Wikipedia:Artikel pilihan/Usulan/Sejarah awal Gowa dan Tallo
Tinjauan sudah komprehensif, sudah ada 2 persetujuan eksplisit dan satu komentar positif. Komentar-komentar lain pun sudah ditanggapi semua. Mimihitam 23 Mei 2019 21.20 (UTC)
- Diskusi di bawah adalah arsip dari pengusulan artikel pilihan. Terima kasih atas partisipasi Anda. Mohon untuk tidak menyunting lagi halaman ini. Komentar selanjutnya dapat diberikan di halaman pembicaraan artikel.
Artikel ini disetujui.
- Pengusul: Masjawad99 (b • k • l) · Status: Selesai
Artikel mengenai periode awal persekutuan kerajaan Gowa dan Tallo. Terjemahan dari versi bahasa Inggris yang berstatus AB. Isinya komprehensif dan lumayan berimbang. Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 07.32 (UTC)
Komentar dari Mimihitam
[sunting sumber]Status: Selesai membaca, menunggu tanggapan Mimihitam 26 April 2019 05.27 (UTC) Mendukung pencalonan artikel ini sebagai AP Mimihitam 29 April 2019 15.24 (UTC)
Terjemahannya bagus, dan versi Inggrisnya sebenarnya layak jadi AP di sana, sayang saja tidak diusulkan. Referensi-referensinya semua akademis, jadi sangat luar biasa artikelnya dan bisa jadi teladan buat artikel-artikel sejarah Indonesia lainnya (termasuk mungkin kalau ada yang mau melengkapi artikel Kerajaan Gowa). Berikut beberapa masukanku.
Komentar awal
[sunting sumber]- Menurutku semua kata Talloq mending diganti jadi Tallo karena ejaan yang tanpa q lebih dikenal di Indonesia
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 18.16 (UTC)
- Apakah "chiefdom" memang disebut "kepenghuluan" di Gowa dan Tallo?
- Sebenarnya tidak ada istilah khusus, pemisahan antara chiefdom dan negara hanya dilakukan oleh para arkeolog. Menurut Cummings (2014), masyarakat Sulsel sendiri tidak melihat adanya perbedaan yang berarti antara Gowa sebagai chiefdom dan Gowa sebagai negara sejati. Saya memakai padanan "kepenghuluan" karena lebih familiar saja (saya dari Sumatra). Soalnya "negeri" saya pakai untuk padanan "polity". Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 18.16 (UTC)
- @Masjawad99 Mungkin bisa diubah jadi "chiefdom (kira-kira setara dengan kepenghuluan)". Kalau soal polity, dulu waktu menerjemahkan Peradaban Maya saya padankan jadi "masyarakat berpemerintahan" sesuai dengan Glosarium Kemendikbud, mungkin bisa jadi pertimbangan juga. Mimihitam 26 April 2019 03.54 (UTC)
- @Mimihitam: Wah, iya, saya tidak kepikiran Glosarium Kemendikbud. Saya cek, ternyata chiefdom dipandankan dengan "kedatuan". Bagaimana jika pakai istilah ini sekalian? Istilah kedatuan juga sepertinya cocok dipakai di Sulsel, karena gelar datu banyak dipakai oleh raja-raja kecil di sana, seperti di Suppa dan Luwu. Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 04.46 (UTC)
- @Masjawad99 sepertinya agak berisiko, karena kalau aku cek pengertiannya kedatuan, sepertinya sudah sampai tahap polity atau kingdom, sementara di Gowa pada masa awal bentuknya masih berupa chiefdom yang berada "di tengah-tengah" suku dan kerajaan. Mimihitam 26 April 2019 05.10 (UTC)
- Sudah dikerjakan Saya tambahkan di catatan penjelasan karena agak panjang. Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 05.30 (UTC)
- @Mimihitam @Japra Jayapati Sumber dari Druce (2009, hlm. 165) menyebutkan bahwa istilah chiefdom merupakan padanan dari wanua (Bugis) dan banoa/banua (Makassar). Saya cek sumber-sumber Indonesia dan Melayu, juga menggunakan padanan yang sama, seperti yang ini. Istilah "wanua" dengan makna bahasa Bugis sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia, tapi "banua" dengan makna bahasa Makassar belum. Apakah bisa dipakai istilah wanua? Masjawad99 (bicara) 1 Mei 2019 18.37 (UTC)
- @Masjawad99: Saya rasa boleh saja pakai wanua. Dugaan saya, lema wanua dalam KBBI bukan diserap dari bahasa Bugis melainkan dari istilah generik Austronesia (via bahasa Jawa kuno) untuk menyebut permukiman. Istilah ini lazim dijumpai dalam prasasti-prasasti berbahasa Jawa Kuno dengan pengertian "desa". Sifat umum dari makna wanua/banua sebagai "permukiman" ini masih lestari dalam bahasa-bahasa di Sulawesi. Di Minahasa, wanua berarti "desa", dalam bahasa Bugis, wanua dapat berarti "kampung" (satu permukiman tunggal dengan satu chief) maupun "negeri" suku bangsa Bugis (keseluruhan daerah hunian suku bangsa Bugis), sementara di Toraja, banua berarti tempat tinggal (rumah). تابيق ~ Japra (obrol) 2 Mei 2019 03.13 (UTC)
- @Japra Jayapati: Eh tapi di KBBI ditandai Bg (Bugis). Tapi memang wanua sebenarnya juga ada di bahasa Melayu Kuna, dipakai di Prasasti Kedukan Bukit, jadi tidak begitu asing (dan memang turunan langsung dari Proto-Malayo-Polinesia *banua. Oke kalau begitu saya ganti jadi "wanua" dengan tambahan chiefdom dalam kurung. Masjawad99 (bicara) 2 Mei 2019 03.24 (UTC)
- @Masjawad99: "Dugaan saya", namanya juga dugaan, bisa saja salah kan? تابيق ~ Japra (obrol) 2 Mei 2019 03.26 (UTC)
- @Japra Jayapati: Hahaha, ok ok. Tapi btw, setelah saya pikir-pikir, rasanya kurang pas karena ada istilah "chiefdom kompleks" yang kalau jadi wanua kompleks rasanya aneh. Jadinya saya tambahkan saja di catatan kaki kalau yang dimaksud ini "banua/banoa/wanua". Terima kasih juga sudah merespon, informasinya menarik sekali. Masjawad99 (bicara) 2 Mei 2019 03.34 (UTC)
- @Japra Jayapati: Eh tapi di KBBI ditandai Bg (Bugis). Tapi memang wanua sebenarnya juga ada di bahasa Melayu Kuna, dipakai di Prasasti Kedukan Bukit, jadi tidak begitu asing (dan memang turunan langsung dari Proto-Malayo-Polinesia *banua. Oke kalau begitu saya ganti jadi "wanua" dengan tambahan chiefdom dalam kurung. Masjawad99 (bicara) 2 Mei 2019 03.24 (UTC)
- @Masjawad99: Saya rasa boleh saja pakai wanua. Dugaan saya, lema wanua dalam KBBI bukan diserap dari bahasa Bugis melainkan dari istilah generik Austronesia (via bahasa Jawa kuno) untuk menyebut permukiman. Istilah ini lazim dijumpai dalam prasasti-prasasti berbahasa Jawa Kuno dengan pengertian "desa". Sifat umum dari makna wanua/banua sebagai "permukiman" ini masih lestari dalam bahasa-bahasa di Sulawesi. Di Minahasa, wanua berarti "desa", dalam bahasa Bugis, wanua dapat berarti "kampung" (satu permukiman tunggal dengan satu chief) maupun "negeri" suku bangsa Bugis (keseluruhan daerah hunian suku bangsa Bugis), sementara di Toraja, banua berarti tempat tinggal (rumah). تابيق ~ Japra (obrol) 2 Mei 2019 03.13 (UTC)
- Itu templat referensinya tolong diganti jadi sfn semua alih2 harv, karena kalau pakai harv jadi ada kurungnya
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 03.48 (UTC)
- "(Bulbeck 1992, hlm. 120-121, also Figure 4-4)" --> belum diterjemahkan tuh
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 18.16 (UTC)
- Semua kata "kr." mungkin bisa diganti "sekitar", karena "kr." bukan singkatan yang lazim di Indonesia (tempatnya sendiri ada gara2 ada yang mencoba mencari padanan harfiah "c.")
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 18.16 (UTC)
- Supaya tidak anakronistis mungkin perlu dihindari memakai kata "Indonesia" dan ganti dengan "Nusantara"
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 18.16 (UTC)
- Ini saran opsional saja loh ya, kalau tidak bisa/tidak mau nggak apa2. Kalau misalkan Masjawad99 punya keahlian photoshop, mungkin gambarnya bisa sekalian diterjemahkan
Saya sebenarnya mau sekalian me-remake gambarnya yang di versi Inggris juga, tapi sepertinya sekarang belum sempat. Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 18.16 (UTC)- @Mimihitam Saya putuskan untuk memodifikasi gambar yang sudah ada dulu; semuanya sudah dimasukkan ke artikel (ada bagian yang luput belum diterjemahkan, tapi nanti bisa diubah). Bagaimana? Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 10.09 (UTC)
- Sudah mantap Tapi jangan lupa "River"nya juga diterjemahkan Mimihitam 26 April 2019 22.58 (UTC)
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 27 April 2019 06.27 (UTC)
Paragraf pembuka
[sunting sumber]- Pendirian Gowa merupakan bagian dari restrukturisasi radikal masyarakat Sulawesi Selatan --> restrukturisasi besar-besaran?
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 18.16 (UTC)
- yang memicu percepatan intensifikasi pertanian padi sawah. --> percepatan intensifikasi itu apa?
Yang dimaksud adalah "percepatan intensifikasi-pertanian" bukan "percepatan-intensifikasi pertanian". Saya merahkan dulu "intensifikasi pertanian" untuk saat ini. Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 18.16 (UTC)- Intensifikasi pertanian saya pranalakan ke pertanian intensif, ternyata sudah ada artikelnya. Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 01.44 (UTC)
- Kata "zalim" mungkin bisa diganti jadi istilah yang lebih netral seperti "sewenang-wenang"?
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 20.45 (UTC)
Awal mula Gowa dan Talloq
[sunting sumber]- "Sistem penulisan Indik" bisa dicarikan padanan yang lebih umum dikenal?
- Sudah dikerjakan Saya ganti "aksara Brahmik". Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 18.16 (UTC)
- "dan dapat dikontraskan dengan masyarakat Indonesia lainnya yang memperoleh pengaruh budaya India secara ekstensif" --> mungkin perlu dikasih qualifier "masyarakat di wilayah Nusantara bagian barat", karena aku yakin wilayah Papua atau Timor tidak kena pengaruh budaya India secara ekstensif
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 18.16 (UTC)
- "sebuah ras makhluk langit berdarah putih yang muncul secara misterius untuk menikahi penguasa-penguasa fana dan memerintah umat manusia.[14] Tak terkecuali Gowa. " --> daripada titik mending jadi koma saja: "... dan memerintah umat manusia,[14] tak terkecuali Gowa."
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 18.16 (UTC)
- "dengan budidaya padi sawah intensif yang bergantung pada alat bajak yang baru dikenalkan" --> dikenalkan dari mana? Dari Jawa kah?
- Saya tambahkan "dari Nusantara bagian barat". Sumbernya menyatakan bahwa alat bajak merupakan impor dari wilayah Nusantara bagian barat, tapi sepertinya bukan dari Jawa. Kata serapan dari bahasa Jawa tidak ditemukan pada sistem pertanian Sulawesi Selatan. Di sisi lain, kuda kemungkinan diintroduksi dari Jawa; bisa dilihat dari penggunaan kata jarang (Makassar) dan anyarang (Bugis), dari bahasa Jawa jaran (Pelras 1997, hal. 100-101). Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 18.16 (UTC)
- Terima kasih atas pencerahannya Mimihitam 26 April 2019 03.54 (UTC)
- "Pemukiman-pemukiman baru bermunculan dalam jumlah besar di pedalaman semenanjung yang semakin terdeforestasi" --> ganti jadi "mengalami penggundulan"?
