontakan bersama dengan Divisi Siliwangi dari Jawa Barat. Sutanto kembali menghadapi Belanda dan bergerilya di daerah segitiga Surakarta - Tawangmangu -Sukoharjo. Menjelang Konferensi Meja Bundar dan penyerahan kedaulatan, Sutanto menjadi perwira penghubung di Sukoharjo.[2]
Setelah pengakuan kedaulatan, pemberontakan terjadi di sejumlah daerah di Indonesia, dan Sutanto kembali ditugaskan untuk menghadapinya. Ia dikirim ke Bandung sebagai bagian dari gugus tugas Brigade Slamet Riyadi untuk menghadapi pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil dan ke Leles, Garut, untuk menghadapi pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Beberapa waktu kemudian, terjadi pemberontakan separatis Republik Maluku Selatan, dan Sutanto kembali dikirim ke sana sebagai bagian dari gugus tugas Brigade Slamet Riyadi.[2]
Masa pascaperang
[sunting | sunting sumber]Sutanto diangkat menjadi Wakil Komandan Batalyon Infanteri 423. Batalyon Infanteri 423 dan 426 merupakan dua batalyon yang banyak diisi oleh mantan Hizbullah, dan dekat dengan DI/TII di Jawa Tengah. Kedua batalyon ini kemudian diperiksa oleh Soeharto, yang kelak menjadi presiden, selaku komandan brigade yang membawahi kedua batalyon tersebut. Dalam proses pemeriksaan, komandan Batalyon 423, Mayor Basuno, dibunuh oleh anak buahnya sendiri yang terpengaruh DI/TII. Di sisi lain, batalyon 426 melakukan pemberontakan untuk bergabung dengan DI/TII.[5] Sutanto sebagai orang nomor dua di batalyon tersebut ditugaskan untuk mencegah batalyonnya bergabung dengan pemberontak dan menumpas pemberontakan. Batalyon 423 juga kemudian dikirim ke Maluku untuk menghadapi RMS.[2]
Sutanto memperoleh promosi menjadi komandan batalyon 438 pada tahun 1952. Batalyonnya diberangkatkan ke Bantarkuwung dan Genteng untuk menghadapi pemberontakan DI-TII di daerah tersebut. Ia kemudian mengikuti pendidikan militer lanjutan di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD), Bandung, dari tahun 1954 hingga 1955.[2] Setelah menyelesaikan pendidikannya di SSKAD, Sutanto diangkat oleh Soeharto, yang pada saat itu menjabat sebagai Panglima Tentara Teritorium IV/Diponegoro, sebagai asisten III.[3] Soeharto kemudian diberhentikan dari jabatannya sebagai panglima dan Sutanto dipindahtugaskan menjadi Komandan Resimen Tim Pertempuran II/Diponegoro di Sumatera Barat untuk menghadapi Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia. Pasukan pimpinannya berhasil merebut kem bali daerah Lubuk Sikaping, Lubuk Basung, Lintau, Suliki dan Koto Tinggi dari PRRI.[2]
Sutanto kembali menempuh pendidikan militer lanjutan di Defence Services Staff College , India, dari tahun 1960 hingga 1961. Ia kemudian ditugaskan di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (singkatannya telah berubah menjadi Seskoad) sebagai dosen dan naik jabatan menjadi Kepala Departemen Staf dan Pengetahuan Umum Seskoad pada tahun 1963 dan Kepala Departemen Infanteri pada tahun 1964.[1] Ia dipindahkan ke Pusat Kesenjataan Infanteri (Pussenif) untuk menjabat sebagai wakil komandan hingga tahun 1968. Selama bertugas di Pussenif, ia merumuskan Doktrin Infantri, lnfantri Gaya Baru, Kriteria·Kemahiran Tembak, serta menetapkan Hari lnfantri yang diambil dari peristiwa Palagan Ambarawa.[2]
Sutanto kembali ke Seskoad pada tahun 1968 sebagai wakil komandan. Sutanto kemudian dipromosikan menjadi Komandan Seskoad pada tanggal 1 November 1970.[6] Di bawah pimpinannya, Seskoad berhasil menyelenggarakan Seminar Pewarisan TNI AD yang menghasilkan buku Dharma Pusaka 1945.[2] Sutanto mengakhiri masa jabatannya sebagai Komandan Seskoad pada tanggal 20 Maret 1974.[7] Ia kemudian menjabat sebagai Komandan Jenderal Sekolah Staf dan Komando ABRI dari tanggal 9 Mei 1974[1] hingga 10 Oktober 1977.[8] Sutanto pensiun dari militer pada tanggal 1 Agustus 1979 dengan pangkat letnan jenderal.[2]
Karier dalam pendidikan dan masa pensiun
[sunting | sunting sumber]Beberapa bulan setelah menjalani masa pensiun Sutanto diusulkan oleh Pangkopkamtib Sudomo untuk ditempatkan di Operasi Tertib. Usul Sudomo ditolak oleh Presiden Soeharto yang kemudian menempatkannya di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.[2] Sutanto dilantik menjadi Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tanggal 28 April 1980, menggantikan Teuku Umar Ali.[2]
Sebagai sekretaris jenderal, Sutanto mengusulkan penataran staf kepada Pusat Pendidikan dan Latihan untuk menanggulangi ketidakterpaduan dalam melaksanakan tugas. Usulan tersebut membuahkan perencanaan terpadu tahunan melalui Rapat Kerja Nasional untuk menjalankan kebijakan menteri.[2] Dalam hal administrasi, Sutanto mengawal pembentukan kantor cabang Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di kabupaten dan kota di Provinsi Timor-Timur yang baru berdiri.[9]