- Sudah dikerjakan Saya ganti "semakin gundul". Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 18.16 (UTC)
- "Menurut Kronik Talloq, kejadian ini memaksa Karaeng Loe mengungsi ke 'Jawa';[28] lebih tepatnya, pantai utara Jawa,[29] tetapi mungkin juga yang dimaksud adalah komunitas dagang Melayu di pesisir Sulawesi dan Kalimantan" --> boleh tahu kenapa kalau mengungsinya ke "Jawa", kok malah berkorelasi ke komunitas dagang Melayu?
- Lihat catatan penjelasan [e]. Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 18.16 (UTC)
- Wah baru tahu saya, terima kasih Mimihitam 26 April 2019 03.56 (UTC)
- "Insiden ini mungkin saja merupakan bagian dari tahapan perubahan yang lebih besar, di mana Karaeng Gowa melebarkan kuasa langsungnya hingga mengancam negara-negara tetangganya yang berdaulat sendiri"
- Bentuk "di mana" tidak baku, mohon diparafrase
- Sudah dikerjakan Saya ganti ".. yaitu meluasnya kekuasaan Karaeng Gowa hingga mengancam..." Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 18.16 (UTC)
- "Berdaulat sendiri" rasanya agak aneh, mungkin "sendiri"nya bisa dihapus
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 18.16 (UTC)
- "Sejak semula, Talloq merupakan negara maritim, mengambil keuntungan dari meningkatnya kuantitas perdagangan regional" --> ganti jadi "menggeliatnya"?
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 18.16 (UTC)
- " dan pertumbuhan penduduk pesisir yang mengikuti" --> mengikuti apa?
- Maksudnya populasi bertumbuh seiring menggeliatnya perdagangan. Ada usul parafrase yang lebih baik? Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 18.16 (UTC)
- @Masjawad99 mungkin bisa dijadikan bentuk pasif? "Sejak semula, Tallo merupakan negara maritim, mengambil keuntungan dari menggeliatnya perdagangan regional[31] yang kemudian diikuti oleh pertumbuhan penduduk di kawasan pesisir." Mimihitam 26 April 2019 03.56 (UTC)
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 04.46 (UTC)
Segini dulu, nanti aku lanjut lagi. Mimihitam 25 April 2019 09.24 (UTC)
Gowa dan Talloq dari 1511 hingga 1565
[sunting sumber]- "Di bawah pimpinan Tumapaqrisiq Kallonna dan kedua putranya,[n] Gowa berhasil menghalau Talloq dan sekutunya dalam pertempuran." --> pertempuran di mana?
- Maksudnya pertempuran melawan Tallo, Maros dan Polombangkeng yang disebut di kalimat sebelumnya. Sebenarnya ini aksi defensif, jadi semuanya terjadi di dalam wilayah Gowa. Menurut Kronik Gowa (versi terjemahan Cummings), ada tiga front dalam pertempuran ini: (1) pesisir Baroqbosoq, antara pasukan Tunipalangga dan armada Polombangkeng, (2) Rappocini, antara pasukan utama pimpinan Tumapaqrisiq Kallonna melawan tentara Tallo, dan (3) Tamamangung, antara pasukan Tunibatta dan tentara Maros (Cummings 2007a, hlm. 32-33). Perlu dimasukkankah detail ini? Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 20.01 (UTC)
- @Masjawad99 boleh juga ditambahkan karena lumayan informatif . Mimihitam 26 April 2019 03.57 (UTC)
- Sudah dikerjakan Saya tambahkan sedikit di catatan penjelasan, sekaligus mengubah kalimat di atas menjadi "... berhasil menghalau invasi Tallo..." Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 04.46 (UTC)
- "dengan ini, penguasa Gowa diakui secara publik sebagai tokoh dominan di tanah Makassar." --> ini kutipan dari siapa, apakah dari Cummings atau yang lain?
- Dari Cummings. Saya ganti kalimatnya menjadi: Dengan ini, "penguasa Gowa pun diakui secara luas sebagai tokoh dominan di tanah Makassar." Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 20.01 (UTC)
- "Pada masa ini juga, tembok pelindung dari tanah liat diperkirakan mulai dibangun di sekitar Kale Gowa,[59] Somba Opu dan Garassiq" --> tambahkan koma setelah Somba Opu
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 20.01 (UTC)
- " Dengan demikian, Gowa mampu menaklukkan sejumlah besar negeri di Sulawesi, dari Semenanjung Minahasa di utara hingga Pulau Selayar di lepas pantai selatan" --> apakah pada masa itu sudah sampai menguasai Minahasa dan Selayar, atau maksudnya pada zaman berikutnya? Kalau yang dimaksud pada zaman berikutnya, mohon dijelaskan.
- Sudah dikerjakan Saya parafrase jadi "Kemajuan teknologi inilah yang memungkinkan Gowa untuk nantinya menaklukkan sejumlah besar negeri...." Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 20.01 (UTC)
- "beserta reformasi ekonomi seperti pembakuan satuan berat dan pengukuran (yang kemungkinan diusulkan oleh komunitas Melayu), menjadikan Gowa-Talloq entrepot unggulan bagi rempah-rempah dan hasil hutan di Indonesia bagian timur.[79]" --> mohon dicari padanan Indonesianya
- Entrepot itu lebih kepada semacam pelabuhan tempat singgah barang-barang; atau pelabuhan tempat gudang penyimpanan sementara. Apakah "bandar persinggahan" padanan yang bagus? Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 20.01 (UTC)
- @Masjawad99 Setuju dengan "bandar persinggahan" Mimihitam 26 April 2019 03.58 (UTC)
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 27 April 2019 06.43 (UTC)
- Masjawad99 ada tambahan sedikit. "Tunipalangga juga mengenalkan beragam teknologi militer asing yang lebih maju..." Aku jadi penasaran, teknologi ini asalnya kira2 dari mana? Apakah dari pedagang Portugis atau justru dari wilayah Nusantara lainnya karena nama yang dipakai adalah "peluru Palembang"? Kalau sumbernya menjelaskan dari mana mungkin bisa ditambahkan, kalau nggak juga nggak apa2. Mimihitam 26 April 2019 05.20 (UTC)
- Di dalam Kronik Gowa, di tengah-tengah bahasan tentang kemajuan teknologi dan reformasi yang dilakukan Tunipalangga, diselipkan catatan mengenai pakta antara dirinya dan Anakoda Bonang (pemimpin komunitas niaga Melayu). Ada yang menafsirkan bahwa pembaharuan-pembaharuan dalam hal ekonomi merupakan kontribusi komunitas tersebut -- ini sudah disebutkan di artikel, dua paragraf setelah bahasan tentang kemajuan teknologi militer. Tapi untuk teknologi militer sendiri tidak ada sumber yang secara eksplisit menyatakan dari siapa. Cummings hanya menambahkan penjelasan bahwa "peluru Palembang" merupakan peluru senapan laras panjang (Cummings 2007a, hal. 57, mengutip Cense 1979, hal. 54) Masjawad99 (bicara) 27 April 2019 06.43 (UTC)
Gowa dan Tallo dari 1565 hingga 1593
[sunting sumber]- "Ia menjadikan dirinya tumabicara butta atau perdana menteri;[93] posisi birokratis Gowa terakhir, dan paling penting, yang dikukuhkan." mungkin titik komanya bisa diganti jadi :
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 20.38 (UTC)
- "Preseden inilah yang memungkinkan Karaeng Matoaya, putra Tumamenang ri Makkoayang, untuk nantinya menjadi orang paling berpengaruh di Gowa dan Sulawesi Selatan" --> preseden setauku istilah hukum, kalau dalam konteks Gowa Tallo mungkin mesti dicarikan padanan yang lebih pas
- Sudah dikerjakan Saya ganti "Teladan inilah yang memungkinkan...", bagaimana? Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 03.48 (UTC)
- Sudah OK. Trims
Mimihitam 26 April 2019 03.59 (UTC)
- " tellumpocco berusaha merintis koalisi pan-Bugis dengan mempertalikan dinasti mereka pada negeri-negeri Bugis di " --> mungkin "koalisi Bugis" saja cukup
- "Pan-Bugis" untuk membedakan dari persekutuan tellumpoco yang saat itu beranggotakan tiga kerajaan Bugis. Di sini maksudnya mereka berusaha mengajak seluruh negeri-negeri Bugis yang belum bergabung, termasuk di antaranya Konfederasi Ajatappareng. Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 20.38 (UTC)
- @Masjawad99 Bagaimana kalau jadi "koalisi seluruh Bugis"? Mimihitam 26 April 2019 04.00 (UTC)
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 04.46 (UTC)
- "serangan amuk" itu apa ya?
Terjemahan literal "amok attack". Ini tafsiran dari sumber sekunder (Pelras 1997). Terjemahan Kronik Gowa oleh Cummings hanya menyebutkan bahwa ia dibunuh oleh bawahannya dari Majannang bernama I Lolo Tamakana di atas kapal lepas pantai Lipukasi (Cummings 2007a, hlm. 38). Saya ganti kalimatnya menjadi "... mati dibunuh seorang bawahannya ketika memimpin armada..." Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 20.38 (UTC)- Setelah saya lihat lagi, ternyata bagian "amuk" itu disimpulkan dari gelar anumerta sang Karaeng sendiri, Tunijalloq ("yang diamuk"). Sepertinya terjemahan "... mati diamuk seorang bawahannya ketika memimpin armada..." lebih tepat. Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 01.35 (UTC)
- "Pada kurun waktu yang sama, perubahan-perubahan besar terjadi dalam lansekap politik tanah Makassar" --> mungkin bisa pakai ungkapan "panggung perpolitikan"?
- Sudah dikerjakan Padanan yang bagus, jauh lebih enak dibaca . Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 20.38 (UTC)
- "Sejak saat itu, wilayah-wilayah Gowa dipimpin oleh konfederasi dinasti-dinasti berkuasa, di mana keluarga kerajaan Gowa berperan sebagai primus inter pares" --> bentuk di mana tidak baku, mohon diparafrase
- Sudah dikerjakan Saya ganti jadi "... dipimpin oleh gabungan dinasti-dinasti berkuasa. Dalam sistem ini, keluarga kerajaan Gowa..." Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 20.43 (UTC)
- "menggariskan batasan bagi otoritas Karaeng Gowa" --> ganti jadi wewenang?
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 20.43 (UTC)
- Mohon dikasih terjemahan primus inter pares di dalam kurung sesudahnya, dan jangan lupa dikasih pranala
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 20.38 (UTC)
- "Selama empat dekade berikutnya" --> empat dasawarsa
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 20.38 (UTC)
- "Karaeng Matoaya memelopori perkembangan Islam di Sulawesi Selatan dan ekspansionisme pesat Gowa-Tallo ke Maluku dan Nusa Tenggara" --> ganti jadi memperluas wilayah?
- Sudah dikerjakan Saya ganti jadi "... perkembangan Islam di Sulawesi Selatan serta memperluas wilayah Gowa-Tallo hingga ke Maluku..." Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 20.38 (UTC)
- Perluasan wilayah ini ada rujukannya? Agaknya ekspansi Gowa ke luar Sulawesi Selatan tidak mirip perluasan wilayah ala Eropa, melainkan lebih menyerupai perluasan mandala pengaruh ala majapahit. Dampaknya paling terasa di Kalimantan, Lombok, Sumbawa, & Flores. Ekspansi ke Maluku sepertinya lebih ke urusan niaga. Justru Maluku (Kerajaan Ternate & para bajak laut Maluku) yang melakukan ekspansi wilayah sampai ke daratan Sulawesi (sepanjang pesisir barat pulau Sulawesi plus kepulauan-kepulauan di sekitarnya). Raja Gowa pernah dibujuk masuk Islam oleh Sultan Ternate dengan iming-iming Pulau Selayar (jajahan Ternate). Apa mungkin pada zaman Karaeng Maoaya, situasi sudah berbalik?تابيق ~ Japra (obrol) 27 April 2019 06.21 (UTC)
- Saya tidak menemukan akses ke sumber Reid (1981) yang dijadikan referensi, jadi saya tidak tahu apa konteks aslinya. Di sumber Bulbeck (1992), ekspansi Gowa-Tallo pada masa awal abad ke-17 dijabarkan sebagai berikut: "The wider victories during the early 17th century, some of which are attributed both to Abdullah [Karaeng Matoaya] and to Alauddin [Tumamenanga ri Gaukanna], extended to Sumbawa at the south, almost to Ternate at the east, and to Lombok and west Kalimantan in the form of protection pacts" (hlm. 120). Bulbeck juga secara spesifik menyebutkan bahwa "... Gowa's empire grew dramatically at the expense of Ternate's" (hlm. 120). Namun, ini sepertinya lebih tepat diartikan sebagai ekspansi Gowa ke wilayah-wilayah Ternate yang berada di Sulawesi (seperti Selayar), alih-alih di Maluku. Perlu dicatat juga bahwa "penaklukan" Gowa tidak serta-merta mengintegrasikan wilayah taklukan ke dalam pemerintahan langsungnya. Jika ditilik dari pola invasi Gowa, sepertinya mereka tidak memasang penguasa boneka ataupun tentara di wilayah yang ditaklukkan, tapi hanya mewajibkan pembayaran upeti. Jika kiriman upeti ini putus, wilayah tersebut akan diserang lagi. Sebagai contoh, Bulukumba yang dekat saja "ditaklukkan" sebanyak setidaknya lima kali, termasuk satu serangan pada masa Abdullah dan Alauddin (Bulbeck 1992, hlm. 121). Saya rasa memang "memperluas wilayah" ada benarnya, tapi juga bisa disalahartikan. Apakah sebaiknya dikembalikan ke "ekspansionisme"? Masjawad99 (bicara) 27 April 2019 10.32 (UTC)
- @Masjawad99: Menurut saya, sebaiknya pakai kata "ekspansi" saja, sehingga dapat diartikan "perluasan wilayah" maupun "perluasan pengaruh" dll.تابيق ~ Japra (obrol) 2 Mei 2019 03.33 (UTC)
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 2 Mei 2019 03.37 (UTC)
- @Masjawad99: Menurut saya, sebaiknya pakai kata "ekspansi" saja, sehingga dapat diartikan "perluasan wilayah" maupun "perluasan pengaruh" dll.تابيق ~ Japra (obrol) 2 Mei 2019 03.33 (UTC)
- Saya tidak menemukan akses ke sumber Reid (1981) yang dijadikan referensi, jadi saya tidak tahu apa konteks aslinya. Di sumber Bulbeck (1992), ekspansi Gowa-Tallo pada masa awal abad ke-17 dijabarkan sebagai berikut: "The wider victories during the early 17th century, some of which are attributed both to Abdullah [Karaeng Matoaya] and to Alauddin [Tumamenanga ri Gaukanna], extended to Sumbawa at the south, almost to Ternate at the east, and to Lombok and west Kalimantan in the form of protection pacts" (hlm. 120). Bulbeck juga secara spesifik menyebutkan bahwa "... Gowa's empire grew dramatically at the expense of Ternate's" (hlm. 120). Namun, ini sepertinya lebih tepat diartikan sebagai ekspansi Gowa ke wilayah-wilayah Ternate yang berada di Sulawesi (seperti Selayar), alih-alih di Maluku. Perlu dicatat juga bahwa "penaklukan" Gowa tidak serta-merta mengintegrasikan wilayah taklukan ke dalam pemerintahan langsungnya. Jika ditilik dari pola invasi Gowa, sepertinya mereka tidak memasang penguasa boneka ataupun tentara di wilayah yang ditaklukkan, tapi hanya mewajibkan pembayaran upeti. Jika kiriman upeti ini putus, wilayah tersebut akan diserang lagi. Sebagai contoh, Bulukumba yang dekat saja "ditaklukkan" sebanyak setidaknya lima kali, termasuk satu serangan pada masa Abdullah dan Alauddin (Bulbeck 1992, hlm. 121). Saya rasa memang "memperluas wilayah" ada benarnya, tapi juga bisa disalahartikan. Apakah sebaiknya dikembalikan ke "ekspansionisme"? Masjawad99 (bicara) 27 April 2019 10.32 (UTC)
- Perluasan wilayah ini ada rujukannya? Agaknya ekspansi Gowa ke luar Sulawesi Selatan tidak mirip perluasan wilayah ala Eropa, melainkan lebih menyerupai perluasan mandala pengaruh ala majapahit. Dampaknya paling terasa di Kalimantan, Lombok, Sumbawa, & Flores. Ekspansi ke Maluku sepertinya lebih ke urusan niaga. Justru Maluku (Kerajaan Ternate & para bajak laut Maluku) yang melakukan ekspansi wilayah sampai ke daratan Sulawesi (sepanjang pesisir barat pulau Sulawesi plus kepulauan-kepulauan di sekitarnya). Raja Gowa pernah dibujuk masuk Islam oleh Sultan Ternate dengan iming-iming Pulau Selayar (jajahan Ternate). Apa mungkin pada zaman Karaeng Maoaya, situasi sudah berbalik?تابيق ~ Japra (obrol) 27 April 2019 06.21 (UTC)
Perubahan demografis dan kultural
[sunting sumber]- "Sejumlah besar lahan-lahan tak berpenghuni ditempati dan dibuat sawah.[132] Termasuk juga lembah Sungai Tallo;[46] nama "Tallo" sendiri diambil dari kata taqloang yang dalam bahasa Makassar berarti "luas dan kosong," merujuk pada hutan tak berpenghuni yang dibersihkan untuk dijadikan pemukiman" --> kalimatnya mending diubah jadi gini: "Sejumlah besar lahan-lahan tak berpenghuni ditempati dan dibuat sawah,[132] termasuk juga lembah Sungai Tallo.[46] Nama "Tallo" sendiri diambil dari kata taqloang yang dalam bahasa Makassar berarti "luas dan kosong," merujuk pada hutan tak berpenghuni yang dibersihkan untuk dijadikan pemukiman."
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 10.13 (UTC)
- "setidaknya 10.000 keping keramik pra-1600 dari China, Vietnam, dan Thailand." --> ganti China jadi Tiongkok
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 10.13 (UTC)
- "Seiring waktu, para wanita kelas atas juga meninggalkan budaya bertelanjang dada." --> berarti yang kelas bawah masih memiliki budaya seperti itu? Atau setelah Karaeng Matoaya berkuasa semua wanita sudah tidak lagi seperti itu akibat masuknya agama Islam?
- Telanjang dada = tidak pakai baju? تابيق ~ Japra (obrol) 27 April 2019 07.15 (UTC)
- @Mimihitam: Dari sumbernya: "... while slave women still went bare-breasted, free married women wore short tunics with sleeves. Western visitors were amazed to see that in this still unislamized country men and women bathed together naked. Adult men are described at this period still wearing only loincloths, but this must have applied only to the common people. The more affluent were developing a taste for western shirts, hats, sometimes adorned with a plume, and jackets" (Pelras 1997, hlm. 123-124). Laporan Belanda tentang Makassar pada tahun 1607 (tak berapa lama setelah Karaeng Matoaya masuk Islam) menyebutkan bahwa "the slaves and poorer women in the back streets [..] still had 'their upper body with the breasts completely naked'". Namun, laporan lain 40 tahun setelahnya menyiratkan bahwa para wanita sudah berpakaian tertutup (Reid 1988, hlm. 89). Apapun itu, sepertinya lumayan jelas bahwa wanita selain dari kelas atas masih bertelanjang dada pada masa-masa awal kontak dengan Eropa. Masjawad99 (bicara) 28 April 2019 00.33 (UTC)
- @Japra Jayapati: Saya menerjemahkan dari kata "topless". Kalau "tidak pakai baju" nanti disalahartikan tidak berpakaian sama sekali. Masjawad99 (bicara) 28 April 2019 00.33 (UTC)
- "Walaupun beberapa sejarawan, berdasarkan Kronik Gowa, menafsirkan bahwa baca-tulis tidak dikenal sebelum masa pemerintahan Tumapaqrisiq Kallonna,[31][145] tampaknya sistem penulisan sudah ada di daerah tersebut sebelum abad ke-16." --> bagaimana kalau jadi "Walaupun beberapa sejarawan (berdasarkan Kronik Gowa) menafsirkan bahwa baca-tulis tidak dikenal sebelum masa pemerintahan Tumapaqrisiq Kallonna,[31][145] tampaknya sistem penulisan sudah ada di daerah tersebut sebelum abad ke-16."
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 10.13 (UTC)
Sejarah awal Gowa sebagai pembentukan negara
[sunting sumber]- "Para ahli meyakini bahwa di antara negeri-negeri prakolonial Sulawesi Selatan, Gowa merupakan negara sejati pertama" --> mungkin bisa ditambahkan definisi "negara sejati" di sini itu apa? Apakah pemerintahan yang memonopoli penggunaan kekerasan dan memiliki sistem birokrasi? Soalnya mungkin akan ada yang bertanya, "apakah itu berarti Kerajaan Bone bukan negara yang sesungguhnya?" Ngomong2 aku lihat di bawahnya ada penjelasan seperti ini: "Sejalan dengan Bulbeck, Ian Caldwell menganggap bahwa Gowa merupakan "negara modern" yang ditandai dengan "pengembangan tatanan kerajaan, kodifikasi hukum, pertumbuhan birokrasi, penerapan sistem perpajakan dan wajib militer, serta kemunculan pekerja penuh-waktu." Mungkin bisa juga dipindahkan ke atas biar lebih jelas.
- Di versi Inggrisnya pakai "true state societ[y]" sama "genuine state". Soal kriterianya, dijelaskan di paragraf berikutnya, tapi sepertinya ada nuansa yang hilang di bagian transisinya. Antara "Francis David Bulbeck merupakan penyokong utama..." dan "... Bulbeck berargumen... " itu masih membahas hal yang sama, bukan putus di "teori ini". Ada usul bagaimana menyambungkannya? Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 10.36 (UTC)
- Setelah dipikir2 lagi, seperti sekarang sudah tidak masalah, karena di paragraf berikutnya dijabarkan semua kriteria2nya. Mimihitam 29 April 2019 15.25 (UTC)
- "kodifikasi hukum" --> pranalakan ke kodifikasi
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 10.15 (UTC)
- "Cummings mengakui adanya kecenderungan penguatan birokrasi dan rasionalisasi pemerintahan, namun" --> ganti namun jadi tetapi, karena namun hanya bisa di awal kalimat menurut PUEBI
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 10.15 (UTC)
- " ia menyimpulkan bahwa kebijakan ini memiliki cakupan dan dampak yang terbatas – bahkan birokrasi Gowa masih didasarkan pada ikatan patron-klien – dan tidak mengubah kehidupan masyarakat Makassar secara mendasar" --> ganti – jadi kurung
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 10.15 (UTC)
- Pranalakan ikatan patron-klien ke patronase
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 10.15 (UTC)
Ejaan q
[sunting sumber]Sepertinya ejaan "q" mending dihapus semua. Sebagai contoh, di Indonesia ejaan yang lazim dipakai adalah "Wajo" dan "Luwu", bukan "Wajoq" dan "Luwuq". Nama penguasanya pun tidak pakai q, contoh Tunipasulu. Lihat: [1] Mimihitam 25 April 2019 16.37 (UTC)
- Hmm, di sumber yang Anda berikan, penggunaannya tidak konsisten; kadang memakai apostrof (Tumapa'risi' Kallonna), kadang-kadang dihapus (Tunijallo, Tunipasulu). Saya rasa memang mengakomodasi ejaan yang lebih umum itu perlu, tapi saya masih bingung menentukan mau pakai yang mana. Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 01.29 (UTC)
- Masjawad99 Hmm repot juga ya kalau begini, pembahasannya dilanjutkan saja di Pembicaraan:Sejarah awal Gowa dan Tallo. Nanti kalau nggak ada solusinya, saranku mungkin qnya bisa dipertahankan untuk nama orang dll, tapi dihilangkan untuk Tallo, Wajo, dan Luwu yang merupakan ejaan yang selalu konsisten tanpa q di sumber Indonesia. Mimihitam 26 April 2019 04.01 (UTC)
Gambar
[sunting sumber]Semua gambar sudah OK status hak ciptanya. Mimihitam 26 April 2019 05.35 (UTC)
Sumber
[sunting sumber]Sumber-sumbernya akademis semua, sudah sepatutnya jadi teladan bagi artikel-artikel sejarah lainnya di WBI. Mimihitam 26 April 2019 05.35 (UTC)
Komentar dari Glorious Engine
[sunting sumber]- "Sawah dengan pengairan di Sulawesi Selatan" Bahasa Inggris-nya "Irrigated rice fields in South Sulawesi" baiknya diterjemahkan jadi "Sawah irigasi di Sulawesi Selatan". Kalo pake kata "dengan pengairan" kesannya malah "di sebelah sawah, ada pengairan" bukan "sawahnya diairi"
- Mungkin lebih pas "sawah beririgasi di Sulawesi Selatan"? Mimihitam 25 April 2019 12.15 (UTC)
- Sudah dikerjakan Saya ganti dengan "sawah beririgasi" Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 19.13 (UTC)
- Mungkin lebih pas "sawah beririgasi di Sulawesi Selatan"? Mimihitam 25 April 2019 12.15 (UTC)
- Semua kata "Talloq" (kecuali di bagian cite-note) diganti aja jadi Tallo soalnya di buku-buku SD dikenalnya sama nama itu.