Pada tanggal 27 September 1980, Sutanto mengeluarkan surat edaran yang melarang lembaga-lembaga yang berada di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, termasuk universitas negeri, untuk membaca dan memiliki novel Bumi Manusia hasil karya Pramoedya Ananta Toer. Larangan ini kemudian dikonfirmasi oleh kantor wilayah departemen dan sekretariat Institut Teknologi Bandung.[10] Sutanto beralasan bahwa novel Bumi Manusia "mengandung unsur pertentangan kelas yang merawankan".[11] Penerbit buku tersebut, PT Hasta Mitra, membalas larangan tersebut dengan menyatakan bahwa "siapapun yang memiliki pemahaman tepat mengenai teori konflik kelas akan malu dengan anggapan bahwa teori tersebut dapat ditemukan di [dalam novel] Bumi Manusia."[10] Kendati demikian, Sutanto tidak bergeming dengan larangannya tersebut. Larangannya diperkuat melalui surat keputusan yang dikeluarkan oleh jaksa agung Ismail Saleh pada tanggal 29 Mei 1981 yang melarang beredarnya buku Bumi Manusia di seluruh wilayah Indonesia.[12]
Setelah bertugas sebagai sekretaris jenderal selama hampir sewindu, pada tanggal 12 Januari 1987[1] Sutanto digantikan dari jabatannya oleh Bambang Triantoro.[13] Sutanto kemudian ditunjuk menjadi anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN), sebuah lembaga yang dibentuk untuk memberikan nasihat kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Sutanto dilantik pada 1989 dan terpilih sebagai wakil ketua badan tersebut.[14] Ia menjabat sebagai wakil ketua hingga tahun 1993 dan terpilih kembali sebagai anggota BPPN[14] untuk periode kedua hingga tahun 1998.[15] Sutanto wafat dua tahun kemudian pada tanggal 3 April 2000 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata.[16]
Kehidupan pribadi
[sunting | sunting sumber]Sutanto menikah pada awal tahun 1950an dengan seorang perempuan dan memiliki tiga orang anak. Istrinya wafat pada tahun 1977 akibat serangan jantung. Sutanto kemudian menikah lagi pada tahun 1978 dengan Sutarni, mantan pacarnya yang sudah menjadi janda setelah kematian suaminya pada tahun 1964. Sutanto dan Sutarni kemudian menunaikan ibadah haji pada tahun 1979. Pasangan tersebut memiliki enam anak: tiga anak dari perkawinan antara Sutanto dan istrinya yang pertama dan tiga anak lainnya dari perkawinan antara Sutarni dan suaminya.[2]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c d e f Bachtiar, Harsya W. (1988). Siapa dia? Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD). Jakarta. hlm. 407 – 408. ISBN 9789794281000.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s Sumardi, S.; Sutjiatiningsih, Sri; Wahjuningsih; Masykuri (1984). Biografi Para Pejabat Utama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Sejak Masa Orde Baru. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. hlm. 64–71.
- ^ a b c "Riwajat Singkat". Karya Wira Jati (62): 183. 1962. Diakses tanggal 17 Juni 2023.
- ^ "Notes on the history of Indonesian intelligence organizations, 1945-1965". Nautilus Institute for Security and Sustainability (dalam bahasa Inggris). 19 Desember 2011. Diakses tanggal 2023-06-17.
- ^ Wibisono, Nuran. "Batalion 426 yang Mengawali Isu Radikalisme di Tubuh TNI". tirto.id. Diakses tanggal 2023-06-17.
- ^ "Serah Terima Djabatan Komandan Seskoad". Kompas. 3 November 1970. hlm. 2.
- ^ "PEJABAT-PEJABAT DANSESKOAD". Seskoad. Diarsipkan dari versi asli tanggal 11 Juli 2015.
- ^ "Danjen Sesko ABRI". Kompas. 11 Oktober 1977. hlm. 12.
- ^ "Dr Daoed Joesoef: Guru faktor penentu dalam pendidikan". Kompas. 27 Mei 1980. hlm. 6. Diakses tanggal 17 Juni 2023.
- ^ a b Foulcher, Keith (1981). ""Bumi Manusia" and "Anak Semua Bangsa": Pramoedya Ananta Toer Enters the 1980s". Indonesia (32): 9. doi:10.2307/3350853. ISSN 0019-7289.
- ^ Atmakusumah (1981). Kebebasan pers dan arus informasi di Indonesia: beberapa cermin perkembangan 12 tahun. Lembaga Studi Pembangunan. hlm. 9.
- ^ "Buku Pram Sampai Di Sini". Tempo. 6 Juni 1981. Diakses tanggal 17 Juni 2023.
- ^ "Serah Terima Jabatan Menyerahkan Jabatan". Tempo. 17 Januari 1987. Diakses tanggal 17 Juni 2023.
- ^ a b Janarto, Herry Gendut (2013-05-17). Karlinah Umar Wirahadikusumah Bukan Sekedar Istri Prajurit. Gramedia Pustaka Utama. hlm. 224. ISBN 978-602-03-5569-6.
- ^ Presiden RI ke II Jenderal Besar H.M. Soeharto dalam berita: 1993. Antara Pustaka Utama. 2008. hlm. 720. ISBN 978-979-9258-21-2.
- ^ "Daftar Makam Tahun 1999-2000". Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan, dan Kesetiakawanan Sosial. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-10-15. Diakses tanggal 7 Januari 2022.
227, Soetanto Wirjo Prasonto, V-494, 3 - 4 - 2000