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 19.13 (UTC)
- "Oleh ahli sejarah, Gowa abad ke-16 dicirikan sebagai sebuah imperium"
- Kalo cuma kasih keterangan "oleh ahli sejarah" ntar kena tag [siapa?] lho. Mending kalo antara dihapus ya kasih keterangan soal ahli sejarah itu, "Menurut William P. Cummings..." misalnya.
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 19.13 (UTC)
- "Gowa abad ke-16" ganti jadi "Gowa pada abad ke-16"
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 19.13 (UTC)
- "90.000 di wilayah suburban Talloq dan Kale Gowa" ganti jadi "pinggiran kota"
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 19.13 (UTC)
- "Pemujaan akan sifat keilahian asal-usul para bangsawan serta besarnya pengaruh kependetaan bissu menjadi hambatan utama pengislaman" istilah kurang familiar, ganti jadi "penyebaran agama Islam" atau "dakwah"
Sudah dikerjakan Saya ganti jadi "dakwah Islam" dengan pranala ke dakwah. Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 19.13 (UTC)- Sudah dikerjakan Per komentar di bawah, saya ganti jadi "penyebaran agama Islam" agar lebih jelas apa yang dimaksud. Masjawad99 (bicara) 28 April 2019 00.09 (UTC)
- Pengislaman Sulawesi Selatan secara besar-besaran bukan dilakukan melalui dakwah, melainkan melalui paksaan/perang. Sultan Gowa memanfaatkan "kewajiban berdakwah" sebagai pembenaran kebijakan ekspansi wilayah di daratan Sulawesi. Amalan-amalan Islami sendiri tidak diberlakukan secara tegas, sementara adat-istiadat lama malah sengaja dilestarikan (animisme, judi sabung ayam, kebiasaan menenggak tuak, makna aurat yang terbatas pada alat kelamin & tungkai perempuan, dsb). Pengislaman ini maksudnya "penyebaran agama Islam" atau "penerapan amalan-amalan Islami"?تابيق ~ Japra (obrol) 27 April 2019 06.37 (UTC)
- @Japra Jayapati: Maksudnya "penyebaran agama Islam", tapi ini masih tahapan internal, sebelum ekspansi Gowa secara besar-besaran. Bundu Kasallangan/Musu' Sellengnge (Perang Pengislaman) berada di luar cakupan artikel ini (1300-1593). Mungkin bisa dimasukkan kalau-kalau ada yang mau mengembangkan artikel "Sejarah Gowa dan Tallo dari 1593 hingga 1669". Masjawad99 (bicara) 27 April 2019 06.58 (UTC)
- Pengislaman Sulawesi Selatan secara besar-besaran bukan dilakukan melalui dakwah, melainkan melalui paksaan/perang. Sultan Gowa memanfaatkan "kewajiban berdakwah" sebagai pembenaran kebijakan ekspansi wilayah di daratan Sulawesi. Amalan-amalan Islami sendiri tidak diberlakukan secara tegas, sementara adat-istiadat lama malah sengaja dilestarikan (animisme, judi sabung ayam, kebiasaan menenggak tuak, makna aurat yang terbatas pada alat kelamin & tungkai perempuan, dsb). Pengislaman ini maksudnya "penyebaran agama Islam" atau "penerapan amalan-amalan Islami"?تابيق ~ Japra (obrol) 27 April 2019 06.37 (UTC)
- "Gowa periode awal juga merupakan chiefdom agrikultural pedalaman yang berpusat pada budidaya padi." Ganti jadi "pertanian"
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 19.13 (UTC)
--Glorious Engine (bicara) 25 April 2019 11.32 (UTC)
Komentar dari HaEr48
[sunting sumber]Aku baru baca sebagian, terlihat sangat menjanjikan sekali Artikel aslinya diriset dengan baik, penerjemahannya pun sangat baik. Sambil baca, aku ada komentar dulu, silakan diliat di bawah
Status: Selesai membaca, tinggal menunggu jawaban-jawaban di bawah. HaEr48 (bicara) 27 April 2019 02.50 (UTC)
Setuju Artikel yang ditulis dan diterjemahkan dengan bagus, komprehensif, bersumber akademik, ditulis dengan netral dan dingin sesuai gaya Wikipedia. Saran-saran dibawah juga sudah ditindak dengan memuaskan. Terima kasih buat Masjawad99 yang sudah menulis artikel, dan menanggapi dengan baik, termasuk mengecek kembali dari sumber. Mudah-mudahan semakin banyak artikel bertopik Nusantara seperti ini. HaEr48 (bicara) 29 April 2019 03.06 (UTC)
Bagian pembuka
[sunting sumber]- mendominasi sebagian besar semenanjung: "semenanjung tersebut" atau "daerah semenanjung tersebut"? Mengingat dalam bahasa Indonesia tidak ada the seperti bahasa Inggris, dan aku rasa tidak semua orang tau kalau daerah Sulawesi Selatan berbentuk semenanjung.
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 18.11 (UTC)
- " intensifikasi pertanian padi sawah" : apa ada padi yang lain? Kayaknya agak janggal aja mendengar istilah "padi sawah". Kalau " intensifikasi pertanian padi" saja gimana?
- "Pertanian padi sawah" saya gunakan untuk padanan wet-rice cultivation. Lawannya "padi ladang" atau "padi huma" yang ditanam secara kering. Memang sepertinya tidak perlu dispesifikasi sih, karena di artikel tidak disebut jika sebelumnya ada pertanian padi ladang di Sulawesi Selatan, tapi saya mengambil terjemahan yang aman saja. Bagaimana jika kalimat di atas diganti "intensifikasi persawahan"? Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 18.11 (UTC)
- Kalau "intensifikasi persawahan" tidak ada kata "padi" nya dong? Nanti malah tidak jelas buat pembaca, tanamannya apa. Jika padinya bisa disebutkan di kalimat lain sih tidak apa-apa. HaEr48 (bicara) 27 April 2019 02.42 (UTC)
- Jadi tetap pakai "pertanian padi sawah"? Atau diganti "pertanian padi lahan basah"? Masjawad99 (bicara) 27 April 2019 07.05 (UTC)
- @Masjawad99: "pertanian padi lahan basah" bagus tuh. Jadi jelas maksud "basah" nya apa. HaEr48 (bicara) 27 April 2019 16.30 (UTC)
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 28 April 2019 00.03 (UTC)
- Jadi tetap pakai "pertanian padi sawah"? Atau diganti "pertanian padi lahan basah"? Masjawad99 (bicara) 27 April 2019 07.05 (UTC)
- Kalau "intensifikasi persawahan" tidak ada kata "padi" nya dong? Nanti malah tidak jelas buat pembaca, tanamannya apa. Jika padinya bisa disebutkan di kalimat lain sih tidak apa-apa. HaEr48 (bicara) 27 April 2019 02.42 (UTC)
- "Pertanian padi sawah" saya gunakan untuk padanan wet-rice cultivation. Lawannya "padi ladang" atau "padi huma" yang ditanam secara kering. Memang sepertinya tidak perlu dispesifikasi sih, karena di artikel tidak disebut jika sebelumnya ada pertanian padi ladang di Sulawesi Selatan, tapi saya mengambil terjemahan yang aman saja. Bagaimana jika kalimat di atas diganti "intensifikasi persawahan"? Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 18.11 (UTC)
- kampanye militer Gowa dalam rangka menetapkan hegemoni: bagaimana kalau "untuk" atau "demi" supaya lebih singkat?
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 18.11 (UTC)
- administrasi: "pemerintahan" lebih banyak dipakai dan mudah dimengerti bukan? Kalau setuju, jangan lupa bagian yang lain diperbaiki juga.
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 18.11 (UTC)
Awal mula Gowa dan Tallo
[sunting sumber]- Bagus sekali Berkas:Pendirian Tallo id.png diindonesiakan dari versi en-nya. Pertanyaanku, apa bisa diberi inset peta Sulawesi agar tau lokasi peta ini di Sulawesi Selatan bagian mana? Kalau bisa saja lho ya, kalau repot ya gak usah.
- Pinginnya sih sekalian me-remake gambar-gambar aslinya (sangat tidak intuitif petanya ahaha) tapi sekarang belum sempat. Jadi pakai modifikasi dulu. Ini juga sudah saya improvisasi sedikit (bandingkan, misalnya, peta yang ini dengan versi terjemahannya). Masjawad99 (bicara) 27 April 2019 07.17 (UTC)
- "negara Gowa didirikan pada sekitar tahun 1300": apakah bisa dijelaskan apa maksudnya pernyataan ini? Mengingat, kalau membaca paragraf pembukaan, ada dua peristiwa "pendirian", yaitu berdirinya sebuah chiefdom dan transisi dari sebuah chiefdom ke sebuah kerajaan besar
- Versi Inggrisnya pakai polity. Saya ganti jadi "... masyarakat berpemerintahan di Gowa terbentuk pada...", bagaimana? Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 19.31 (UTC)
- @Masjawad99: kalau "masyarakat"nya cuma 100 orang apakah cocok ditulis seperti itu? HaEr48 (bicara) 27 April 2019 02.46 (UTC)
- @HaEr48: Sepertinya tidak masalah. Dalam kajian sosiologi dan antropologi, gerombolan yang beranggotakan 30 hingga 50 orang pun dianggap sebagai sebuah "masyarakat". Penggunaan "masyarakat berpemerintahan" sebagai padanan polity mengacu pada Glosarium Kemendikbud Masjawad99 (bicara) 27 April 2019 10.48 (UTC)
- Apakah diketahui dari mana muncul/datangnya praktek budidaya padi di Sulsel, dan kenapa masyarakat beralih ke situ dari sagu dan jali? Sepertinya ini berandil besar dalam perkembangan demografinya.
- Setelah saya cek sumber-sumbernya, sebenarnya padi juga ditanam dalam skala kecil sebelum abad ke-13. Ini dibawa oleh orang-orang Austronesia sekitar 3000 SM (Pelras 1997, hlm. 23). Yang baru itu adalah budidaya padi intensif, dengan sawah-sawah beririgasi. Alat bajak juga baru diperkenalkan pada abad ke-14. Menurut Pelras, teknologi pertanian ini diperkenalkan dari negeri-negeri Nusantara bagian barat yang masuk ke dalam lingkung budaya India (tapi budaya Indianya sendiri tidak secara langsung memengaruhi Sulawesi Selatan). Tidak dijelaskan secara rinci dari mananya, tapi hanya disebut bahwa "... plough has a name of Indian origin throughout this area..." dan bahwa pengaruh luar dibawa melalui "... indirect contacts mainly with Sumatra but perhaps also Java" (Pelras 1997, hlm. 92). Soal peralihan itu, sepertinya lumayan jelas; intensifikasi budidaya padi menyebabkan surplus beras, sehingga masyarakat tidak perlu menanam sagu dan jali lagi. Atau perlu ditambahkan agar lebih jelas? Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 19.31 (UTC)
- @Masjawad99:Oh, kalau begitu tidak perlu dijelaskan datangnya dari mana. Seperti sekarang saja sudah cukup. Terima kasih penjelasannya. HaEr48 (bicara) 27 April 2019 02.46 (UTC)
- "Budaya komersial Tallo turut berkontribusi terhadap kebangkitan Makassar di kemudian hari sebagai pusat perdagangan yang berjaya." kok tidak ada sumber ya pernyataannya?
Hm, benar, saya hapus dulu untuk saat ini. Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 19.31 (UTC)- @HaEr48: Setelah saya cek lagi, sepertinya pernyataan ini didasarkan pada sumber dari Cummings (2007a, hlm. 5): "This access [to maritime trade of coastal Talloq] must have been decisive in fueling Gowa’s rise. Significant too was the beginning afterwards, as yet tentative, of a close partnership with Talloq that would flourish in the seventeenth century." Pernyataan di atas sudah saya kembalikan plus sumbernya. Masjawad99 (bicara) 28 April 2019 00.47 (UTC)
- Setauku kalau titel saja, seperti "Karaeng" tidak diikuti nama maka tidak dikapitalisasi. Misal, "Aku ingin menjadi presiden", "Ia adalah anak seorang raja", dst.
- Sudah dikerjakan Saya ganti semua sebutan "Karaeng" yang berdiri sendiri dengan "karaeng" (dicetak miring, agar konsisten dengan titel lainnya). Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 19.31 (UTC)
- Apa bisa disebutkan suku-suku apa saja yang ada di Sulawesi Selatan ketika itu? Agar jelas kalau ada kalimat seperti "negara Bugis di Bone dan Wajo" atau "Kerajaan Makassar di Gowa" bahwa "Makassar" dan "Bugis" di sini adalah nama suku.
- Bagusnya dimasukkan di mana? Setelah paragraf pertama? Di sumber Pelras (1997) ada satu bagian yang mendeskripsikan hubungan antaretnis di Sulawesi Selatan prakolonial. Memang, fokus Pelras di situ adalah suku Bugis, tapi jabarannya lumayan bagus kalau mau dimasukkan sekilas. Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 19.31 (UTC)
- @Masjawad99: Bagus tuh, dimasukkan di awal bagian "Awal mula". HaEr48 (bicara) 27 April 2019 02.46 (UTC)
- Sudah dikerjakan Bagaimana? Masjawad99 (bicara) 27 April 2019 13.28 (UTC)
- sudah bagus HaEr48 (bicara) 27 April 2019 16.30 (UTC)
- Mungkin bisa disebutkan juga daerah asal suku Bajau
- Sebenarnya sudah disebut di kalimat: "Pada saat itu, suku Bajau, yang merupakan pengembara maritim, merupakan komunitas utama yang membawa barang dagangan dari Laut Sulu hingga Sulawesi Selatan." Suku Bajau tersebar-sebar komunitasnya, tidak menetap di satu tempat. Tapi yang pasti, suku Bajau bukan suku "asli" Sulawesi Selatan (maka Karaeng Bayo dianggap sebagai raja asing). Secara linguistik bahasa Sama-Bajau juga tidak termasuk rumpun bahasa Sulawesi Selatan (yang di antaranya mencakup bahasa Bugis, Makassar, Toraja, Mandar). Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 19.31 (UTC)
- @HaEr48: Saya tambahkan pembahasan mengenai suku Bajau di catatan penjelasan [e]. Masjawad99 (bicara) 28 April 2019 01.33 (UTC)
Gowa dan Tallo dari 1511 hingga 1565
[sunting sumber]- pengambilan pampasan: bagaimana kalau pengambilan upeti?
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 19.31 (UTC)
- "Gowa berhasil menghalau invasi Tallo dan sekutunya. Sebagai pemenang perang, …" Menurutku sekadar "menghalau invasi" belum sama dengan pemenang perang yang setelah itu diangkat menjadi hegemon. Apa bisa dijelaskan apa ada faktor lain dalam kemenangan Gowa selain menghalau invasi? Misal, apakah mereka menduduki Tallo atau kota lainnya, menghancurkan sumber daya manusia, dst? Soalnya, sepertinya perjanjian damainya sangat menguntungkan Gowa.
- Hm, Kronik Gowa (terjemahan Cummings) hanya menyatakan begini: "Once the battle raged the people of Talloq, the people of Maros, the people of Polombangkeng were put to flight. They launched ships and flew up toward their homelands. The people of Talloq fled deep into Talloq. Then an invitation was sent out to Tumapaqrisiq Kallonna. He entered Talloq. For seven [nights] there he was feasted and honoured. They all swore oaths, the karaeng [of Gowa], the karaeng of Talloq, all the gallarrang in the great hall: ‘Anyone who sets Gowa and Talloq against each other, he is cursed by the gods’." Saya tidak paham budaya Sulawesi Selatan, tapi saya pikir ini semacam pengakuan dominasi Gowa karena sudah berhasil mengalahkan mereka di pertempuran. Saya ganti jadi "memenangkan pertempuran melawan" alih-alih "menghalau invasi". Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 19.31 (UTC)
Gowa dan Tallo dari 1565 hingga 1593
[sunting sumber]- "La Tenrirawe menghasut tiga vasal Gowa ".. Kok rasanya "menghasut" agak kurang netral ya? Dari segi Gowa mungkin terlihat menghasut, tapi kan dalam diplomasi wajar-wajar aja saling berebut sekutu. Bagaimana kalau "membujuk"?
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 19.31 (UTC)
- "pendidikan kerajaan": menurutku "royal education" itu maksudnya lebih ke pendidikan para raja atau keluarga kerajaan, alih-alih kerajaan secara keseluruhan. Bagaimana menurut bung?
- Sudah dikerjakan Benar, sudah saya ganti. Di dalam rincian tugas tumabicara butta menurut lontara Latoa, salah satunya adalah "mendidik anaknya raja dan anak [tumabicara butta] sendiri" Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 19.31 (UTC)
- Pemujaan akan sifat keilahian asal-usul para bangsawan: agak janggal kalimatnya, bagaimana kalau "Pemujaan terhadap bangsawan yang dianggap memiliki asal-usul dari langit" atau "Pemujaan terhadap bangsawan yang dianggap keturunan dewa"?
- Sudah dikerjakan Saya ambil usul dari Mas Japra Jayapati: "Pengagungan kaum ningrat sebagai keturunan dewa-dewi..." Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 19.31 (UTC)
- Empat orang Fransiskan : bagaimana kalau "Empat misionaris Fransiskan"? Mengingat nama "Fransiskan" ini tidak seterkenal di audience bahasa Inggris
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 19.31 (UTC)
- Selama empat dasawarsa berikutnya, Karaeng Matoaya memelopori perkembangan Islam di Sulawesi Selatan serta memperluas wilayah Gowa-Tallo hingga ke Maluku dan Nusa Tenggara: Kalau terjadi selama empat dasawarsa dan merupakan peristiwa penting, kenapa cuma dijelaskan satu kalimat? Bagaimana kalau diberikan penjelasan skeitar 1-2 paragraf, seperti bagian "kelanjutan" atau "aftermath" yang sering ada di artikel-artikel sejarah lainnya?
- Mungkin karena berada di luar tema utama artikel? Sepertinya si penulis asli mengikuti pembagian kronologi sejarah Sulsel versi Bulbeck & Caldwell; mulai awal 1600 itu sudah masuk Periode Sejarah Modern Awal yang ditandai dengan ekspansi besar-besaran Gowa-Tallo, integrasi dengan dunia perdagangan internasional, dan perkembangan agama Islam (Bulbeck & Caldwell 2000, hal. 106-107). Kalau mau menambahkan #Kelanjutan, bisa sih, tinggal meringkas poin-poin penting periode tersebut dan dampak sosiopolitiknya. Tapi saya mungkin tidak sempat menambahkan sekarang. Masjawad99 (bicara) 27 April 2019 08.30 (UTC)
- Aku ada https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Sejarah_awal_Gowa_dan_Tallo&type=revision&diff=15027039&oldid=15026346], silakan diperiksa atau dikembalikan kalau tidak cocok
- Terima kasih Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 19.31 (UTC)
- Sekian dulu, nanti aku lanjutkan lagi.
--HaEr48 (bicara) 26 April 2019 14.28 (UTC)
Perubahan demografis dan kultural
[sunting sumber]- Kalau dimulainya aksara masih tidak jelas, apakah sejarah yang diceritakan di sini berasal dari catatan tertulis? Kronik Gowa dan Kronik Tallo itu sendiri siapa yang menulis dan kapan ditulisnya? Kalau ada cukup bahan, bisa dibuat bagian "Sumber sejarah" seperti di Æthelflæd#Sumber sejarah untuk menjelaskan sumber yang dipakai para sejarawan
- Cummings 1999 dan bagian pendahuluan Cummings 2007a itu bahasan utamanya tentang historiografi Kronik Gowa dan Kronik Tallo. Isinya lumayan kalau mau menambahkan satu bagian tersendiri. Nanti saya coba tambahkan. Masjawad99 (bicara) 27 April 2019 05.41 (UTC)
- Oke, ditunggu HaEr48 (bicara) 27 April 2019 16.30 (UTC)
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 5 Mei 2019 14.40 (UTC)
- Apa ada penjelasan kenapa perkiraan Bulbeck tahun 1992 dan 1994 berbeda cukup besar? Apa ada penjelasan sumber yang ia pakai untuk menyimpulkan?
- Strategi yang dipakai Bulbeck sebenarnya cukup sederhana. Pertama, dia mendaftar situs-situs pekuburan yang aktif digunakan antara abad ke-14 hingga ke-17 melalui survei langsung (sebagian di antaranya masih aktif hingga kini). Kedua, ia mendaftar situs yang aktif di masa modern lalu membaginya dengan hasil sensus penduduk. Nah, perkiraan populasi pada masa tertentu didapatkan dengan rumus: jumlah situs pekuburan yang aktif pada masa tersebut dikali populasi/pekuburan (Bulbeck 1992). Namun estimasi ini jelas kurang tepat, karena jumlah pekuburan aktif tidak bertumbuh secepat kepadatan penduduk; dengan kata lain, untuk kepadatan penduduk yang sama, ada lebih sedikit pekuburan aktif di masa kini. Atau jika dibalik, dengan jumlah pekuburan aktif yang sama, kepadatan penduduknya jauh lebih tinggi di masa kini. Di dalam jurnal kajian tahun 1994, estimasi ini dikoreksi dengan menambahkan variabel pertumbuhan kepadatan penduduk (beserta koreksi jumlah situs pekuburan di wilayah-wilayah tertentu) hingga hasilnya berbeda. Masjawad99 (bicara) 27 April 2019 12.04 (UTC)
- Terima kasih penjelasannya. Apakah bisa dirangkum sekitar 2-3 kalimat terus ditulis di catatan kaki misalnya? HaEr48 (bicara) 27 April 2019 16.30 (UTC)
- @Masjawad99 tinggal satu nih yang belum :P Mimihitam 6 Mei 2019 08.45 (UTC)
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 6 Mei 2019 17.20 (UTC)
- klaim keturunan ilahi para bangsawan: "keturunan dewata"? Sepertinya "divine" ini lebih cocok dikaitkan dengan dewa/dewi kalau untuk agama bukan monoteisme/abrahamik.
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 27 April 2019 05.41 (UTC)
Sejarah awal Gowa sebagai pembentukan negara
[sunting sumber]- "delapan belas dari dua puluh dua atribut":
- menurutku, kalau melihat aturan dari PUEBI [2], bisa ditulis "18 dari 22" karena merupakan perincian, dan selain itu "dua puluh dua" sudah lebih dari dua kata?
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 27 April 2019 09.29 (UTC)
- Apakah 22 syarat ini dibuat oleh Bulbeck sendiri, ataukah dia kutip dari sumber lain? Aneh juga membuat kriteria rinci seperti itu tapi hanya untuk menguji satu kasus
- Saya cek langsung ke sumbernya. Di daftar aslinya, Bulbeck mengutip 26 atribut dari enam nama berbeda, jadi bisa dikatakan bahwa syarat-syarat tersebut diakui oleh sebagian besar ahli antropologi dan bukan buatan Bulbeck sendiri. Dari 26 atribut tersebut, 22 di antaranya ditandai oleh Bulbeck sebagai "kriteria yang spesifik dan lebih berguna". Dari 22 syarat ini, 18 diantaranya sudah terpenuhi pada abad ke-16 (Bulbeck 1992, hlm. 470-471). Btw, terimakasih sudah membahas bagian ini, saya baru sadar ada kesalahan penerjemahan. Tabel yang ada di artikel menunjukkan 22 kriteria (bukan 18) beserta masa terpenuhinya. Ada 18 kriteria di tabel tersebut yang terpenuhi sebelum 1600. Sudah saya sunting bagian ini, coba dibaca ulang. Masjawad99 (bicara) 27 April 2019 09.29 (UTC)
- Terima kasih penjelasannya. Mungkin perlu ditambahkan (1) dijelaskan sedikit biar tidak kelihatan kalau kriteria itu buatan Bulbeck, contohnya "22 kriteria yang disarikan Bulbeck dari ...". (2) dijelaskan 4 yang tidak terpenuhi itu sebenarnya terpenuhi di masa setelah periode ini. HaEr48 (bicara) 27 April 2019 16.30 (UTC)
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 27 April 2019 23.57 (UTC)
- Apa 4 syarat yang tidak terpenuhi?
- Semua kriteria di tabel yang masa terpenuhinya 1600 ke atas (di luar cakupan Periode Sejarah Awal): [1] sistem pengairan yang disokong negara, [2] agama resmi, [3] pembagian wewenang dalam jaringan pemerintahan yang pluralistik, dan [4] mata uang sendiri. Perlukah di-highlight (atau diberi tanda bintang, misalnya)? Masjawad99 (bicara) 27 April 2019 09.29 (UTC)
- Ide bagus tuh diberi bintang. HaEr48 (bicara) 27 April 2019 16.30 (UTC)
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 27 April 2019 23.57 (UTC)
- menurutku, kalau melihat aturan dari PUEBI [2], bisa ditulis "18 dari 22" karena merupakan perincian, dan selain itu "dua puluh dua" sudah lebih dari dua kata?
Lain-lain
[sunting sumber]- Istilah "Kronik Gowa" dan "Kronik Tallo" apakah ada padanan yang lebih bahasa nusantara? Judul aslinya bukan dalam bahasa Barat, kan?
- Yang versi bahasa Inggris memang pakai "chronicle" sebagai padanan patturioloang. Mungkin "hikayat" atau "babad"? Tapi yang terakhir kayaknya terlalu Jawa. @Japra Jayapati gimana bagusnya? Masjawad99 (bicara) 27 April 2019 04.23 (UTC)
- Patturioloang = "perihal orang-orang zaman dulu" = catatan sejarah. Sepertinya ini adalah sebutan yang diberikan generasi terkemudian kepada naskah-naskah sejarah warisan generasi terdahulu. Kronik Bugis-Makassar pada hakikatnya mirip wikipedia, dingin, netral, berusaha menyajikan keterangan apa adanya, bahkan menyepelekan keyakinan tradisional sendiri (semisal asal-usul para tumanurunga), jauh berbeda dari ragam karya tulis hikayat Melayu maupun babad Jawa yang disusun dengan tujuan utama mengagungkan leluhur atau penguasa. Catatan kronologis Bugis Makassar seperti jurnal, buku harian, knonik, dsb disebut (ini nama jenis, bukan judul naskahnya lho) "Lontara' bilang" (lontar angka/catatan bertarikh). Lebih mirip naskah-naskah tarikh/tawarikh Eropa, diawali dengan penjabaran tarikh lalu diikuti keterangan mentah, tanpa bumbu-bumbu dan gaya bahasa berbunga-bunga khas hikayat/babad. Saya lebih suka kata "tarikh" atau "tawarikh" sebagai padanan "kronik" dalam konteks Bugis-Makassar, "kronik" juga sudah nongol di KBBI kok.تابيق ~ Japra (obrol) 27 April 2019 05.53 (UTC)
- @Japra Jayapati dan HaEr48: Soal dingin itu betul sekali, ketika menulis hal-hal "supernatural", si penulis selalu menambahkan "dikatakan bahwa..." tanpa secara eksplisit menganggapnya sebagai fakta. Jika ada yang tidak diketahui, ya tidak dituliskan ("karena tidak ada yang dikatakan tentangnya"), jadi memang bukan seperti hikayat Melayu apalagi babad Jawa yang banyak kejadian gak masuk akal. Cuma, Mas, dari sumber-sumber yang saya baca (koreksi kalau saya salah) lontara' bilang dan patturioloang itu agak berbeda genrenya. Lontara' bilang itu lebih kepada daftar kejadian-kejadian (lengkap dengan tanggal dsb.), sedangkan patturioloang itu bentuknya narasi sejarah. Kalau memadankan lontara' bilang dengan "tarikh" sepertinya pas, tapi kalau patturioloang, rasanya lebih tepat "kronik". Masjawad99 (bicara) 27 April 2019 06.20 (UTC)
- Lontara' bilang memang nama generik (segala macam catatan bertarikh), mungkin patturioloang lebih khusus sifatnya, termasuk catatan bertarikh, tetapi lebih panjang uraiannya. Patturioloang = sejarah. Ngomong-ngomong "tarikh" juga dapat berarti catatan sejarah lho. Tetap pakai "kronik" juga tidak apa-apa kok.تابيق ~ Japra (obrol) 27 April 2019 06.52 (UTC)
- Oke, kalau begitu sepertinya tidak akan saya ubah, agar tidak terlalu jauh terjemahannya. Omong-omong, patturioloang itu kata dasarnya turiolo ya? Masjawad99 (bicara) 27 April 2019 07.47 (UTC)
- @Masjawad99: Betul. Tu ri yolo (harfiah: orang di masa lampau), diimbuhi awalan pa- dan akhiran -a.
- @Japra Jayapati dan HaEr48: Soal dingin itu betul sekali, ketika menulis hal-hal "supernatural", si penulis selalu menambahkan "dikatakan bahwa..." tanpa secara eksplisit menganggapnya sebagai fakta. Jika ada yang tidak diketahui, ya tidak dituliskan ("karena tidak ada yang dikatakan tentangnya"), jadi memang bukan seperti hikayat Melayu apalagi babad Jawa yang banyak kejadian gak masuk akal. Cuma, Mas, dari sumber-sumber yang saya baca (koreksi kalau saya salah) lontara' bilang dan patturioloang itu agak berbeda genrenya. Lontara' bilang itu lebih kepada daftar kejadian-kejadian (lengkap dengan tanggal dsb.), sedangkan patturioloang itu bentuknya narasi sejarah. Kalau memadankan lontara' bilang dengan "tarikh" sepertinya pas, tapi kalau patturioloang, rasanya lebih tepat "kronik". Masjawad99 (bicara) 27 April 2019 06.20 (UTC)
- Patturioloang = "perihal orang-orang zaman dulu" = catatan sejarah. Sepertinya ini adalah sebutan yang diberikan generasi terkemudian kepada naskah-naskah sejarah warisan generasi terdahulu. Kronik Bugis-Makassar pada hakikatnya mirip wikipedia, dingin, netral, berusaha menyajikan keterangan apa adanya, bahkan menyepelekan keyakinan tradisional sendiri (semisal asal-usul para tumanurunga), jauh berbeda dari ragam karya tulis hikayat Melayu maupun babad Jawa yang disusun dengan tujuan utama mengagungkan leluhur atau penguasa. Catatan kronologis Bugis Makassar seperti jurnal, buku harian, knonik, dsb disebut (ini nama jenis, bukan judul naskahnya lho) "Lontara' bilang" (lontar angka/catatan bertarikh). Lebih mirip naskah-naskah tarikh/tawarikh Eropa, diawali dengan penjabaran tarikh lalu diikuti keterangan mentah, tanpa bumbu-bumbu dan gaya bahasa berbunga-bunga khas hikayat/babad. Saya lebih suka kata "tarikh" atau "tawarikh" sebagai padanan "kronik" dalam konteks Bugis-Makassar, "kronik" juga sudah nongol di KBBI kok.تابيق ~ Japra (obrol) 27 April 2019 05.53 (UTC)
- Catatan kaki berlabel [u] punya catatan kaki lagi yang berlabel [t]. Mungkin sebaiknya kutipan aslinya digabungkan saja ke catatan kaki [u]?
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 27 April 2019 05.51 (UTC)
- @Masjawad99: gambar ini dijelaskan sebagai "A word list Makassar language in Bugis script", tetapi di artikel kok captionnya "Contoh catatan sejarah Makassar" ya? Aku enggak bisa baca, tapi kalau lihat bentuknya memang kayak tabel gitu. HaEr48 (bicara) 30 April 2019 12.39 (UTC)
- @HaEr48: Saya coba telusuri VT 227 (sepertinya ini nama naskahnya, lihat di bagian bawah gambar) di inventori naskah, deskripsinya adalah "counting tables with reference to the game called galaceng". Benar, yang pasti bukan catatan sejarah. Masjawad99 (bicara) 30 April 2019 13.56 (UTC)
Demikian saja tinjauanku. Semoga bermanfaat. HaEr48 (bicara) 27 April 2019 02.50 (UTC)
@Masjawad99: Terima kasih jawabannya dan tambahan-tambahan barunya di artikel. Beberapa aku tanggapi balik, silakan cek teks yang berwarna biru diatas. HaEr48 (bicara) 27 April 2019 16.30 (UTC)
- @Masjawad99 masih ada 2 masukan yang ditandai dengan warna biru tuh. Mimihitam 5 Mei 2019 10.38 (UTC)
Komentar dari Japra Jayapati
[sunting sumber]Istilah
[sunting sumber]- "Tumakkajananngang", lebih tepat Tumakkajanangngang (bukan ..nan-ngang melainkan ..nang-ngang, penekanan pada fonem "ng").
- Sudah dikerjakan Ini masalah ejaan juga sih. Cummings tidak mendobel digraf; dia pakai "nng" dan "nny" alih-alih "ngng" dan "nyny". Sudah saya sesuaikan ke bentuk yang lebih umum. Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 19.42 (UTC)
- "Tumamenang", lebih tepat Tumamenanga (alias Tumenanga, "orang yang mangkat").
- Dalam Kronik Gowa dan Kronik Tallo yang ditransliterasikan Cummings, sebutan Tumamenang lebih banyak dipakai daripada Tumenanga. Apakah ada perbedaan kapan harus memakainya? Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 19.42 (UTC)
- Ya sudah kalau memang hasil transliterasi lontara' bilang (kronik). Saya sendiri belum pernah baca. Agaknya lontara' bilang menggunakan kata "tu-mamena", sama saja artinya dengan tu-mamenanga atau tu-menanga. Tulisan "tumamena ri ..." dalam aksara lontara' dapat saja dibunyikan tumamenanga ri ...
- Sudah dikerjakan Betul, saya juga pikir ini cuma masalah cara baca. Sudah saya ganti semua "Tumamenang" dengan "Tumamenanga" Masjawad99 (bicara) 27 April 2019 05.43 (UTC)
- Ya sudah kalau memang hasil transliterasi lontara' bilang (kronik). Saya sendiri belum pernah baca. Agaknya lontara' bilang menggunakan kata "tu-mamena", sama saja artinya dengan tu-mamenanga atau tu-menanga. Tulisan "tumamena ri ..." dalam aksara lontara' dapat saja dibunyikan tumamenanga ri ...
- "Tellumpocco", tepatnya "tellumpoccoe (akhiran -e dalam bahasa Bugis sama fungsinya dengan akhiran -a dalam bahasa Makassar).
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 19.42 (UTC)
- "Pemujaan akan sifat keilahian asal-usul para bangsawan". The veneration of the divine origins of nobility = pengagungan kaum ningrat sebagai keturunan dewa-dewi.
- Sudah dikerjakan Jauh lebih enak dibaca Terima kasih Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 19.42 (UTC)
Penutup
[sunting sumber]Artikelnya bagus sekali. تابيق ~ Japra (obrol) 26 April 2019 15.34 (UTC)
Komentar dari Hanamanteo
[sunting sumber]- Kamus Besar Bahasa Indonesia
- Orang tua, bukan orangtua.
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 10 Mei 2019 21.32 (UTC)
- Budi daya, bukan budidaya.
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 10 Mei 2019 21.32 (UTC)
- Bagian pembuka
- "Karaeng Gowa (penguasa daerah Gowa) ..." Bagaimana jika "Karaeng (penguasa daerah) Gowa ..."?
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 3 Mei 2019 20.38 (UTC)
- Latar belakang
- "..., tampaknya perkembangan peradaban awal Sulawesi Selatan "secara garis besar tidak terhubung dengan teknologi dan ide-ide asing."" Tambahkan bahwa kutipan itu berasal dari Ian Caldwell.
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 3 Mei 2019 20.38 (UTC)
- "..., Gowa pra-Islam dan jiran-jirannya merupakan peradaban yang berdasarkan "pada kelompok pemikiran sosial dan politik asli 'bangsa Austronesia'"" Kutipan itu berasal dari siapa? Masih Ian Caldwell atau Christian Pelras?
- Caldwell. Pelras di situ pembahasannya panjang lebar, tapi intinya sama. Masjawad99 (bicara) 3 Mei 2019 20.39 (UTC)
- "..., dapat dikontraskan dengan masyarakat Nusantara bagian barat lainnya yang memperoleh pengaruh budaya India secara ekstensif." Bagaimana jika "meluas"?
- Saya rasa sudah pas. "Ekstensif" di sini tidak sama dengan "meluas", karena pengaruh budaya India di masyarakat Nusantara bagian barat tidak hanya menyebar secara horizontal tapi juga vertikal, menembus segala kelas sosial. Masjawad99 (bicara) 3 Mei 2019 20.38 (UTC)
- Sumber sejarah
- "Naskah-naskah dalam genre ini disusun secara kronologis, mendaftar kejadian-kejadian penting semisal kelahiran dan kematian para bangsawan, proyek-proyek pembangunan, kedatangan delegasi asing, bencana alam, hingga kejadian tak biasa seperti gerhana dan melintasnya komet." Mungkin bisa ditambah satu atau beberapa perkataan sebelum "mendaftar"?
- Saya pindahkan ke awal kalimat sebelumnya (tentang penanggalan), sepertinya lebih pas. Bagaimana? Masjawad99 (bicara) 10 Mei 2019 21.32 (UTC)
- "Sedikit sekali catatan eksternal mengenai Sulawesi Selatan sebelum abad ke-16. Salah satunya naskah Jawa Nagarakretagama dari abad ke-14, yang menyebut beberapa nama tempat di Sulawesi Selatan." Mungkin titik di kalimat pertama bisa diganti dengan koma? Sepertinya setelah diganti, kalimatnya masih tidak terlalu panjang.
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 10 Mei 2019 21.32 (UTC)
- Awal mula Gowa dan Tallo
- "Dinasti-dinasti utama di Sulawesi Selatan mengaitkan ..." Apa sajakah itu?
- Tidak disebutkan rinci di sumber, tapi hampir seluruh dinasti di Sulawesi Selatan punya legenda ini, mulai dari Luwu sampai Bone, bahkan dinasti minor seperti Sidenreng di Ajatappareng. Saya sampai hafal narasi ini karena diulang terus dalam setiap asal-usul dinasti Sulawesi Selatan. Rasanya tidak terlalu perlu dibuat spesifik. Masjawad99 (bicara) 10 Mei 2019 21.32 (UTC)
- "Kronik Gowa dari abad ke-17 secara spesifik menyebutkan bahwa orangtua Karaeng Gowa ..." Maksudnya semua Karaeng Gowa atau hanya Tumaparisi Kallonna?
- Sudah dikerjakan Saya lupa menambahkan "pertama" setelah Karaeng Gowa. Masjawad99 (bicara) 10 Mei 2019 21.32 (UTC)
- "Pemerintahan Gowa terlahir ketika pemimpin-pemimpin setempat yang dikenal secara kolektif sebagai Bate Salapang ..." Tidak dimiringkan?
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 10 Mei 2019 21.32 (UTC)
- "... yang mengantarkan pada zaman yang disebut "Periode Sejarah Awal" oleh Bulbeck and Ian Caldwell (2000)." Penulisan seperti ini malah membuat kesan catatan kaki ditulis ganda, bagaimana jika cukup ditulis Bulbeck dan Caldwell saja?
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 10 Mei 2019 21.32 (UTC)
- Pranala Asia Tenggara Maritim untuk Nusantara mestinya dipindah ke bagian #Latar belakang karena kata Nusantara pertama kali digunakan di bagian itu.
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 10 Mei 2019 21.32 (UTC)
- "Hal ini berakibat pada naiknya permintaan beras dari Sulawesi Selatan, yang mendorong sentralisasi politis serta intensifikasi pertanian padi." Tidak perlu koma.
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 10 Mei 2019 21.32 (UTC)
- "Menurut Kronik Tallo, kejadian ini memaksa Karaeng Loe mengungsi ke 'Jawa'; lebih tepatnya, pantai utara Jawa, ..." Bagaimana jika "Menurut Kronik Tallo, kejadian ini memaksa Karaeng Loe mengungsi ke 'Jawa', lebih tepatnya pantai utara Jawa, ..."?
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 10 Mei 2019 21.32 (UTC)
- "Sejak semula, Tallo merupakan negara maritim, mengambil keuntungan dari ..." Agak kaku, bagaimana jika "Sejak semula, Tallo merupakan negara maritim dengan mengambil keuntungan dari ..."
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 10 Mei 2019 21.32 (UTC)
- Catatan
- "Juga ditulis sebagai Tallo', Tallok atau Talloq, ..." Tambahkan koma setelah Tallok.
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 3 Mei 2019 20.38 (UTC)
- "William Cummings secara konsisten menyebut bahwa Tumaparisi Kallonna memerintah sejak tahun 1510 atau 1511 hingga 1546 (Cummings 2002, 2007, 2014), ..." Tidak diubah ke sfn? Halaman jangan lupa.
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 3 Mei 2019 20.38 (UTC)
- "..., namun Anthony Reid memberikan tahun 1566 sebagai waktu mangkatnya." Ganti dengan "tetapi".
- Sudah dikerjakan Masjawad99 (bicara) 3 Mei 2019 20.38 (UTC)
- "Bulbeck (1991, 2006) dan Gibson (2005), ..." Ubah ke harvtxt. Bulbeck (1991) tidak dijumpai sama sekali di daftar pustaka, adanya Bulbeck (1992).
- Bulbeck yang dimaksud adalah Bulbeck 1992, sudah saya cek sumbernya. Sepertinya tidak perlu diubah ke harvtxt, toh sumber yang dimaksud sudah diletakkan di akhir kalimat. Masjawad99 (bicara) 3 Mei 2019 20.39 (UTC)
- Rujukan
- Walaupun artikel ini bertemakan Indonesia, saya sama sekali tidak menemukan satupun sumber berbahasa Indonesia. Ini bukanla kewajiban, tetapi rasanya agak kurang manakala sumber berbahasa Indonesia bahkan tidak ada sama sekali di artikel bertema Indonesia.
- Nggak aneh, pusat kajian sejarah Indonesia saja sekarang salah satu yang terbaiknya itu di Leiden, jadi tidak wajib untuk ada sumber bahasa Indonesianya. Mimihitam 2 Mei 2019 15.20 (UTC)
- Saya juga maunya ada sumber Indonesia, tapi karena kebetulan ini terjemahan dari versi Inggris dan menurut saya sudah cukup lengkap, rasanya tidak perlu ditambahkan lagi. Masjawad99 (bicara) 3 Mei 2019 20.38 (UTC)
@Hanamanteo masih ada komentar lagi? Mimihitam 6 Mei 2019 09.01 (UTC)
- Mimihitam Belum, akan dikerjakan bersamaan dengan pengusulan lainnya. Hanamanteo Halaman pembicaraan saya 10 Mei 2019 06.49 (UTC)
- @Hanamanteo: Rencananya kira-kira kapan Bung? Saranku, kalau memang sibuk, yang ini tidak usah dipaksakan karena peninjauan yang lain sudah lumayan komprehensif dan banyak yang setuju, sehingga sudah siap diangkat. Supaya waktu bung yang berharga bisa difokuskan ke usulan yang lumayan kurang peninjau seperti Zenobia. HaEr48 (bicara) 14 Mei 2019 14.35 (UTC)
Sepertinya bung Hanamanteo masih sibuk dan belum ada perkiraan kapan mau melanjutkan lagi. @Mimihitam, Glorious Engine, dan Japra Jayapati: Mengingat untuk yang ini sudah ada cukup tinjauan dan reaksi positif, bagaimana kalau kita bungkus saja? HaEr48 (bicara) 23 Mei 2019 17.50 (UTC)
- @HaEr48 aku setuju. Kasihan kalau pengusulan yang sudah dapat banyak peninjauan komprehensif jadi ketahan gara-gara satu orang lagi sibuk. Mimihitam 23 Mei 2019 21.19 (UTC)
Tambahan
[sunting sumber]- Ini adalah ringkasan peninjauan tambahan yang diambil dari Pembicaraan:Sejarah_awal_Gowa_dan_Tallo#Ejaan
Dalam proses menerjemahkan artikel ini, saya mempertahankan penggunaan huruf q untuk hentian glotal. Termasuk menggunakan ejaan Talloq dan Wajoq alih-alih Tallo dan Wajo. Alternatif lainnya adalah menggunakan apostrof atau huruf k, tapi ini bisa jadi masalah juga (apostrof untuk hamzah bisa disalahartikan sebagai tanda petik, dan huruf k juga ambigu pengucapannya). Apakah ejaan dengan q ini bisa diterima? Atau apakah sebaiknya di-Indonesiakan dengan menghapus q atau menggantinya dengan hamzah/k (setidaknya untuk nama wilayah yang familiar)? Masjawad99 (bicara) 24 April 2019 04.40 (UTC)
- Tanya @HaEr48. Tapi di Indonesia memang ejaan yang tanpa q lebih dikenal sih, jadi kalau aku sih mungkin akan aku hapus. Mimihitam 24 April 2019 04.46 (UTC)
- @Mimihitam dan Masjawad99: Kalau begitu semua glottal stop yang dilambangkan dengan q harus dihapus/diganti juga dong supaya konsisten? Misal "Tumapaqrisiq Kallonna". HaEr48 (bicara) 25 April 2019 21.36 (UTC)
- Tanya @HaEr48. Tapi di Indonesia memang ejaan yang tanpa q lebih dikenal sih, jadi kalau aku sih mungkin akan aku hapus. Mimihitam 24 April 2019 04.46 (UTC)
@HaEr48 dan Mimihitam: Kalau seandainya perlu mengikuti nama yang sudah umum di Indonesia, saya rasa tidak apa jika dihapus, terutama untuk nama daerah dan individu. Tapi sepertinya akan saya pertahankan untuk istilah-istilah atau kutipan dalam bahasa Makassar (dicetak miring). Jadi misalnya, ketika menjelaskan asal-usul nama Tallo, akan jadi begini: "... nama "Tallo" sendiri diambil dari kata taqloang yang dalam bahasa Makassar...." Intinya, ejaan dengan 'q' hanya dipakai dalam konteks bahasa Makassar. Bagaimana? Masjawad99 (bicara) 25 April 2019 22.11 (UTC)
- Bung Masjawad99 tau gak, untuk teks akademik Indonesia lebih sering dipakai tanda kutip atau q? HaEr48 (bicara) 25 April 2019 23.54 (UTC)
- Hmm, sepertinya sih lebih banyak yang pakai apostrof, atau tidak dituliskan sama sekali. Kadang-kadang ada yang pakai 'k'. Jarang sekali yang pakai 'q'. Saya pribadi lebih suka pakai huruf untuk membedakan antara bunyi /ʔ/ dan tanda petik ortografis (agar tidak ada kerancuan ketika menulis dalam tanda kutip, seperti "Talloq" alih-alih "Tallo'"). Tapi tentu Wikipedia bukan tempat yang tepat untuk mempromosikan ejaan tertentu. O ya, sekadar tambahan, sebenarnya dalam aksara Makassar sendiri hentian glotal, sengau velar, dan geminasi tidak ditandai. Jadi, Tallo'/Talloq (IPA: /'tal:oʔ/) dalam aksara Makassar Kuna dieja ta-lo, Sidenreng dan Sidenre sama-sama dieja si-de-re, butta (negeri) dieja bu-ta, dan begitu seterusnya. Makanya transliterasinya jadi banyak variasi. Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 00.55 (UTC)
Sepertinya isunya agak sulit karena sumber-sumber Indonesia tampaknya tidak konsisten dalam hal ini. Contohnya sewaktu aku nemu artikel di [3], Masjawad99 mendapati kalau "penggunaannya tidak konsisten; kadang memakai apostrof (Tumapa'risi' Kallonna), kadang-kadang dihapus (Tunijallo, Tunipasulu)."
Memohon pendapat tambahan dari @Meursault2004 @Gunkarta @Japra Jayapati Mimihitam 26 April 2019 04.03 (UTC)
- Saya lebih suka pakai koma hamzah dari pada huruf 'q' (nanti malah dikira sama dengan fonem 'q' dalam bahasa sasak). Benar, penulisan kata-kata bahasa Makassar tidak konsisten dalam pemakaian penanda hentian glotal (Tumapa'risi' Kallonna, Tumapakrisik Kallonna, Tumaparisi Kallona), tapi saya belum pernah jumpai pemakaian huruf 'q' sebagai tanda hentian glotal dalam penulisan kata-kata bahasa Makassar. Hentian glotal bahasa Makassar hanya muncul dalam bahasa tutur, aksara Bugis-Makassar tidak memiliki tanda hentian glotal.تابيق ~ Japra (obrol) 26 April 2019 04.32 (UTC)
- @Japra Jayapati: Kalau mau konsisten dengan ejaan Tallo (tanpa penanda hentian glotal), saya usulkan untuk menghilangkannya di seluruh tempat, kecuali dalam kutipan langsung (di dalam artikel ini saya mengutip beberapa kali dari transliterasi versi Cummings yang memakai ejaan dengan 'q'). Toh ini lebih dekat juga dengan ragam tulis Bugis-Makassar. Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 05.04 (UTC)
- Saya lebih suka pakai koma hamzah dari pada huruf 'q' (nanti malah dikira sama dengan fonem 'q' dalam bahasa sasak). Benar, penulisan kata-kata bahasa Makassar tidak konsisten dalam pemakaian penanda hentian glotal (Tumapa'risi' Kallonna, Tumapakrisik Kallonna, Tumaparisi Kallona), tapi saya belum pernah jumpai pemakaian huruf 'q' sebagai tanda hentian glotal dalam penulisan kata-kata bahasa Makassar. Hentian glotal bahasa Makassar hanya muncul dalam bahasa tutur, aksara Bugis-Makassar tidak memiliki tanda hentian glotal.تابيق ~ Japra (obrol) 26 April 2019 04.32 (UTC)
@Masjawad99 setuju Mimihitam 26 April 2019 05.30 (UTC)
- Masjawad99 Lho silahkan saja kalau mau pakai 'q'. Saya pribadi lebih suka koma hamzah, engga masuk neraka kan? Mengenai bentuk "Tallo" sebagai acuan, sepertinya harus dipertimbangkan dulu. Tallo ini kan sekarang adalah nama sungai dan nama kecamatan di kota Makassar, jadi dalam konteks modern, harus menggunakan bentuk Tallo, tapi kalau dalam konteks sejarah pra-RI silahkan saja mengacu pada sumber yang anda pakai.تابيق ~ Japra (obrol) 26 April 2019 05.48 (UTC)
- Ngomong-ngomong, nama mahkota kerajaan Gowa bukan "Salakoa" melainkan "Salokoa", "Karaeng" bukan berarti "raja" (meskipun seringkali diterjemahkan menjadi "raja") melainkan "tuan"/"junjungan" (penguasa chiefdom tertentu, setara dengan "Lord" di Inggris, karena itu kata "karaeng" lazimnya dirangkaikan dengan nama daerah tertentu, dan tetap disandang oleh pemiliknya sekalipun sudah menjadi raja), raja dalam bahasa Makassar adalah "Sombaya" ("yang disembah"). Mau saya ganti, tapi takutnya nama dalam artikel ini mengacu ke sumber tertentu. تابيق ~ Japra (obrol) 26 April 2019 06.00 (UTC)
- @Japra Jayapati: Ahahaha, kalimat saya terdengar agresif, ya? Usul saya di atas maksudnya mau minta pendapat Mas Japra, gimana bagusnya. Alternatif lain yang juga sempat dibicarakan adalah tetap menggunakan penanda hentian glotal, tapi menghapusnya bagi nama-nama daerah tertentu yang sudah dikenal umum (seperti Wajo, Luwu, dll). Soal Salakoa, wah, saya baru tahu ejaan yang benarnya. Saya coba track sumbernya, ejaan ini sepertinya banyak dipakai di jurnal luar alih-alih dalam negeri. Sepertinya ada satu sumber luar yang salah mengutip dan diikuti sebagai acuan. Caption gambar sudah saya ganti dengan ejaan yang benar. Untuk "Karaeng", memang arti harfiahnya bukan raja. Tadinya saya terjemahkan jadi "penguasa Gowa" tapi rasanya kurang pas. Apa perlu dikembalikan, atau diganti yang lain? Mengenai "Sombaya", istilah ini dipakai di sumber tapi tidak di artikel versi WP Inggris. Saya saya tidak tahu kapan harus menggunakannya. Ada saran? Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 08.27 (UTC)
- Tidak agresif kok. Saya justru khawatir pendapat saya malah bikin Masjawad99 urung pakai 'q' seturut sumber. Dalam bahasa Makassar, "saloko" berarti hiasan kepala, akhiran -a pada kata "salokoa" sama fungsinya dengan kata sandang "the" dalam bahasa Inggris, jadi salokoa berarti "the crown". Kata "karaeng" sama persis seperti kata "gusti" dalam bahasa Jawa, dapat berarti "tuan" maupun "Tuhan", padanannya dalam bahasa bugis adalah Arung/Puang. Dapat dimaklumi kalau diterjemahkan menjadi raja, karena para karaeng & puang ini memang berkuasa mutlak di daerahnya masing-masing. Masyarakat Makassar sampai hari ini masih menggunakan kata ini dengan makna tersebut(digandengkan dengan nama Tuhan, misalnya Karaeng Allah Ta'ala, maupun sebagai sapaan takzim bagi orang-orang terkemuka, biasanya keturunan bangsawan). Karaeng Gowa, bisa diartikan, penguasa daerah Gowa, sementara Sombaya sudah jelas berarti kepala negara monarki yang berpusat di Gowa. Maaf saya tidak punya sumber daring. Sumber pustaka lumayan banyak. تابيق ~ Japra (obrol) 26 April 2019 09.37 (UTC)
- Ah, oke, paham. Kalau begitu, ketika merujuk pada pemimpin Gowa, sebaiknya saya gunakan "Karaeng Gowa" secara penuh atau "Sombaya", begitu? Soalnya rasanya di artikel saya menyebut beberapa kali hanya "Karaeng" saja; sepertinya perlu diklarifikasi. Masjawad99 (bicara) 26 April 2019 09.43 (UTC)
- Tidak agresif kok. Saya justru khawatir pendapat saya malah bikin Masjawad99 urung pakai 'q' seturut sumber. Dalam bahasa Makassar, "saloko" berarti hiasan kepala, akhiran -a pada kata "salokoa" sama fungsinya dengan kata sandang "the" dalam bahasa Inggris, jadi salokoa berarti "the crown". Kata "karaeng" sama persis seperti kata "gusti" dalam bahasa Jawa, dapat berarti "tuan" maupun "Tuhan", padanannya dalam bahasa bugis adalah Arung/Puang. Dapat dimaklumi kalau diterjemahkan menjadi raja, karena para karaeng & puang ini memang berkuasa mutlak di daerahnya masing-masing. Masyarakat Makassar sampai hari ini masih menggunakan kata ini dengan makna tersebut(digandengkan dengan nama Tuhan, misalnya Karaeng Allah Ta'ala, maupun sebagai sapaan takzim bagi orang-orang terkemuka, biasanya keturunan bangsawan). Karaeng Gowa, bisa diartikan, penguasa daerah Gowa, sementara Sombaya sudah jelas berarti kepala negara monarki yang berpusat di Gowa. Maaf saya tidak punya sumber daring. Sumber pustaka lumayan banyak. تابيق ~ Japra (obrol) 26 April 2019 09.37 (UTC)
- Saya kurang tahu kalau ada gelar "karaeng Gowa". Kalau Raja Bone memang biasa disebut Arumpone (Arung Bone), singkatan dari Arung Mangkau' ri Bone. Setahu saya, Gowa adalah daerah tempat berdirinya kota Somba Opu, pusat pemerintahan monarki suku bangsa Makassar. Gelar kepala monarki di Sulawesi Selatan antara lain [Karaeng] Sombaya ri Gowa (yang disembah di Gowa), [Arung] Mangkau' ri Bone (yang berwenang di Bone), [Datu] Mappajunge ri Luwu (yang dipayungi di Luwu), dan [Arung] Matowa ri Wajo (yang dituakan di Wajo). Jika seorang sombaya memiliki gelar "karaeng", lazimnya gelar itu ia peroleh sebelum naik takhta menjadi sombaya, dan jika tidak dirangkaikan dengan nama daerah tertentu, maka "karaeng" merupakan bentuk sapaan takzim karena yang bersangkutan berdarah ningrat. Misalnya, nama lengkap Sultan Hasanuddin, pahlawan asal Makassar, adalah "I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin Tumenanga ri Balla'pangkana", I Mallombassi (Si Mallombassi) adalah nama lahir, Daeng Mattawang (Kakanda Mattawang) adalah nama dewasa, Karaeng Bonto Mangape (Junjungan Bonto Mangape) adalah gelar penguasa Bontomangape, Sultan Hasanuddin adalah nama sombaya, sementara Tumenanga ri Balla'pangkana (yang mangkat di istananya) adalah nama anumerta." Sebaiknya jangan pakai "karaeng" dengan makna "raja".تابيق ~ Japra (obrol) 26 April 2019 11.18 (UTC)
- Bung Japra Jayapati, wah terima kasih penjelasannya. Apa ada saran untuk kalimat seperti "Untuk pertama kalinya, Karaeng Gowa berbagi kekuasaan dengan Karaeng Tallo" atau "Sang Karaeng sendiri tertangkap musuh dan dipenggal" sebaiknya diganti menjadi apa? HaEr48 (bicara) 26 April 2019 14.04 (UTC)
- @HaEr48: Bagaimana kalau Karaeng Gowa & Karaeng Tallo diganti saja menjadi Raja Gowa & Raja Tallo khusus untuk kurun waktu ketika kerajaan suku bangsa Makassar terbagi dua. Untuk kurun waktu setelah dipersatukan kembali, dipakai istilah Raja Gowa & Karaeng Tallo.تابيق ~ Japra (obrol) 26 April 2019 14.11 (UTC)
@Japra Jayapati: Boleh juga. Biar tidak rancu siapa yang dimaksud, apakah semua sebutan "sang karaeng" (yang merujuk pada Sombaya ri Gowa) perlu diganti menjadi "sang raja"? Masjawad99 (bicara) 27 April 2019 07.25 (UTC)- Setelah dipikir-pikir lagi, tampaknya sebutan karaeng sengaja digunakan oleh penulis aslinya, dan bukan untuk padanan "raja". Sepertinya, karena artikel ini secara khusus memfokuskan pada pertumbuhan Gowa dari sebuah chiefdom hingga imperium, si penulis asli berusaha mencari kata yang bisa dipakai untuk merujuk pada penguasa Gowa dalam semua tahap, agar tidak banyak berganti istilah. "Karaeng Gowa" disini bukan digunakan sebagai gelar bagi raja Gowa, tapi sekadar merujuk pada siapa pun yang menguasai Gowa dalam setiap tahap. Setidaknya itu impresi saya ketika membaca artikel aslinya. Apakah ini bisa diterima? Jika tidak, ya sebaiknya kita ganti yang lebih akurat. Masjawad99 (bicara) 27 April 2019 07.37 (UTC)
- Silahkan saja mas. Soalnya setelah saya baca artikel Inggrisnya dengan mengganti semua kata Karaeng dengan "Lord", rasanya benar, tetapi ketika membaca artikel Indonesianya dengan mengganti semua kata Karaeng dengan "Raja" kok rasanya salah.تابيق ~ Japra (obrol) 27 April 2019 07.45 (UTC)
- Diskusi di atas adalah arsip. Terima kasih atas partisipasi Anda. Mohon untuk tidak menyunting lagi halaman ini. Komentar selanjutnya dapat diberikan di halaman pembicaraan artikel.